TERSANGKA KPK DAN BUDAYA MALU
Hari Karyono*)
Rabu (21/3) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan kepala daerah
sebagai tersangka. Kali ini, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyandang
predikat tersangka. Selain Anton, ada pula calon wali kota Malang Yaqud Ananda
yang turut jadi tersangka. Yaqud dan 17 anggota DPRD lainnya ikut disematkan
predikat tersangka oleh KPK. Para tersangka diduga terlibat suap pembahasan
APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
Mass media kemarin dan hari ini,
Kamis, 22 Maret 2018, memberitakan bahwa Walikota Malang Mochamad Anton dan
rivalnya calon Walikota Malang yang maju dalam Pilkada Kota Malang, Yaqud
Ananda serta 17 anggota DPRD jadi tersangka.
Lepas dari masalah politik. Sekali
lagi, bahwa kasus ini memberikan edukasi yang kurang baik bagi masyarakat.
Sebenarnya, setelah jadi tersangka, mereka yang masih menjabat (anggota DPRD),
secara ikhlas harus mengundurkan diri. Sikap ini lebih elegan. Namun, kembali
ke pribadi masing-masing. Oleh karena, untuk memperoleh jabatan tersebut
dulunya diraih dengan kerja keras, menguras daya dan dana yang tidak sedikit.
Sehingga, ada rasa tidak legowo meninggalkan jabatan tersebut, karena adanya
insentif yang tidak sedikit.
Suatu analisis pengamat politik yang
patut dicermati sebagai berikut ini.
MALANG LIFE, Kamis, 22 Maret
2018, SURYA
News Analysis.
Wawan Sobari.
Pengamat Politik UB.
KPK secara resmi
menetapkan 19 tersangka baru dalam dugaan tindak kasus korupsi pembahasan APBD
Perubahan 2015, Rabu sore (21/3). Dua diantaranya adalah calon Wali Kota
Malang, Moch. Anton dan Yaqud Ananda Gudban. Terkait itu, pakar politik dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari
menyatakan secara etika politik, idealnya calon wali kota yang
dinyatakan sebagai tersangka mundur karena tidak layak jadi calon.
Menurut pengamat politik dari UB di
atas (garis bawah dari penulis), sebaiknya calon Wali Kota Malang, baik
petahana, Moch. Anton maupun Yaqud Ananda Gultom, secara etika politik, mereka
harus “mundur karena tidak layak jadi calon”. Saran dari pengamat politik
tersebut sebenarnya adalah wajar. Oleh karena dari sisi etika politik, mereka
sudah tersangka dan diasumsikan kalau terbukti dalam persidangan. Tetapi
mengingat dalam kasus yang terkait dengan “suap” ini, sudah ada korbannya yaitu
mantan Ketua DPRD Kota Malang, M. Arief Wicaksono.
Secara koridor hukum, menurut
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang Ashari Husen kemarin (21/3) “Sebelum
dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
Pilwali 2018 tetap lanjut” (Jawa Pos, Radar Malang, Kamis Legi 22 Maret 2018).
Dengan demikian tahapan Pilkada di Kota Malang, yang saat ini sedang dalam masa
kampanye tetap berlanjut.
Fenomena perkembangan terakhir di
atas, menunjukkan bahwa secara etika publik, sebenarnya mereka yang sudah
tersangka oleh KPK, memang sebaiknya mundur secara jentelmen. Walaupun belum
ada keputusan pengadilan.
Terlepas nanti secara yuridis formal
ditetapkan bersalah dan menjadi penghuni hotel pordeo, dari sisi etika publik
kasus ini memberikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat. Tanpa menyalahkan
pengaruh lingkungan, budaya dan terkooptasi masalah suap-menyuap, perilaku
mereka sudah memberikan pembelajaran yang tidak mendidik. Seharusnya, sebagai
publik figur, tokoh masyarakat (yang ditokohkan atau menokohkan diri) yang
mempunyai jabatan publik (walikota/DPRD) mempunyai perilaku dan sikap yang
seharusnya layak diteladani/jadi panutan.
Salah satu peristiwa yang menarik yang
dapat dijadikan contoh adalah peristiwa tenggelamnya kapal feri Sewol yang
mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. Karena kasus ini, maka Perdana
Mentei Korea Selatan, Chung Hong-won, mengundurkan diri.
SEOUL, KOMPAS.com - Perdana
Menteri Korea Selatan, Chung Hong-won, Minggu (27/4/2014), mengundurkan diri
dari jabatannya terkait tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol yang
mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. "Saya meminta maaf karena
tak mampu mencegah terjadinya kecelakaan ini dan tak mampu bertanggung jawab
dengan layak sesudah tragedi ini terjadi," kata Hong-won.
"Saya yakin, sebagai perdana menteri, saya harus
menanggung tanggung jawab ini dan mengundurkan diri," tambah dia.
Pemerintah Korea Selatan dan seluruh aparaturnya
mendapat kritikan tajam terkait tragedi itu dan cara pemerintah menangani
operasi penyelamatan korban.
"Sejak awal saya sudah berniat mengundurkan diri
namun menangani situasi ini menjadi prioritas utama dan saya harus membantu
sebelum mengundurkan diri," ujar dia.
"Namun, kini saya memutuskan untuk mundur agar
diri saya tidak menjadi beban lagi untuk pemerintah," Hong-won menegaskan.
Kapal feri Sewol yang berbobot 6.825 ton tenggelam pada 16 April lalu dalam
perjalanan dari pulau wisata Jeju menuju kota Incheon, di sebelah barat Seoul. Sejauh
ini, sebanyak 180 orang -sebagian besar pelajar yang melakukan kunjungan
lapangan-dipastikan tewas dan 110 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Ini adalah contoh dari seorang
pejabat publik yang jantan. Ia mengundurkan diri dari jabatan yang secara
politis tertinggi di negara tersebut. Walaupun tidak korelasi yang signifikan antara
kasus tersebut dengan jabatannya. Perdana Menteri tersebut memiliki “budaya
malu”. Sehingga lebih baik mengundurkan diri dari jabatannya.
Dari sisi etika, sebagai seorang
negawaran dan tokoh publik, sebaiknya mereka mempunyai “budaya malu”. Malu
apabila melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan tersebut sudah menjadi rahasia
umum. Alih-alih mereka yang tersangka secara sukarela mengundurkan diri, tetapi
tidak ada seorangpun yang menyatakan dan bersikap seperti itu. Mereka tidak
malu untuk tetap menjabat dan memperoleh tunjangan sesuai dengan hak-nya,
sementara jabatan mereka sudah diujung tanduk (mengingat sudah ada yang diputus
bersalah dalam kasus ini, yaitu mantan Ketua DPRD Kota Malang).
Kembali kepada “budaya malu”. Bangsa
Indonesia, sebagai bangsa Timur, budaya malu merupakan salah satu karakteristik.
Berbeda dengan budaya Barat. Menurut tafsiran pencetus istilah tersebut, yakni
Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi mereka maka istilah moralitas, kebajikan,
sistem nilai, dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah dan budaya
malu tidak ada dalam kamus Barat. Hal itu berbeda dengan pemahaman Bangsa Timur
seperti Jepang, China, Korea, dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk
Indonesia. Selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar.
Dari budaya malu inilah lahir moral yang baik, interaksi yang serasi, etika
yang mulia, dan tutur kata yang sopan sehingga pada akhirnya akan terbentuk
sebuah komunitas yang harmonis.
Sementara itu, menurut para
pengamat, budaya malu bagi masyarakat Indonesia sudah mulai luntur. Oknum yang
kena OTT KPK dan mengenakan rompi oranye, masih senyum-senyum tanpa merasa
bersalah. Sebenarnya mereka harus merasa malu. Dengan memakai rompi oranye,
secara otomatis mereka sudah dijadikan tersangka. OTT sudah menjadi bukti
otentik kalau perbuatan mereka yang melanggar hukum sudah ketangkap basah.
Tinggal tunggu proses hukum di pengadilan saja, jika berkasnya sudah dinyatakan
lengkap.
Permasalahannya, bagaimana kita
kembali membudayakan “budaya malu”. Instrumen yang efektif adalah keluarga dan
lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan sudah diberikan suatu rujukan berupa Grand Design Pendidikan Karakter. Yang
terkatu adalah PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). PPK adalah pintu gerbang
utama untuk mewujudkan pendidikan budi pekerti. Menyemai “budaya malu” sangat urgen
ditanamkan sejak usia dini. Sejak peserta didik mengenal lembaga pendidikan
(sekolah). Sekolah dan keluarga bersinergi untuk membangun budaya malu melalui
pembelajaran yang menyenangkan. Contoh-contoh riel di sekitar masyarakat dapat
dijadikan kelengkapan pembelajaran dan penananam budaya malu.
*) Pengampu Matakuliah Etika Profesi
Kependidikan, Dosen tetap pada Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana,
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar