Kamis, 22 Maret 2018

TERSANGKA KPK DAN BUDAYA MALU



TERSANGKA KPK DAN BUDAYA MALU

Hari Karyono*)


Rabu (21/3) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyandang predikat tersangka. Selain Anton, ada pula calon wali kota Malang Yaqud Ananda yang turut jadi tersangka. Yaqud dan 17 anggota DPRD lainnya ikut disematkan predikat tersangka oleh KPK. Para tersangka diduga terlibat suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.


Mass media kemarin dan hari ini, Kamis, 22 Maret 2018, memberitakan bahwa Walikota Malang Mochamad Anton dan rivalnya calon Walikota Malang yang maju dalam Pilkada Kota Malang, Yaqud Ananda serta 17 anggota DPRD jadi tersangka.
Lepas dari masalah politik. Sekali lagi, bahwa kasus ini memberikan edukasi yang kurang baik bagi masyarakat. Sebenarnya, setelah jadi tersangka, mereka yang masih menjabat (anggota DPRD), secara ikhlas harus mengundurkan diri. Sikap ini lebih elegan. Namun, kembali ke pribadi masing-masing. Oleh karena, untuk memperoleh jabatan tersebut dulunya diraih dengan kerja keras, menguras daya dan dana yang tidak sedikit. Sehingga, ada rasa tidak legowo meninggalkan jabatan tersebut, karena adanya insentif yang tidak sedikit.
Suatu analisis pengamat politik yang patut dicermati sebagai berikut ini.

MALANG LIFE, Kamis, 22 Maret 2018, SURYA
News Analysis.
Wawan Sobari.
Pengamat Politik UB.
KPK secara resmi menetapkan 19 tersangka baru dalam dugaan tindak kasus korupsi pembahasan APBD Perubahan 2015, Rabu sore (21/3). Dua diantaranya adalah calon Wali Kota Malang, Moch. Anton dan Yaqud Ananda Gudban. Terkait itu, pakar politik  dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari menyatakan secara etika politik, idealnya calon wali kota yang dinyatakan sebagai tersangka mundur karena tidak layak jadi calon.

Menurut pengamat politik dari UB di atas (garis bawah dari penulis), sebaiknya calon Wali Kota Malang, baik petahana, Moch. Anton maupun Yaqud Ananda Gultom, secara etika politik, mereka harus “mundur karena tidak layak jadi calon”. Saran dari pengamat politik tersebut sebenarnya adalah wajar. Oleh karena dari sisi etika politik, mereka sudah tersangka dan diasumsikan kalau terbukti dalam persidangan. Tetapi mengingat dalam kasus yang terkait dengan “suap” ini, sudah ada korbannya yaitu mantan Ketua DPRD Kota Malang, M. Arief Wicaksono.
Secara koridor hukum, menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang Ashari Husen kemarin (21/3) “Sebelum dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pilwali 2018 tetap lanjut” (Jawa Pos, Radar Malang, Kamis Legi 22 Maret 2018). Dengan demikian tahapan Pilkada di Kota Malang, yang saat ini sedang dalam masa kampanye tetap berlanjut.
Fenomena perkembangan terakhir di atas, menunjukkan bahwa secara etika publik, sebenarnya mereka yang sudah tersangka oleh KPK, memang sebaiknya mundur secara jentelmen. Walaupun belum ada keputusan pengadilan.
Terlepas nanti secara yuridis formal ditetapkan bersalah dan menjadi penghuni hotel pordeo, dari sisi etika publik kasus ini memberikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat. Tanpa menyalahkan pengaruh lingkungan, budaya dan terkooptasi masalah suap-menyuap, perilaku mereka sudah memberikan pembelajaran yang tidak mendidik. Seharusnya, sebagai publik figur, tokoh masyarakat (yang ditokohkan atau menokohkan diri) yang mempunyai jabatan publik (walikota/DPRD) mempunyai perilaku dan sikap yang seharusnya layak diteladani/jadi panutan.
Salah satu peristiwa yang menarik yang dapat dijadikan contoh adalah peristiwa tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. Karena kasus ini, maka Perdana Mentei Korea Selatan, Chung Hong-won, mengundurkan diri.

SEOUL, KOMPAS.com - Perdana Menteri Korea Selatan, Chung Hong-won, Minggu (27/4/2014), mengundurkan diri dari jabatannya terkait tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan ratusan orang penumpangnya tewas. "Saya meminta maaf karena tak mampu mencegah terjadinya kecelakaan ini dan tak mampu bertanggung jawab dengan layak sesudah tragedi ini terjadi," kata Hong-won.
"Saya yakin, sebagai perdana menteri, saya harus menanggung tanggung jawab ini dan mengundurkan diri," tambah dia.
Pemerintah Korea Selatan dan seluruh aparaturnya mendapat kritikan tajam terkait tragedi itu dan cara pemerintah menangani operasi penyelamatan korban.
"Sejak awal saya sudah berniat mengundurkan diri namun menangani situasi ini menjadi prioritas utama dan saya harus membantu sebelum mengundurkan diri," ujar dia.
"Namun, kini saya memutuskan untuk mundur agar diri saya tidak menjadi beban lagi untuk pemerintah," Hong-won menegaskan. Kapal feri Sewol yang berbobot 6.825 ton tenggelam pada 16 April lalu dalam perjalanan dari pulau wisata Jeju menuju kota Incheon, di sebelah barat Seoul. Sejauh ini, sebanyak 180 orang -sebagian besar pelajar yang melakukan kunjungan lapangan-dipastikan tewas dan 110 orang lainnya masih dinyatakan hilang.

Ini adalah contoh dari seorang pejabat publik yang jantan. Ia mengundurkan diri dari jabatan yang secara politis tertinggi di negara tersebut. Walaupun tidak korelasi yang signifikan antara kasus tersebut dengan jabatannya. Perdana Menteri tersebut memiliki “budaya malu”. Sehingga lebih baik mengundurkan diri dari jabatannya.
Dari sisi etika, sebagai seorang negawaran dan tokoh publik, sebaiknya mereka mempunyai “budaya malu”. Malu apabila melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan tersebut sudah menjadi rahasia umum. Alih-alih mereka yang tersangka secara sukarela mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan dan bersikap seperti itu. Mereka tidak malu untuk tetap menjabat dan memperoleh tunjangan sesuai dengan hak-nya, sementara jabatan mereka sudah diujung tanduk (mengingat sudah ada yang diputus bersalah dalam kasus ini, yaitu mantan Ketua DPRD Kota Malang).
Kembali kepada “budaya malu”. Bangsa Indonesia, sebagai bangsa Timur, budaya malu merupakan salah satu karakteristik. Berbeda dengan budaya Barat. Menurut tafsiran pencetus istilah tersebut, yakni Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi mereka maka istilah moralitas, kebajikan, sistem nilai, dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah dan budaya malu tidak ada dalam kamus Barat. Hal itu berbeda dengan pemahaman Bangsa Timur seperti Jepang, China, Korea, dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia. Selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar. Dari budaya malu inilah lahir moral yang baik, interaksi yang serasi, etika yang mulia, dan tutur kata yang sopan sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah komunitas yang harmonis.
Sementara itu, menurut para pengamat, budaya malu bagi masyarakat Indonesia sudah mulai luntur. Oknum yang kena OTT KPK dan mengenakan rompi oranye, masih senyum-senyum tanpa merasa bersalah. Sebenarnya mereka harus merasa malu. Dengan memakai rompi oranye, secara otomatis mereka sudah dijadikan tersangka. OTT sudah menjadi bukti otentik kalau perbuatan mereka yang melanggar hukum sudah ketangkap basah. Tinggal tunggu proses hukum di pengadilan saja, jika berkasnya sudah dinyatakan lengkap.
Permasalahannya, bagaimana kita kembali membudayakan “budaya malu”. Instrumen yang efektif adalah keluarga dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan sudah diberikan suatu rujukan berupa Grand Design Pendidikan Karakter. Yang terkatu adalah PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). PPK adalah pintu gerbang utama untuk mewujudkan pendidikan budi pekerti. Menyemai “budaya malu” sangat urgen ditanamkan sejak usia dini. Sejak peserta didik mengenal lembaga pendidikan (sekolah). Sekolah dan keluarga bersinergi untuk membangun budaya malu melalui pembelajaran yang menyenangkan. Contoh-contoh riel di sekitar masyarakat dapat dijadikan kelengkapan pembelajaran dan penananam budaya malu.
*) Pengampu Matakuliah Etika Profesi Kependidikan, Dosen tetap pada Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...