Rabu, 11 April 2018

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN:
Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan

Hari Karyono*)


Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Dan juga permasalahan pendidikan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Maka perlu langkah nyata “reformasi”. Alasannya adalah, karena berdasarkan pemeringkatan di berbagai event internasional, Indonesia menduduki peringkat bawah.
Di samping itu, hasil evaluasi internal di Indonesia, belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Bukannya kita pesimistis, tetapi menentukan langkah yang strategis ke depannya. Sebagai contoh hasil evaluasi: 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan (pemetaan oleh Kemendikbud terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012); nilai rata-rata uji kompetensi guru 44,5 (standar yang diharapkan 70), dsbnya.
Sementara itu, hasil survey Internasional, Indonesia menempati peringkat 40 dari 40 negara pada pemetaan The Learning Curve-Pearson. Indonesia termasuk 10 negara (Romania, Chile, Greece, Turkey, Thailand, Colombia, Argentina, Brazil, Mexico, dan Indonesia) berkinerja terendah (pada pemetaan The Learning Curve 2014). Pemetaan mutu pendidikan tinggi, Indonesia masuk ke peringkat 49 dari 50 negara (hasil pemetaan oleh Universitas pada tahun 2013). Indonesia memperoleh peringkat ke 40 dari 42 negara pada pemetaan TIMSS bidang literasi sains (pemetaan Trends in International Mathematics and Science Studies tahun 2011). 64 peringkat Indonesia dari 65 negara pada pemetaan PISA pada tahun 2012. Proporsi tingkat pencapaian anak-anak Indonesia pada PISA bidang literasi Matematika. Pada PISA anak Indonesia tidak mencapai level 2. Level ini minimal untuk keluar dari kategori low achievers. Jumlah anak yang mencapai level tertinggi (5 dan 6) hanya 0,3%. Minat baca orang Indonesia menurut Unesco pada tahun 2012 mencapai 0,001 (hanya 1 dai 1000 orang Indonesia punya minat baca serius).
Kinerja buruk Indonesia pada beberapa pemetaan global: (1) suap menyuap dan pungutan liar, menduduki peringkat 103 setara dengan Moldova, lebih buruk dari Senegal, Mozambik dan Ethiopia, (2) Kejahatan terorganisir, menduduki peringkat 109 setara dengan Burundi lebih buruk dari Kamboja dan Bangladesh, (3) Transparansi dalam Pemerintahan, menduduki peringkat 87 setara dengan Tanzania, Burkina Faso lebih buruk dari Benin, Malawi dan Sri Lanka, (4) Perilaku Etis oleh Perusahaan, masuk peringkat 107, setara dengan Kenya, lebih buruk dari Zimbabwe dan Burkina Faso (dari 142 negara).
Mencermati fenomena di atas, layak memberikan suatu rekomendasi kepada pemerintah Indonesia (Kemenristekdikti dan Kemendikbud) untuk: Reformasi Pendidikan. Dengan good will dari pemerintah, maka perlu disusun suatu tim/komite untuk melaksanakan Reformasi Pendidikan.
Reformasi pendidikan pernah dilakukan oleh negara-negara di dunia. Negara-negara yang pernah melakukan reformasi pendidikan, antara lain: Tiongkok yang mencetuskan programnya Reformasi “Evaluasi Hijau”, Reformasi Pendidikan Korsel, Reformasi Pendidikan AS, Reformasi Pendidikan Polandia, Reformasi Pendidikan Inggris, dan Reformasi Pendidikan Finlandia. Indonesia mempunyai karakteristik sendiri, alamnya, budayanya dan penyelenggaraan pendidikannya. Oleh karena itu, reformasi di negara dapat dijadikan rujukan, tetapi karakteristikny tetap NKRI.
 Permasalahan, bagaimana kita memulainya? Reformasi pendidikan di Indonesia, hendaknya berbasis data. Dengan demikian setelah dibentuk tim/komite, kemudian dilakukan evaluasi secara menyeluruh tentang pendidikan di Indonesia. Mulai pada jenjang PAUD/TK sd perguruan tinggi. Tidak hanya Kemenristekdikti dan Kemendikbud, tetapi juga kementerian lainnya yang membawahi lembaga pendidikan. Dengan adanya data yang dihimpun secara nasional dan menyeluruh, maka akan dapat diidentifikasi substansi permasalahan pendidikan.
Dengan demikian maka nantinya kebijakan yang akan dirumuskan pemerintah berbasis riel permasalahan di lapangan. Reformasi pendidikan perlu dilakukan segera. Terlepas siapa Presidennya atau Menterinya. Prioritasnya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang berkualitas. Bukan sekedar jargon program dalam Pilpres.

*) Dosen pengampu matakuliah Manajemen Kebijakan Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa Surabaya).
































Kamis, 22 Maret 2018

ETIKA PROFESI KEPENDIDIKAN: TIPS MENJADI TENAGA KEPENDIDIKAN YANG PROFESIONAL



ETIKA PROFESI KEPENDIDIKAN:
TIPS MENJADI TENAGA KEPENDIDIKAN YANG PROFESIONAL

Hari Karyono*)
Secara singkat etika adalah ilmu tentang tingkah laku. Atau disebut juga sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang benar. Manfaat etika profesi kependidikan adalah (1) menjunjung tinggi martabat profesi, (2) menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, (3) pedoman berperilaku, (4) meningkatkan pengabdian para anggota profesi, (5) meningkatkan mutu profesi, dan (6) meningkatkan mutu organisasi profesi.
Sebenarnya, di lingkungan pendidikan, sudah ada kode etik profesi sebagaimana profesi lainnya, yaitu Kode Etik Guru Indonesia. Namun demikian, secara teks saja kita tidak pernah hafal dan tidak berusaha menghafal. Kalau secara tekstual saja tidak hafal, apabila mengamalkannya setiap butir kode etik profesi tersebut. Tujuan kode etik profesi adalah menjunjung tinggi martabat profesi serta menentukan baku standarnya sendiri. Disamping itu, etika profesi sebagai kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi tenaga kependidikan. Yang perlu diingatkan adalah bahwa profesi guru (tenaga kependidikan) adalah sudah menjadi pilihan kita. Oleh karena itu, profesi ini perlu kita jaga dan kita tingkatkan kualitasnya.
Sebagai wacana yang perlu kita hayati dan renungkan bersama. Apakah kita sudah layak termasuk kategori guru yang profesional. Ada beberapa kriteria guru yang profesional. Menurut David Chamber dalam “Anatomy of a Good Coach” mendeskripsikan bahwa ciri-ciri guru profesional adalah: (1) pengetahuan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, (2) antusiasme dan dedikasi, (3) matang/dewasa, (4) beradab, (5) jujur dan adil, (6) pengetahuan metode pembelajaran, (7) kemajuan peserta didik, (8) evaluasi peserta didik, (9) humor, (10) pengelololaan peserta didik yang efektif, (11) perhatian pada peserta didik, (12) kemampuan mengajar dan mendidik, (14) media, (15) komunikasi, (16) motivator, (17) disiplin, (18) keterampilan mengorganisasi, dan (19) pengetahuan bagaimana tubuh bekerja.
Sulo (1984) mengemukakan bahwa kemampuan mengajar merupakan titik sentral dalam pelaksanaan tugas guru di sekolah. Oleh karena itu, untuk menjaga mutu dan profesionalisme, guru harus selalu menjadi orang yang selalu ingin  belajar untuk meningkatkan diri. Pendidikan guru yang diselenggarakan oleh LPTK, bukan sebagai akhir persiapan menjadi guru. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme diselenggarakan melalui PLPG dan PPG. Untuk dosen melalui Pekerti dan AA serta studi lanjut.
Identifikasi permasalahan dan tantangan Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Periode 2015—2019, diantaranya adalah peran pelaku pembangunan pendidikan belum optimal. Meskipun sebagian pelaku sudah mengalami peningkatan peran yang cukup besar di era sebelumnya. Pada masing-masing jenjang pendidikan, ada pelaku yang masih kurang kuat peran dan keterlibatannya. Sebagai contoh: dalam pendidikan dasar, peran orang tua sering masih terbatas pada urusan administrasi dan penyediaan sarana pribadi siswa saja; dalam pendidikan jenjang menengah, para siswa belum menjadi subjek pendidikan atau kurang dilibatkan aktif dalam proses pembelajaran; penguatan peran guru dan tenaga pendidikan masih terlampau menekankan peningkatan mutu, kompetensi, dan profesionalisme guru. Selain itu, penguatan peran pelaku pada keseluruhan jenjang pendidikan juga masih kurang disinergikan sebagai bagian dari ekosistem pendidikan
Dengan mempelajari matakuliah Etika Profesi Kependidikan diharapkan akan menginspirasi tenaga kependidikan untuk dijadikan rujukan perubahan sikap dan perilaku yang lebih baik dan lebih profesional sebagai tenaga kependidikan. Profesi tenaga kependidikan adalah profesi yang mulia dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Oleh karena itu, kita dituntut oleh setia kepada profesi dan komitmen kita serta terus belajar sepanjang hayat.

*)  Dr. Hari Karyono, M.Pd adalah dosen Pengampu matakuliah Etika Profesi Kependidikan, Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

TERSANGKA KPK DAN BUDAYA MALU



TERSANGKA KPK DAN BUDAYA MALU

Hari Karyono*)


Rabu (21/3) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyandang predikat tersangka. Selain Anton, ada pula calon wali kota Malang Yaqud Ananda yang turut jadi tersangka. Yaqud dan 17 anggota DPRD lainnya ikut disematkan predikat tersangka oleh KPK. Para tersangka diduga terlibat suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.


Mass media kemarin dan hari ini, Kamis, 22 Maret 2018, memberitakan bahwa Walikota Malang Mochamad Anton dan rivalnya calon Walikota Malang yang maju dalam Pilkada Kota Malang, Yaqud Ananda serta 17 anggota DPRD jadi tersangka.
Lepas dari masalah politik. Sekali lagi, bahwa kasus ini memberikan edukasi yang kurang baik bagi masyarakat. Sebenarnya, setelah jadi tersangka, mereka yang masih menjabat (anggota DPRD), secara ikhlas harus mengundurkan diri. Sikap ini lebih elegan. Namun, kembali ke pribadi masing-masing. Oleh karena, untuk memperoleh jabatan tersebut dulunya diraih dengan kerja keras, menguras daya dan dana yang tidak sedikit. Sehingga, ada rasa tidak legowo meninggalkan jabatan tersebut, karena adanya insentif yang tidak sedikit.
Suatu analisis pengamat politik yang patut dicermati sebagai berikut ini.

MALANG LIFE, Kamis, 22 Maret 2018, SURYA
News Analysis.
Wawan Sobari.
Pengamat Politik UB.
KPK secara resmi menetapkan 19 tersangka baru dalam dugaan tindak kasus korupsi pembahasan APBD Perubahan 2015, Rabu sore (21/3). Dua diantaranya adalah calon Wali Kota Malang, Moch. Anton dan Yaqud Ananda Gudban. Terkait itu, pakar politik  dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari menyatakan secara etika politik, idealnya calon wali kota yang dinyatakan sebagai tersangka mundur karena tidak layak jadi calon.

Menurut pengamat politik dari UB di atas (garis bawah dari penulis), sebaiknya calon Wali Kota Malang, baik petahana, Moch. Anton maupun Yaqud Ananda Gultom, secara etika politik, mereka harus “mundur karena tidak layak jadi calon”. Saran dari pengamat politik tersebut sebenarnya adalah wajar. Oleh karena dari sisi etika politik, mereka sudah tersangka dan diasumsikan kalau terbukti dalam persidangan. Tetapi mengingat dalam kasus yang terkait dengan “suap” ini, sudah ada korbannya yaitu mantan Ketua DPRD Kota Malang, M. Arief Wicaksono.
Secara koridor hukum, menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang Ashari Husen kemarin (21/3) “Sebelum dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pilwali 2018 tetap lanjut” (Jawa Pos, Radar Malang, Kamis Legi 22 Maret 2018). Dengan demikian tahapan Pilkada di Kota Malang, yang saat ini sedang dalam masa kampanye tetap berlanjut.
Fenomena perkembangan terakhir di atas, menunjukkan bahwa secara etika publik, sebenarnya mereka yang sudah tersangka oleh KPK, memang sebaiknya mundur secara jentelmen. Walaupun belum ada keputusan pengadilan.
Terlepas nanti secara yuridis formal ditetapkan bersalah dan menjadi penghuni hotel pordeo, dari sisi etika publik kasus ini memberikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat. Tanpa menyalahkan pengaruh lingkungan, budaya dan terkooptasi masalah suap-menyuap, perilaku mereka sudah memberikan pembelajaran yang tidak mendidik. Seharusnya, sebagai publik figur, tokoh masyarakat (yang ditokohkan atau menokohkan diri) yang mempunyai jabatan publik (walikota/DPRD) mempunyai perilaku dan sikap yang seharusnya layak diteladani/jadi panutan.
Salah satu peristiwa yang menarik yang dapat dijadikan contoh adalah peristiwa tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. Karena kasus ini, maka Perdana Mentei Korea Selatan, Chung Hong-won, mengundurkan diri.

SEOUL, KOMPAS.com - Perdana Menteri Korea Selatan, Chung Hong-won, Minggu (27/4/2014), mengundurkan diri dari jabatannya terkait tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. "Saya meminta maaf karena tak mampu mencegah terjadinya kecelakaan ini dan tak mampu bertanggung jawab dengan layak sesudah tragedi ini terjadi," kata Hong-won.
"Saya yakin, sebagai perdana menteri, saya harus menanggung tanggung jawab ini dan mengundurkan diri," tambah dia.
Pemerintah Korea Selatan dan seluruh aparaturnya mendapat kritikan tajam terkait tragedi itu dan cara pemerintah menangani operasi penyelamatan korban.
"Sejak awal saya sudah berniat mengundurkan diri namun menangani situasi ini menjadi prioritas utama dan saya harus membantu sebelum mengundurkan diri," ujar dia.
"Namun, kini saya memutuskan untuk mundur agar diri saya tidak menjadi beban lagi untuk pemerintah," Hong-won menegaskan. Kapal feri Sewol yang berbobot 6.825 ton tenggelam pada 16 April lalu dalam perjalanan dari pulau wisata Jeju menuju kota Incheon, di sebelah barat Seoul. Sejauh ini, sebanyak 180 orang -sebagian besar pelajar yang melakukan kunjungan lapangan-dipastikan tewas dan 110 orang lainnya masih dinyatakan hilang.

Ini adalah contoh dari seorang pejabat publik yang jantan. Ia mengundurkan diri dari jabatan yang secara politis tertinggi di negara tersebut. Walaupun tidak korelasi yang signifikan antara kasus tersebut dengan jabatannya. Perdana Menteri tersebut memiliki “budaya malu”. Sehingga lebih baik mengundurkan diri dari jabatannya.
Dari sisi etika, sebagai seorang negawaran dan tokoh publik, sebaiknya mereka mempunyai “budaya malu”. Malu apabila melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan tersebut sudah menjadi rahasia umum. Alih-alih mereka yang tersangka secara sukarela mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan dan bersikap seperti itu. Mereka tidak malu untuk tetap menjabat dan memperoleh tunjangan sesuai dengan hak-nya, sementara jabatan mereka sudah diujung tanduk (mengingat sudah ada yang diputus bersalah dalam kasus ini, yaitu mantan Ketua DPRD Kota Malang).
Kembali kepada “budaya malu”. Bangsa Indonesia, sebagai bangsa Timur, budaya malu merupakan salah satu karakteristik. Berbeda dengan budaya Barat. Menurut tafsiran pencetus istilah tersebut, yakni Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi mereka maka istilah moralitas, kebajikan, sistem nilai, dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah dan budaya malu tidak ada dalam kamus Barat. Hal itu berbeda dengan pemahaman Bangsa Timur seperti Jepang, China, Korea, dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia. Selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar. Dari budaya malu inilah lahir moral yang baik, interaksi yang serasi, etika yang mulia, dan tutur kata yang sopan sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah komunitas yang harmonis.
Sementara itu, menurut para pengamat, budaya malu bagi masyarakat Indonesia sudah mulai luntur. Oknum yang kena OTT KPK dan mengenakan rompi oranye, masih senyum-senyum tanpa merasa bersalah. Sebenarnya mereka harus merasa malu. Dengan memakai rompi oranye, secara otomatis mereka sudah dijadikan tersangka. OTT sudah menjadi bukti otentik kalau perbuatan mereka yang melanggar hukum sudah ketangkap basah. Tinggal tunggu proses hukum di pengadilan saja, jika berkasnya sudah dinyatakan lengkap.
Permasalahannya, bagaimana kita kembali membudayakan “budaya malu”. Instrumen yang efektif adalah keluarga dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan sudah diberikan suatu rujukan berupa Grand Design Pendidikan Karakter. Yang terkatu adalah PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). PPK adalah pintu gerbang utama untuk mewujudkan pendidikan budi pekerti. Menyemai “budaya malu” sangat urgen ditanamkan sejak usia dini. Sejak peserta didik mengenal lembaga pendidikan (sekolah). Sekolah dan keluarga bersinergi untuk membangun budaya malu melalui pembelajaran yang menyenangkan. Contoh-contoh riel di sekitar masyarakat dapat dijadikan kelengkapan pembelajaran dan penananam budaya malu.
*) Pengampu Matakuliah Etika Profesi Kependidikan, Dosen tetap pada Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...