BLENDED LEARNING:
Konsep,
Implementasi dalam Pembelajaran di Kelas
dan
Temuan-temuan Penelitian
Hari
Karyono
(today.karyono@gmail.com)
Dosen Pascasarjana
Unipa Surabaya
Abstrak: pembelajaran mata
pelajaran di sekolah perlu mengantisipasi perkembangan teknologi komputer
dan informasi. Blended learning
merupakan merupakan inovasi pemanfaatan teknologi komputer dan informatika. Blended
learning merupakan istilah umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi
komputer dan informasi dalam
pembelajaran tatap muka (face to face teaching learning). Blended
(campuran, kombinasi yang baik) learning
merupakan proses pembelajaran yang memanfaatkan berbagai macam aktivitas dan
media baik secara fisik maupun maya. Beberapa cara mengimplementasikan blended learning pada tahap permulaan
diantaranya: (1) guru mengintegrasikan teknologi komputer dan informasi dalam
materi pembelajarannya, (2) guru mengembangkan bahan ajar atau modul berbantuan
computer (3) guru mengoptimalkan
email dengan mengembangkan email group
sebagai wahana diskusi guru-siswa-siswa, dan (4) guru mempelajari moodle dan memanfaatkannya sebagai
penunjang pembelajaran tatap muka. Contoh temuan penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran matematika menggunakan model
pembelajaran blended learning dapat
meningkatkan kemandirian mahasiswa dalam belajar dan bekerja sama dan
meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang kognitif pada mata kuliah
dasar-dasar matematika.
Kata kunci: blended
learning,
konsep, implementasi, temuan penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran melibatkan aktivitas yang kompleks,
bukan sekedar transfer of knowledge
dari pendidik kepada peserta didik secara tekstual. Dalam setiap pembelajaran,
harus diupayakan untuk dapat mengantarkan peserta didik pada penguasaan kompetensi
yang dicanangkan, termasuk nilai-nilai dan sikap yang melandasinya. Oleh karena itu, pembelajaran tidak harus selalu
dilaksanakan di kelas. Adakalanya pembelajaran harus dilaksanakan di
laboratorium atau di lapangan. Dalam hal ini tentu diperlukan strategi dan keterampilan
yang berbeda.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi guru dalam memilih
strategi pembelajaran. Pertama, adalah berkaitan dengan kemampuan guru atau penguasaannya
terhadap teori, metode dan praktik pembelajaran. Kedua, berkaitan dengan motivasi dan kreativitas guru. Ketiga, terkait dengan ketersediaan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dari ketiga hal tersebut, faktor pertama
dan kedua merupakan pra syarat yang utama. Tanpa kemampuan, motivasi, dan
kreativitas guru akan cenderung mengajar secara tradisional, yaitu hanya
menyampaikan materi yang ada pada buku pelajaran. Lebih lanjut dapat
dikemukakan, bahwa guru perlu mengikuti perkembangan IPTEK yang sudah
berkembang pesat saat ini. Sebagai contoh minimal agar guru tidak gagap
teknologi, ia harus bisa mengoperasikan komputer/laptop.
Dewasa ini, perkembangan teknologi komputer dan informasi telah merambah dunia pendidikan. Dengan memasuki dunia on-line, guru
dapat memperoleh berbagai informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan
pembelajaran. Teks, foto, video, animasi, dan simulasi adalah beberapa contoh
media yang tersedia di situs-situs pembelajaran. Dengan memanfaatkan berbagai media tersebut,
guru dapat mempresentasikan konsep-konsep mata pelajaran dalam berbagai representasi
(multiple representation) yang mempermudah siswa memahami sebuah konsep.
Teknologi on-line juga memberikan kemudahan bagi siswa untuk mendapatkan
tambahan informasi dalam rangka memenuhi tuntutan kompetensi dan juga
pengayaan. Tersedianya fasilitas e-learning juga memungkinkan siswa
menerobos sekat-sekat waktu dan tempat guna mengikuti course yang tersedia secara on-line.
Perkembangan teknologi komputer
informasi berpotensi meningkatkan
kualitas pendidikan dan pembelajaran.
Pembelajaran mata pelajaran di sekolah perlu mengantisipasi
perkembangan teknologi komputer dan
informasi. Secara pedagogis, ada dorongan untuk melibatkan siswa secara
lebih aktif (student centered) dalam proses pembelajaran. Praktik
berpusat pada guru (teacher centered) dirasakan tidak relevan lagi
dengan pesatnya perkembangan informasi sehingga perlu dimodifikasi. Guru perlu memberikan kesempatan pada para
siswa untuk melakukan eksplorasi
diantaranya dengan memanfaatkan teknologi on-line.
Selain dapat meningkatkan dinamika proses pembelajaran, pemanfaatan teknologi
informasi dapat melatih siswa untuk belajar bagaimana belajar (learn how to
learn). Implementasi teknologi
informasi akhirnya diharapkan dapat
menginspirasi siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat (life long learning),
sosok pribadi yang mampu berkembang di tengah perkembangan informasi yang
pesat.
Pembelajaran
dengan menggabungkan kegiatan tatap muka dan kegiatan online (berbantuan
web) mempunyai banyak keuntungan dalam beberapa aspek antara lain
keunggulan dalam media pembelajaran, mahasiswa lebih berperan aktif untuk dapat
memperbaharui dan meningkatkan kemampuan diri secara terus menerus (lifelong
learners), dan mahasiswa mengenal serta memiliki kemampuan dalam teknologi
informasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan
fasilitas pembelajaran melalui web sebagai bagian dari kegiatan
perkuliahan tatap muka (Guldberg, 2007; Kayler & Weller, 2007; Matusov,
Hayes, Pluta, 2005). Perkuliahan yang mengintegrasikan kegiatan tatap muka dan online
learning dikenal dengan blended learning. Dalam penelitian Kayler
& Weller (2007), fasilitas
web dalam pembelajaran antara lain bertujuan memberikan materi
pendalaman yang isinya dapat berupa soal beserta solusinya, materi pelajaran, virtual
praktikum, ujian, tugas, dan diskusi. Mereka menyatakan bahwa mahasiswa
yang sering melakukan log-on pada web memiliki hasil belajar di
atas rata-rata, tetapi tidak dapat memantau apakah hasil belajar itu memang
dipengaruhi oleh lamanya mahasiswa mengakses web. Lebih lanjut mereka
menyatakan dalam diskusi online, jenis pertanyaan yang menarik
(berhubungan dengan pengalaman mahasiswa) mendapat respon lebih baik dari
mahasiswa.
Blended learning
merupakan merupakan inovasi pemanfaatan teknologi komputer dan informatika. Blended
learning merupakan istilah umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi
komputer dan informasi dalam
pembelajaran tatap muka (face to face teaching learning). Bentuknya dapat beragam mulai dari penggunaan
komputer dalam menunjang pembelajaran
sampai dengan komplemen pembelajaran
tatap muka dengan e-learning.
Pemanfaatan blended learning
dalam pembelajaran tentu saja perlu memperhatikan sumber daya alat dan sumber
daya manusia yang tersedia. Makalah ini
akan memaparkan blended learning
dengan terlebih dahulu mengenalkan integrasi teknologi dan komputer informasi
dalam pembelajaran.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan :
1. Hakikat
Pembelajaran.
2. Pengertian
blended learning.
3. Implementasi
blended learning dalam pembelajaran.
4. Temuan-temuan
penelitian tentang implementasi blended
learning dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
C.
Pembahasan
1.
Hakikat Pembelajaran
a. Pengertian Proses Pembelajaran
Sebelum kita bahas pengertian pembelajaran, terlebih
dahulu kita bahas konsep tentang mengajar. Mengapa demikian? Sebab proses
pembelajaran pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari proses mengajar. Secara
umum ada dua konsep mengajar, yakni
mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran dan mengajar sebagai
proses mengatur lingkungan. Kedua konsep tersebut memiliki konsekuensi yang
berbeda terhadap pelaksanaan proses pembelajaran.
1)
Mengajar sebagai Proses Menyampaikan Materi Pelajaran
Pertama kali, mengajar diartikan sebagai proses
penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses
penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam konteks ini, mentransfer tidak diartikan dengan
memindahkan, seperti misalnya mentransfer uang. Sebab, kalau kita analogikan
dengan mentransfer uang, maka jumlah uang yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi berkurang bahkan hilang setelah
ditransfer pada orang lain. Apakah mengajar juga demikian? Apakah ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru, akan menjadi berkurang setelah
dilakukan proses mentransfer? Tidak
bukan? Bahkan mungkin saja ilmu yang dimiliki guru akan semakin bertambah.
Karena itu kata mentransfer dalam konteks ini diartikan sebagai proses
menyebarluaskan, seperti menyebarluaskan atau memindahkan api. Ketika api
dipindahkan atau disebarluaskan, maka api itu tidaklah menjadi kecil akan
tetapi semakin membesar. Untuk proses mengajar, sebagai proses menyampaikan
pengetahuan akan lebih tepat jika diartikan
dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith (1987)
bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparting knowledge or skill).
Kalau kita anggap mengajar sebagai proses menyampaikan
materi pelajaran, maka kegiatan belajar mengajar atau proses pembelajaran akan
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
a) Proses
Pembelajaran Berorientasi pada Guru (Teacher Centered).
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru memegang peran yang
sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau diapakan siswa? Apa yang harus dikuasai siswa? Bagaimana cara melihat keberhasilan
belajar? Semuanya tergantung guru. Begitu pentingnya peran guru, maka biasanya
proses pengajaran hanya akan berlangsung manakala ada guru; dan tidak mungkin
ada proses pembelajaran tanpa guru. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang
berpusat pada guru, maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan
guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai penyampai informasi dan guru
sebagai evaluator. Sebagai perencana pengajaran, sebelum proses pengajaran guru
harus menyiapkan berbagai hal yang diperlukan, seperti misalnya materi
pelajaran apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, media apa
yang harus digunakan dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan perannya sebagai
penyampai informasi, seringkali guru menggunakan metode ceramah sebagai metode
utama.
Metode ini merupakan metode yang
dianggap ampuh dalam proses pembelajaran.
Karena pentingnya metode ini, maka biasanya guru sudah merasa mengajar apabila
sudah melakukan ceramah, dan tidak mengajar apabila tidak melakukan ceramah.
Sedangkan, sebagai evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi
keberhasilan pengajaran. Biasanya kriteria keberhasilan proses pengajaran
diukur dari sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan
guru.
b) Siswa sebagai Objek Belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi
pelajaran, menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka
dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga
melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang
diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai
penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus
dipelajari kadang-kadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat
siswa akan tetapi berangkat dari
pandangan apa yang menurut guru dianggap baik dan bermanfaat.
Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk
mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar
sesuai dengan gayanya sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran
segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
c) Kegiatan
Pembelajaran Terjadi pada Tempat dan Waktu Tertentu
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu
misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat, sehingga siswa
hanya belajar manakala ada kelas yang telah didesain sedemikian rupa sebagai
tempat belajar. Adanya tempat yang telah
ditentukan, sering proses pengajaran terjadi
sangat formal. Siswa duduk dibangku
berjejer, dan guru di depan kelas. Demikian juga halnya dengan waktu
yang diatur sangat ketat. Misalnya manakala waktu belajar suatu materi
pelajaran tertentu telah habis, maka segera siswa akan belajar materi lain
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Cara mempelajarinyapun seperti
bagian-bagian yang terpisah, seakan-akan tidak ada kaitannya antara materi
pelajaran yang satu dengan yang lain.
d) Tujuan Utama
Pembelajaran adalah Penguasaan Materi Pelajaran
Keberhasilan suatu
proses pengajaran diukur dari sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran
yang disampaikan guru. Materi
pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran
yang diberikan di sekolah. Sedangkan, mata pelajaran itu sendiri adalah
pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan
logis kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu
yang harus dikuasai siswa. Kadang-kadang
siswa tidak perlu memahami apa gunanya
mempelajari bahan tersebut. Karena kriteria keberhasilan ditentukan oleh
penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah
tes hasil belajar tertulis (paper and
pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.
2)
Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan
Pandangan lain
mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa
belajar. Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Untuk apa menyampaikan materi pelajaran kalau siswa tidak
berubah tingkah lakunya? Untuk apa siswa menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya kalau ternyata materi yang
dikuasainya itu tidak berdampak terhadap perubahan perilaku dan
kemampuan siswa. Dengan demikian yang
penting dalam mengajar adalah proses merubah perilaku. Dalam kontek ini
mengajar tidak ditentukan oleh lamanya serta banyaknya materi yang disampaikan,
akan tetapi dari dampak proses pembelajaran itu sendiri. Bisa terjadi guru
hanya beberapa menit saja di muka kelas, namun dari waktu yang sangat singkat
itu membuat siswa sibuk melakukan proses belajar, itu sudah dikatakan mengajar.
Kalau kita menganggap
mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, maka dalam kegiatan belajar
mengajar atau dalam proses pembelajaran akan memiliki karakteristik sebagai
berikut.
a) Proses
Pembelajaran Berpusat pada Siswa (Student
Centered)
Mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi
sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Hendak belajar apa siswa dari topik
yang harus dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya guru yang
menentukan akan tetapi juga siswa. Siswa memliki kesempatan untuk belajar
sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian peran guru berubah dari peran sebagai
sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator, artinya guru lebih banyak sebagai orang yang membantu
siswa untuk belajar. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh
sebab itu, krtieria keberhasilan proses mengajar tidak diukur dari sejauhmana siswa
telah menguasai materi pelajaran akan tetapi diukur dari sejauhmana siswa telah
melakukan proses belajar. Dengan demikian guru tidak lagi berperan hanya
sebagai sumber belajar, akan tetapi berperan sebagai orang yang membimbing dan
memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Inilah makna proses
pembelajaran berpusat kepada siswa (student
oriented). Siswa tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan
dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek yang
belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh sebab
itu, materi apa yang seharusnya dipelajari dan bagaimana cara mempelajrinya
tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan guru, akan tetapi memperhatikan
setiap perbedaan siswa.
b)
Siswa sebagai Subjek Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan,
siswa tidak dianggap sebagai organisme yang pasif yang hanya sebagai penerima
informasi, akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki
potensi untuk berkembang. Mereka adalah individu yang memiliki kemampuan dan
potensi.
c) Proses Pembelajaran
Berlangsung di Mana Saja
Sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang berorientasi kepada siswa, maka proses
pembelajaran bisa terjadi dimana saja. Kelas bukanlah satu-satunya tempat
belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan
kebutuhan dan sifat materi pelajaran. Ketika siswa akan belajar tentang fungsi
pasar misalnya, maka pasar itu
sendiri merupakan tempat belajar siswa.
d) Pembelajaran
Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran
bukanlah penguasan materi pelajaran, akan tetapi proses untuk merubah tingkah laku siswa
sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itulah penguasaan materi
pelajaran bukanlah akhir dari proses
pengajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara untuk pembentukan tingkah
laku yang lebih luas. Artinya, sejauh mana materi pelajaran yang dikuasai siswa
dapat membentuk pola perilaku siswa itu sendiri. Untuk itulah metoda dan strategi
yang digunakan guru tidak hanya sekedar metode ceramah, akan tetapi menggunakan
berbagai metode, seperti diskusi, penugasan, kunjungan ke objek-objek tertentu
dan lain sebagainya.
2.
Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar
Apakah mengajar
sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad teknologi sekarang ini masih
berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru) tidak berhasil menanamkan
pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga dianggap orang tersebut
telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa kriteria keberhasilan mengajar? Apakah
mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah
disampaikan?
Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu
pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa
demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut
perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas
menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur
lingkungan.
Pertama, siswa bukan
orang dewasa dalam bentuk mini, akan tetapi mereka adalah organisme yang sedang
berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya,
dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar
tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi yang memungkinkan
setiap siswa dapat dengan mudah mendapatkan berbagai informasi, tugas dan
tanggung jawab guru bukan semakin sempit akan tetapi justru semakin kompleks.
Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan
tetapi ia juga harus mampu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat
menunjukkan pada siswa informasi yang dianggap perlu dan penting untuk
kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai
informasi yang dapat menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
mereka. Karena itulah, kemajuan teknologi menuntut perubahan peran guru. Guru tidak lagi
memposisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi,
akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan
siswa itu sendiri.
Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan
setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu
hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, hukum dan lain sebagainya.
Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Dalam
bidang teknologi, begitu hebatnya orang menciptakan benda-benda mekanik yang
bukan hanya diam, tapi bergerak, bahkan
dapat terbang menembus angkasa luar. Demikian juga kehebatan para ahli
yang bergerak dalam bidang kesehatan yang mampu mencangkok organ tubuh manusia
sehingga menambah harapan hidup manusia. Semua dibalik kehebatan-kehebatan itu,
bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah
yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, bukan ha-nya sekedar
mengahapal informasi, menghapal rumus-rumus, akan tetapi bagaimana menggunakan
informasi dan pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
Ketiga, penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang
psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku
manusia. Dewasa ini, anggapan manusia sebagai organisma yang pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh lingkungan
seperti yang dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan
orang. Orang sekarang lebih percaya, bahwa
manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan
oleh aliran kognitif wholistik.
Potensi itulah yang akan menentukan perilaku manusia. Oleh karena itu proses
pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, akan tetapi usaha mengembangkan
potensi yang dimiliki. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, akan
tetapi sebagai subjek belajar yang harus mencari dan mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun
oleh siswa.
Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam
mengajar. Mengajar tidak hanya diartikan sebagai proses menyampaikan materi
pembelajaran, atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan
tetapi juga mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa
belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik
seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan
hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga
mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan
potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran
yang sering digunakan dewasa ini.
Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam
dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran
Psikologi Kognitif-Wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari
kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat
berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu
mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai
fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti yang diungkapkan
Gagne (1992), yang menyatakan bahwa “instruction
is a set of event that effect learners in such a way that learning is
facilitated”. Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau “teaching” merupakan bagian dari
pembelajaran (instruction), di mana
peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen
berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.
Lebih lengkap Gagne menyatakan: “Why
do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to
describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a
human being, not just those set in motion by individual who is a teacher.
Instruction may include events that are generated by a page of print, by a picture, by a television program, or by
combination of physical objects, among other
things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement
of any of these events (Gagne, 1992).
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh
perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang
utama, sehingga dalam setting proses
belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual
mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar
(pengajaran)” atau “teaching”
menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan
sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari
siswa.
3. Makna Proses Pembelajaran
Mengajar dalam konteks standar
proses pendidikan bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran akan tetapi
juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan
dengan pembelajaran. Hal ini
mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan
sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak,
peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran
perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang
diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan
perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pebelajar sepanjang hayat
dan mewujudkan masyarakat belajar.
Dalam implementasinya,
walaupun istilah yang digunakan ”pembelajaran”, tidak berarti guru harus
menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya
dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mengajar-belajar
adalah dua istilah yang memiliki satu makna
yang tidak dapat dipisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan
antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli” – Teaching is to Learning as Selling is to
Buying. Artinya, seseorang tidak
mungkin akan menjual manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tidak
akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan
demikian dalam istilah mengajar, juga terkandung proses belajar siswa. Inilah
makna pembelajaran.
Dalam
konteks pembelajaran, sama sekali tidak berarti memperbesar peranan siswa disatu pihak dan memperkecil peranan guru di
pihak lain. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara
optimal demikian juga halnya dengan siswa.
Perbedaan dominasi dan aktivitas di atas, hanya menunjukan kepada
perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses
pembelajaran. Sebagai contoh ketika guru menentukan pro-ses belajar mengajar
dengan menggunakan metoda buzz group
(diskusi kelompok kecil), yang lebih menekankan kepada aktivitas siswa, maka
tidak berarti peran guru semakin kecil. Ia akan tetap dituntut berperan secara
optimal agar proses pembelajaran dengan buzz
group itu berlagsung dengan baik
dan optimal. Demikian juga sebaliknya ketika guru menggunakan pendekatan
ekspositori (contohnya dengan ceramah) dalam pembelajaran, tidak berarti peran
siswa menjadi semakin kecil. Mereka harus tetap berperan secara optimal dalam
rangka menguasai dan memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Dari
uraian tersebut, maka nampak jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukkan pada usaha
siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Disini jelas,
proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan
guru. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.
Bruce
Weil, (1980) mengemukakan tiga prinsip
penting dalam proses pembelajaran semacam ini.
Pertama, proses pembelajaran
adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat
membentuk atau merubah struktur kognitif siswa. Tujuan pengaturan lingkungan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pengalaman belajar yang memberi
latihan-latihan penggunaan fakta-fakta. Menurut Piaget, struktur kognitif akan
tumbuh manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh karena itu, proses
pembelajaran menuntut aktivitas siswa secara penuh untuk mencari dan menemukan
sendiri.
Kedua, berhubungan
dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan
yang masing-masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya.
Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan fisis, sosial dan logika. Pengetahuan
fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis
dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana
objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Pengetahuan fisis diperoleh
melalui pengalaman indra secara langsung. Misalkan anak memegang kain sutra
yang terasa halus, atau memegang logam yang bersifat keras dan lain sebagainya.
Dari tindakan-tindakan langsung itulah anak membentuk struktur kognitif tentang sutra dan logam.
Pengetahuan
sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau
hubungan antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh
pengetahuan tentang aturan, hukum, moral, nilai, bahasa dan lain sebagainya.
Pengetahuan tentang hal di atas, muncul
dalam budaya tertentu sehingga dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan
yang lain. Pengetahuan sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan
seseorang terhadap suatu objek, tetapi dibentuk dari interaksi seseorang dengan
orang lain. Ketika anak melakukan interaksi dengan temannya, maka kesempatan
untuk membangun pengetahuan sosial dapat berkembang (Wadsworth, 1989).
Pengetahuan
logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk
berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu. Pengetahuan
ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan
koordinasi relasi atau penggunaan
objek. Pengetahuan logis hanya akan berkembang manakala anak berhubungan
dan bertindak dengan suatu objek, walaupun objek yang dipelajarinya tidak
memberikan informasi atau tidak menciptakan pengetahuan matematis. Pengetahuan
ini diciptakan dan dibentuk oleh pikiran individu itu sendiri, sedangkan objek
yang dipelajarinya hanya bertindak sebagai media saja. Misalkan pengetahuan
tentang bilangan, anak dapat bermain dengan himpunan kelereng atau apa saja
yang dapat dikondisikan. Dalam konteks ini anak tidak mempelajari kelereng
sebagai sumber pengetahuan, akan tetapi kelereng merupakan alat untuk memahami
bilangan matematis. Jenis-jenis pengetahuan itu memiliki karakteristik
tersendiri, oleh karena itu pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh
siswa mestinya berbeda.
Ketiga, dalam
proses pembelajaran harus melibatkan
peran lingkungan sosial. Anak akan lebih
baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui
pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan
dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena, melalui
hubungan sosial itulah anak berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman
dan lain sebagainya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
Selama
menjalani proses kehidupannya, dari mulai lahir sampai dengan akhir hayatnya
manusia tidak akan terlepas dari persoalan atau masalah. Selama kehidupannya
manusia memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia akan dihadapkan pada berbagai rintangan. Manakala ia berhasil
mencapai rintangan itu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada tujuan baru
yang semakin berat, manakala ia berhasil mengatasi rintangan itu, maka segera
akan muncul tujuan yang lain, demikianlah kehidupan manusia. Manusia yang
berkualitas dan sukses, adalah manusia yang mampu menembus setiap tantangan
yang muncul. Dan manusia gagal adalah manusia yang tidak mampu mengatasi setiap
hambatan sehingga ia akan tergusur oleh perubahan zaman yang sangat cepat
berubah.
Atas dasar uraian di atas, maka proses pembelajaran harus
diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam
kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi yang harus dimiliki,
yang meliputi, kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural
dan kompetensi temporal. Itulah sebabnya, makna belajar bukan hanya mendorong
anak agar mampu menguasai sejumlah materi pelajaran akan tetapi bagaimana agar
anak itu memiliki sejumlah kompetensi untuk mampu menghadapi rintangan yang
muncul sesuai dengan perubahan pola kehidupan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka makna pembelajaran dalam
konteks standar proses pendidikan ditunjukkan oleh beberapa ciri sebagai
berikut:
a. Pembelajaran adalah Proses Berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir
menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi
antara inividu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran berpikir proses pendidikan
di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi
pelajaran, akan tetapi yang diutamakan
adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated). Dengan kata lain,
proses pembela-jaran hendaknya merangsang siswa untuk mengeksplorasi dan
mengelaborasi sendiri sekaligus mampu mengkonfirmasi sesuatu sesuai dengan
proses berpikirnya sendiri.
Asumsi yang mendasari pembelajaran berpikir adalah bahwa
pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk oleh individu itu
sendiri dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Atas dasar asumsi itulah
pembelajaran berpikir memandang, bahwa mengajar itu bukanlah memindahkan
pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatu aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya.
Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam pembelajaran berpikir adalah
berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi.
Dalam proses pembelajaran La Costa (1985)
mengklasifikasikan mengajar berfikir menjadi tiga,
yaitu teaching of thinking, teaching for
thinking dan teaching about thinking.
Teahing of thinking
adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental
tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berrpikir kreatif dan
lain sebagainya. Dengan demikian jenis pembelajaran ini lebih menekankan kepada aspek
tujuan pembelajaran. Teaching for thinking, adalah proses
pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan
lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognitif.
Jenis pembelajaran ini lebih menitik beratkan kepada proses menciptakan situasi
dan lingkungan tertentu, contohnya menciptakan suasana keterbukaan yang
demokratis, menciptakan iklim yang menyenangkan sehingga memungkinkan siswa dapat berkembang secara optimal. Teaching about thinking, adalah
pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar
terhadap proses berpikirnya. Jenis pembelajaran ini lebih menekankan kepada
metodologi yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Pada kenyataannya, proses pembelajaran berpikir
menyangkut tiga hal tersebut. Artinya, dalam pelaksanaan pembelajaran, kita
tidak mungkin melepaskan ketiga aspek di
atas. Contohnya untuk dapat melatih keterampilan berpikir tertentu
kepada siswa sangat diperlukan suasana yang mendukung serta metodologi yang
dianggap efektif. Oleh karenanya, ketiga hal di atas, memiliki keterkaitan yang
sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan.
b. Proses
Pembelajaran adalah Memanfaatkan Potensi Otak
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan
otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua
bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki
spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan
tertentu.
Proses berpikir otak kiri
bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas,
ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai
untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi
auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolis (De Porter,
1992).
Cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur,
intuitif dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk
mengetahui yang bersifat non verbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang
berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang),
kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna,
kreativitas dan visualisasi.
Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara optimal dan
seimbang. Belajar yang hanya cenderung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan
memaksa anak untuk berpikir logis dan rasional akan membuat anak dalam posisi ”kering dan hampa”. Oleh karena itu belajar
berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh pergerakan otak kanan,
misalnya dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi emosi, yaitu
unsur estetika melalui proses belajar yang menyenangkan dan menggairahkan.
Dalam standar proses pendidikan, belajar adalah memanfaatkan kedua belahan otak
secara seimbang.
Pendapat lain tentang otak adalah teori Otak Triune. ”Triune” berarti ”three in one” (Dave Meier, 2002) Menurut teori otak Triune, otak manusia terdiri dari 3 bagian yaitu otak reptil, sistem
limbik dan neokortek seperti yang ada dalam gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1 Otak Triune
Otak reptil adalah otak paling sederhana. Tugas utama otak ini adalah mempertahankan diri. Otak ini menguasai fungsi otomatis seperti degupan
jantung dan sistem peredaran darah. Disinilah
pusat perilaku naluriah yang cenderung mengikuti contoh dan rutinitas secara
membuta. Otak reptil diyakini sebagai otak hewan yang berfungsi untuk mengejar
kekuasaan. Ia akan berbuat apa saja demi mencapai tujuan yang diinginkannya termasuk
untuk mempertahankan diri.
Sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan
besar dalam hubungan manusia dan dalam emosi. Fungsi otak ini bersifat sosial
dan emosional. Di otak ini juga terkandung sarana untuk mengingat jangka
panjang.
Neokortek adalah otak yang paling tinggi tingkatannya.
Otak ini memiliki fungsi tingkat tinggi misalnya mengembangkan kemampuan
berbahasa, berpikir abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, dan
berkreasi. Otak ini yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lain ciptaan
Tuhan.
Proses pendidikan mestinya mengembangkan setiap bagian
otak. Apabila proses pembelajaran mampu mencapai otak neokortek maka sudah
barang tentu otak reptil dan sistem limbik akan terkembangkan; namun demikian
pembelajaran yang hanya menyentuh otak limbik apalagi otak reptil belum tentu
neokortek akan terkembangkan. Dengan demikian pembelajaran mestinya
mengembangkan kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan fungsi neokortek,
melalui pengembangan berbahasa, memecahkan masalah dan membangun kreasi.
c. Pembelajaran Berlangsung Sepanjang Hayat
Belajar
adalah proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas
pada dinding kelas. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya
manusia akan selalui dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya.
Dalam proses mencapai tujuan itu, manusia akan dihadapkan pada berbagai
rintangan. Manakala rintangan sudah dilaluinya, maka manusia akan dihadapkan
pada tujuan atau masalah baru, untuk mencapai tujuan baru itu manusia akan
dihadapkan pada rintangan baru pula, yang kadang-kadang rintangan itu semakin
berat. Demikianlah siklus kehidupan
dari mulai lahir sampai kematiannya manusia akan senantiasa dihadapkan pada
tujuan dan rintangan yang terus menerus. Dikatakan manusia yang sukses dan
berhasil manakala ia dapat menembus rintangan itu; dan dikatakan manusia gagal
manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihada-pinya. Atas dasar itulah
sekolah harus berperan sebagai wahana
untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana
cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang
dihadapi sampai akhir hayatnya.
|
i r
n i
|
a t
|
g n
a g
n a
n
Gambar 2 Siklus Kehidupan Manusia
Prinsip
belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan di atas, sejalan dengan
empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan Unesco
(1996) yaitu (1) learning to know, yang berarti juga learning to
learn, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning
to live together.
Learning to know atau learning to learn mengandung pengertian
bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau
hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.
Dengan proses belajar, siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari
akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari
yang harus dipelajari itu. Dengan kemampuan itu memungkinkan proses belajar
tidak akan berhenti atau terbatas di sekolah saja, akan tetapi memungkinkan
siswa akan secara terus menerus belajar dan belajar. Inilah hakekat belajar sepanjang
hayat. Apabila hal ini dimiliki siswa, maka masyarakat belajar (learning
society) sebagai salah satu tuntutan masyarakat informasi akan terbentuk. Oleh sebab itu dalam
konteks learning to know juga
bermakna “learning to think” atau
belajar berpikir, sebab setiap individu akan terus belajar manakala dalam dirinya tumbuh kemampuan dan kemauan
untuk berpikir.
Learning
to do, mengandung
pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan
tujuan akumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan
akhir penguasaan kompetensi yang sangat
diperlukan dalam era persaingan global. Kompetensi akan dimiliki manakala anak diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian learning to do juga
berarti proses pembelajaran berorientasi kepada pengalaman (learning by experiences).
Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk
manusia yang “menjadi dirinya sendiri”, dengan kata lain belajar untuk
mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang
memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Dalam pengertian ini juga terkandung
makna kesadaran diri sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab sebagai
khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya.
Learning
to live together, adalah belajar untuk
bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam
masyarakat global di mana manusia baik
secara individual maupun secara kelompok
tidak mungkin dapat hidup
sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya. Dalam konteks ini
termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan
menyadari akan adanya setiap perbedaan
pandangan antara individu.
4. Pelaksanaan Proses Pembelajaran
a.
Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Seperti yang telah dijelaskan dimuka, guru dalam proses
pembelajaran memiliki peran yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan
teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon dapat
memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak
mungkin bisa mengganti peran guru. Lalu apa peran guru dalam kondisi demikian?
Beberapa peran guru khususnya dalam
proses pembelajaran di dalam kelas dijelaskan dibawah ini:
b. Guru sebagai Sumber Belajar
Peran guru sebagai sumber belajar, merupakan peran yang
sangat penting. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan
materi pelajaran. Kita bisa menilai baik
atau tidaknya seorang guru hanya dari penguasaan materi pelajaran.
Dikatakan guru yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan
baik, sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi anak
didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa sekaitan dengan materi pelajaran yang
sedang diajarkannya, ia akan dapat menjawab dengan penuh keyakinan. Sebaliknya
dikatakan guru yang kurang baik manakala ia tidak paham tentang materi yang
diajarkannya. Ketidak pahaman tentang materi pelajaran biasanya ditunjukkan
oleh perilaku-perilaku tertentu misalnya teknik penyampaian materi pelajaran
yang monoton, ia lebih sering duduk di kursi sambil membaca, suaranya lemah,
tidak berani melakukan kontak mata dengan siswa, miskin dengan ilustrasi dan
lain sebagainya. Perilaku guru yang demikian dapat menyebabkan hilangnya
kepercayaan pada diri siswa, sehingga
guru akan sulit mengendalikan kelas.
Sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran
hendaknya guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Guru harus memiliki bahan referensi yang lebih banyak
dibandingkan dengan siswa. Hal ini untuk menjaga agar guru memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang materi yang akan dikaji bersama siswa. Dalam
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, bisa terjadi siswa lebih
”pintar” dibandingkan guru dalam hal penguasaan informasi. Oleh sebab itu,
untuk menjaga agar guru tidak ketinggalan informasi, sebaiknya guru memiliki
bahan-bahan reference yang lebih
banyak dibandingkan siswa. Misalnya melacak bahan-bahan dari internet, atau
dari bahan cetak terbitan terakhir, atau berbagai informasi dari media masa.
2) Guru dapat menunjukkan sumber belajar yang dapat
dipelajari oleh siswa yang biasanya memiliki kecepatan belajar di atas
rata-rata siswa yang lain. Siswa yang demikian perlu diberikan perlakuan
khusus, misalnya dengan memberikan bahan pengayaan dengan menunjukkan sumber
belajar yang berkenaan dengan materi pelajaran.
3) Guru perlu melakukan pemetaan
tentang materi pelajaran, misalnya dengan
menentukan mana materi inti (core),
yang wajib dipelajari siswa, mana materi
tambahan mana materi yang harus diingat kembali karena pernah di bahas dan lain
sebagainya. Malalui pemetaan semacam ini akan memudahkan bagi guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai sumber belajar.
c. Guru sebagai Fasilitator
Sebagai fasilitator guru berperan dalam memberikan
pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sebelum
proses pembelajaran dimulai sering guru
bertanya: bagaimana caranya agar ia mudah menyajikan bahan pelajaran?
Pertanyaan tersebut sekilas memang ada benar-nya. Melalui usaha yang
sungguh-sungguh guru ingin agar ia mudah menya-jikan bahan pelajaran dengan
baik. Namun demikian, pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran
berorientasi pada guru. Oleh sebab itu
akan lebih bagus manakala pertanyaan tersebut
diarahkan pada siswa, misalnya apa yang harus dilakukan agar siswa mudah
mempelajari bahan pelajaran sehingga tujuan belajar tercapai secara optimal.
Pertanyaan tersebut mengandung makna, kalau tujuan mengajar adalah mempermudah
siswa belajar. Inilah hakikat peran fasilitator dalam proses pembelajaran.
Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam
proses pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipahami, khususnya hal-hal
yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber pembelajaran.
1) Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar
beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media
sa-ngat diperlukan, belum tentu suatu media cocok digunakan untuk mengajarkan
semua bahan pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik yang berbeda.
2) Guru perlu memiliki keterampilan dalam merancang suatu
media. Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru profesional. Dengan perancangan media yang dianggap
cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga pada gilirannya tujuan
pembelajaran akan tercapai secara optimal.
3) Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai
jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar. Perkembangan
teknologi infomasi menuntut setiap guru untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Berbagai perkembangan
teknologi informasi memungkinkan setiap guru dapat menggunakan berbagai
pilihan media yang dianggap cocok.
4) Sebagai fasilitator guru dituntut agar memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting,
kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
d. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran
Sebagai pengelola pembelajaran (learning manajer), guru berperan dalam menciptakan iklim belajar
yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas
yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses
belajar seluruh siswa.
Menurut Ivor K. Devais, salah satu kecenderungan yang
sering dilupakan adalah melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya
siswa dan bukan mengajarnya guru. Dalam hubungannya dengan pengelolaan
pembelajaran Alvin C. Eurich menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang harus
diperhatikan guru adalah sebagai berikut:
1) Segala sesuatu yang dipelajari oleh siswa, maka siswa
harus mempelajarinya sendiri.
2)
Setiap
siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
3) Seorang siswa akan belajar lebih banyak apabila setiap
selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
4) Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan
belajar seca-ra keseluruhan lebih berarti.
5) Apabila siswa diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih
termotivasi untuk belajar.
Dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran, ada dua
macam kegiatan yang harus dilakukan yaitu megelola sumber balajar dan
melaksanakan peran sebagai sumber belajar itu sendiri. Sebagai manajer, guru
memiliki 4 fungsi umum, yaitu:
1) Merencanakan tujuan belajar.
2) Mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk
mewujudkan tujuan be-lajar.
3) Memimpin, yang meliputi memotivasi, mendorong dan
menstimulasi siswa.
4) Mengawasi segala sesuatu, apakah sudah berfungsi
sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.
Walaupun keempat fungsi itu merupakan kegiatan yang
terpisah, namun keempatnya harus dipandang
sebagai suatu lingkaran atau siklus kegiatan yang berhubungan satu sama
lain seperti yang terlihat pada gambar 3.
|
Gambar 3
Fungsi Guru sebagai Manajer
Fungsi perencanaan merupakan fungsi yang sangat penting
bagi seorang manajer. Kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan fungsi perencanaan
di antaranya meliputi memperkirakan tuntutan dan kebutuhan, menentukan tujuan, menulis silabus kegiatan pembelajaran,
menentukan topik-topik yang akan dipelajari, mengalokasikan waktu serta menentukan sumber-sumber yang
diperlukan. Melalui fungsi perencanan ini, guru berusaha menjembatani jurang
antara dimana murid berada dan kemana mereka harus pergi. Keputusan semacam ini
menuntut kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif, serta meliputi sejumlah besar kegiatan yang pada hakikatnya
tidak teratur dan tidak berstruktur.
Fungsi pengorganisasian melibatkan penciptaan secara
sengaja suatu lingkungan pembelajaran yang kondusif serta melakukan pendelegasian
tanggung jawab dalam rangka mewujudkan tujuan program pendidikan yang telah
direncanakan. Pengorganisasian, pengaturan-pengaturan sumber hanyalah alat atau
sarana saja untuk mencapai apa yang harus diselesaikan. Tujuan akhirnya adalah membuat agar siswa dapat bekerja
dan belajar bersama-sama. Harus diingat, pengorganisasian yang efektif hanya dapat diciptakan manakala siswa
dapat belajar secara individual, karena pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai
adalah siswa secara individual walaupun pengajaran itu dilaksanakan secara
klasikal. Keputusan yang berhubungan
dengan pengorganisasian ini memerlukan pengertian mendalam dan perhatian
terhadap siswa secara individual.
Fungsi memimpin atau mengarahkan adalah fungsi yang
bersifat pribadi yang melibatkan gaya tertentu. Tugas memimpin ini adalah
berhubungan dengan membimbing, mendorong, dan mengawasi murid, sehingngga
mereka dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Tujuan akhirnya adalah untuk membangkitkan motivasi dan mendorong
murid-murid sehingga mereka menerima dan melatih tanggung jawab untuk belajar
mandiri.
Fungsi mengawasi bertujuan untuk mengusahakan
peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan rencana yang telah disusun. Dalam
batas-batas tertentu fungsi pengawasan melibatkan pengambilan keputusan yang terstruktur, walaupun proses tersebut
mungkin sangat kompleks, khususnya bila mengadakan kegiatan remidial.
e.
Guru sebagai Demonstrator
Yang dimaksud dengan peran guru sebagai demonstrator
adalah peran untuk mempertunjukkan kepada siswa segala seuatu yang dapat
membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada
dua konteks guru sebagai demonstrator. Pertama, sebagai demonstrator berarti guru
harus menunjukkan sikap-sikap yang terpuji. Dalam setiap aspek kehidupan, guru
merupakan sosok ideal bagi setiap siswa. Biasanya apa yang dilakukan guru akan
menjadi acuan bagi siswa. Dengan demikian dalam konteks ini guru berperan
sebagai model dan teladan bagi setiap siswa. Kedua, sebagai demonstrator guru
harus dapat menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran dapat
lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa. Oleh karena itu, sebagai
demonstrator erat kaitannya dengan pengaturan strategi pembelajaran yang lebih
efektif.
f.
Guru sebagai Pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa
dilihat dari adanya setiap perbedaan. Artinya, tidak ada dua individu yang
sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi
pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan
sebagainya. Di samping itu setiap individu
juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka
tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan
sebagai pembimbing. Membimbing siswa agar dapat
menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup mereka,
membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian
itu ia dapat tumbuh dan berkembang
sebagai manusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan
masyarakat.
Seorang guru dan siswa sepeti halnya seorang petani
dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat
berbuah dengan menarik batang atau daunya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia
memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah.
Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna,
tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan
tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk
dan memberi obat pembasmi hama. Demiki-an juga halnya dengan seorang guru. Guru
tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh
dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakan yang
dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membmbing agar siswa
tumbuh dan berkem-bang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna
peran sebagai pembimbing.
Agar guru berperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada beberapa hal yang harus
dimiliki, diantaranya: Pertama, guru
harus memiliki pemahaman tentang anak
yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman
tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan
bakat yang dimiliki anak. Pemahaman ini sangat penting artinya, sebab akan
menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
Kedua, guru harus mamahami dan trampil dalam merencanakan, baik
merencakan tentang tujuan dan kompetensi yang hendak dicapai, maupun merencakan
proses pembelajaran. Proses bimbingan akan dapat dilakukan dengan baik manakala
sebelumnya guru merencanakan hendak di bawa ke mana siswa, apa yang harus
dilakukan dan lain sebagainya. Untuk merumus-kan
tujuan yang sesuai guru harus memahami segala sesuatu yang berhubungan
baik dengan sistem nilai masyarakat maupun dengan kondisi psikologis dan
fisiologis siswa, yang kesemuanya itu terkandung dalam kurikulum sebagai
pedoman dalam merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki.
Di samping itu, juga guru perlu mampu merencanakan dan
mengimplentasikan proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh.
Proses membimbing adalah proses memberikan bantuan kepada siswa, dengan demikian
yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah siswa itu sendiri.
g.
Guru sebagai Motivator
Dalam proses pembelajaran motivasi
merupakan salah satu aspek dinamis yang
sangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan
oleh kemampuannya yang kurang, akan tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi
untuk belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan siswa yang berprestasi rendah belum tentu
disebabkan oleh kemampuannya yang rendah pula, akan tetapi mungkin disebabkan
oleh tidak adanya dorongan atau motivasi. Kemudian
apa yang disebut motivasi itu?
Woodwort (1955) mengatakan: ”A motive is a set predisposes the individual of certain activities and
for seeking certain goals”. Suatu motif adalah suatu set yang dapat membuat
individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian, perilaku atau tindakan yang ditunjukkan seseorang dalam upaya
mencapai tujuan tertentu sangat tergantung dari motive yang dimilikinya. Arden
(1957) menegaskan “motives as internal condition arouse sustain, direct and
determain the intensity of learning effort, and also define the set
satisfying or unsatisfyng consequences of goal”.
Dari definisi tersebut maka jelas, kuat lemahnya atau
semangat tidaknya usaha yang dilakukan seseorang untuk mecapai suatu tujuan
akan ditentukan oleh kuat lemahnya motife yang dimiliki orang tersebut. Motif dan motivasi merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Motivasi merupakan penjelmaan
dari motive yang dapat dilihat dari perilaku yang ditunjukkan seseorang.
Hilgard mengatakan bahwa motivasi adalah suatu keadaan yang terdapat dalam diri
seseorang yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi dengan
demikian, motivasi muncul dari dalam diri seseorang.
Motivasi sangat erat hubugannya dengan kebutuhan, sebab
memang motivasi muncul karena kebutuhan. Seseorang akan terdorong untuk
bertindak manakala dalam dirinya ada kebutuhan. Kebutuhan ini yang menimbulkan
keadaan ketidakseimbangan (ketidak puasaan), yaitu ketegangan-ketegangan, dan
ketegangan itu akan hilang manakala kebutuhan itu telah terpenuhi.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa memiliki
motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu guru perlu menumbuhkan motivasi belajar
siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif
mem-bangkitkan motivasi belajar siswa. Di bawah ini dikemukakan beberapa
petunjuk.
1)
Memperjelas Tujuan yang Ingin Dicapai
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana
ia ingin di bawa. Pemahaman siswa
tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang
pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas
tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh
sebab itu sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan
terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai.
2)
Membangkitkan Minat Siswa
Siswa akan terdorong untuk belajar, manakala mereka
memiliki minat untuk belajar. Oleh
sebab itu mengembangkan minat belajar siswa merupa-kan salah satu teknik dalam
mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk
membangkitkan minat belajar siswa di antaranya:
a) Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan
kebutuhan sis-wa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa
ma-teri pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu
menjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
b) Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan
kemampuan siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau
materi pe-lajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh
siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik
dan dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal, kegagalan
itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya mi-nat siswa akan tumbuh
kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
c) Gunakan perbagai model dan strategi pembalajran secara
bervariasi mi-salnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi dan lain
seba-gainya.
3)
Ciptakan Suasana yang Menyenangkan dalam Belajar
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik, manakala
ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman bebas dari rasa takut.
Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa
te-gang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
4)
Berilah Pujian yang Wajar terhadap Setiap Keberhasilan Siswa
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai.
Memberikan pujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata,
justru ada anak yang merasa tidak senang dengan kata-kata. Pujian sebagai penghargaan bisa dilakukan dengan isyarat misalnya
senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang
meyakinkan.
5)
Berikan Penilaian
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai
bagus. Un-tuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat
menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu penilaian harus
dilakukan dengan segera, agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya.
Peni-laian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa
ma-sing-masing.
6)
Berilah Komentar terhadap Hasil Pekerjaan Siswa
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan
dengan membe-rikan komentar yang positif. Setelah siswa selesai mengerjakan
suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya misalnya dengan
memberikan tulis-an “bagus”, atau
“teruskan pekerjanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
7)
Ciptakan Persaingan dan Kerjasama
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik
untuk ke-berhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa
dimungkin-kan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Oleh sebab itu guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
bersaing baik antara kelompok maupun antar individu. Namun demikian, diakui
persaingan tidak selamanya menguntungkan, khususnya untuk siswa yang memang
dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat
dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antar kelompok.
Disamping
beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas adakalanya
motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya
negatif seperti memberikan hukuman, teguran dan kecaman, memberikan tugas yang
sedikit berat (menantang). Namun teknik-teknik semacam itu hanya dapat
digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan
membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan
siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif,
sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
g.
Guru sebagai Evaluator
Sebagai evaluator guru berperan untuk mengumpulkan data
atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Terdapat
dua fungsi dalam memerankan perannya
sebagai evaluator. Pertama, untuk
menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam
menyerap materi kurikulum. Kedua,
untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang
telah diprogramkan.
1)
Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Siswa
Sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menilai
keberhasilan siswa, evaluasi memegang peranan yang sangat penting. Sebab
melalui evaluasi guru dapat menentukan apakah siswa yang diajarnya sudah
memiliki kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga mereka layak diberikan
program pembelajaran baru, atau malah sebaliknya siswa belum dapat mencapai
standar minimal sehingga mereka perlu diberikan program remidial. Sering guru beranggapan
bahwa evaluasi sama dengan melakukan tes, artinya guru telah melakukan evaluasi manakala ia telah melaksanakan tes. Hal
ini tentu kurang tepat, sebab evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan nilai atau makna tertentu pada sesuatu yang dievaluasi. Dengan
demikian tes hanya salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan makna
tersebut. Misalnya Si ”A” dikatakan menguasai seluruh program pembelajaran
berdasarkan hasil rangkaian evaluasi
misalnya, berdasarkan hasil tes, ia memperoleh skor yang bagus, berdasarkan
hasil observasi ia telah dapat menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari,
berdasarkan hasil wawancara ia benar-benar tidak mengalami kesulitan tentang
bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Berdasarkan rangkaian proses evaluasi
akhirnya guru dapat menentukan bahwa Si ”A” pantas diberi program pembelajaran
baru. Sebaliknya, walaupun berdasarkan hasil tes Si ”B” telah dapat menguasai
kompetensi seperti yang diharapkan, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dan
observasi, ia tidak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan misalnya
dalam kemampuan berpikir, maka dapat saja guru menentukan bahwa proses
pembelajaran dianggap belum berhasil.
Kelemahan yang sering terjadi sehubungan dengan
pelaksanaan evaluasi selama ini adalah guru dalam menentukan keberhasilan siswa
terbatas pada hasil tes yang biasa dilakukan secara tertulis, akibatnya sasaran
pembelajaran hanya terbatas pada kemampuan siswa untuk mengisi soal-soal yang
biasa keluar dalam tes.
Di samping itu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
evaluasi itu juga sebaiknya dilakukan bukan hanya terhadap hasil belajar akan
tetapi juga proses belajar. Hal ini sangat penting sebab evaluasi terhadap
proses belajar pada dasarnya evaluasi terhadap keterampilan intelektual secara
nyata.
2) Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Guru
Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk siswa akan tetapi
dapat diguna-kan untuk menilai kinerja guru itu sendiri. Berdasarkan hasil
evaluasi apakah guru telah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan
perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu diperbaiki. Evaluasi untuk
menentukan keberhasilan guru, tentu saja tidak sekomplek untuk menilai
keberhasilan sis-wa baik dilihat dari aspek waktu pelaksanaan maupun dilihat
dari aspek pe-laksanaan. Biasanya evaluasi ini dilakukan setelah proses
pembelajaran ber-akhir atau yang biasa
disebut dengan post-tes.
B. Peranan Teknologi dalam
Pembelajaran
Perkembangan teknologi informasi berkembang dengan cepat
beberapa tahun belakangan ini. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah
tata cara manusia berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang diinginkan.
Dengan teknologi internet misalnya, saat ini seseorang dapat dengan mudah dan
murah mendapatkan informasi hanya dengan menggunakan telepon genggam (Clyde
& Delohery, 2005). Demikian juga dengan teknologi komputer, saat ini
komputer telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi yang memiliki banyak
manfaat ini belum dimanfaatkan secara optimum
dalam proses pembelajaran. Seringkali teknologi informasi hanya
dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran di kelas. Upaya untuk
mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses pembelajaran masih kurang
sehingga dampak teknologi informasi kurang nyata. Sebagai contoh, perkembangan
multimedia telah berkembang pesat di masyarakat, namun pembelajaran di kelas
tetap tertinggal meskipun telah menggunakan teknologi komputer.
Beberapa penyebab kurang berkembangnya pengintegrasian
teknologi komputer dalam pembelajaran disebabkan
antara lain; (1) Adanya asumsi bahwa
komputer sebagai perangkat keras hanya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan mengindahkan upaya meningkatkan aspek afektif dan
kognitifnya. (2) Karena perangkat keras dianggap sesuatu yang berbeda,
teknologi ini akan dengan cepat dikenalkan dan mendapat sambutan karena sesuatu
yang baru, namun karena guru kurang trampil memanfaatkan beberapa saat kemudian
perangkat keras menjadi sesuatu yang biasa. (3) Guru tidak memiliki kemampuan
untuk mengintegrasikan komputer dalam pembelajaran sehingga peranannya monoton
dan kurang berkembang.
Penggunaan berbagai teknologi dalam pembelajaran
memberikan manfaat baik bagi guru, siswa, maupun masyarakat (Clyde &
Dlohery, 2005). Bagi guru penggunaan teknologi akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pembelajarannya. Bagi siswa, penggunaan berbagai tenologi akan
memberikan kesempatan belajar yang lebih berkualitas. Penggunaan teknologi
secara umm juga akan menguntungkan masyarakat luas karena informasi akan dengan
mudah disebarkan dan dinikmati oleh masyarakat.
1. Peranan Teknologi Komputer
dalam Pembelajaran
Teknologi komputer yang tersedia pada saat ini memiliki
beberapa kemampuan yang dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran.
Pertama, komputer memiliki kemampuan menyimpan data yang sangat besar. Berbagai
data dalam bentuk tulisan, gambar, animasi, simulasi, audio dan gambar hidup
(video) dapat disimpan dengan mudah dan ditampilkan dengan cepat oleh komputer.
Hal ini dapat meningkatkan kualitas komunikasi dalam pembelajaran di kelas. Kedua, komputer memiliki kecepatan
kerja yang sangat tinggi. Dengan kecepatan yang sangat tinggi ini perhitungan
dan siklus kerja yang panjang dapat dilakukan dengan cepat oleh komputer.
Data-data pengamatan misalnya, dapat diolah dan ditampilkan dengan cepat dengan
bantuan komputer. Ketiga, komputer dapat dengan mudah dihubungkan ke jaringan
internet sehingga memudahkan guru menelusuri informasi-informasi yang
dibutuhkan, Keempat, komputer dapat bekerja secara interaktif (Boohan ed, 2002). Keuntungan lain adalah
komputer juga relatif murah sehingga terjangkau oleh guru, siswa, dan sekolah.
Beberapa keuntungan penggunaan komputer dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut. (1) Sifat interaktif, komputer dapat melibatkan siswa
secara aktif dalam pembelajaran. Penggunaan komputer berbeda dengan buku atau
mendengarkan ceramah guru dimana siswa hanya berperan pasif (Barton, 2004: 29).
(2) Perhatian individual, sebagaimana diketahui bahwa setiap siswa memiliki cara belajar yang
berbeda, kecepatan belajar yang berbeda dan minat belajar yang berbeda. Semua
perbedaan yang dimiliki oleh siswa ini akan dapat diakomodasi oleh pembelajaran
berbantuan komputer yang dirancang dengan baik. (3) Berkembang pesat,
perkembangan komputer yang pesat menjanjikan perkembangan pembelajaran baru
yang belum pernah ditemukan.
Multimedia merupakan salah satu produk teknologi komputer
yang memiliki manfaat tinggi dalam pembelajaran fisika. Multimedia dapat
menampilkan teks, gambar, animasi, simulasi dan video klip secara interaktif.
Welington (2004: 95-96) menunjukkan beberapa keuntungan penggunaan multimedia
interaktif. (1) Multimedia dapat meningkatkan perhatian dan motivasi siswa. (2)
Multimedia dapat menggambarkan sesuatu yang tidak tergambarkan. Gerakan-gerakan
yang kompleks yang sulit dijelaskan akan dengan mudah ditamilkan dalam
multimedia. (3) Dapat menampilkan gambar-gambar dengan lebih mudah dan lebih
dinamis. (4) Dapat menampilkan sesuatu yang abstrak menjadi lebih mudah
dipahami. (5) Dapat menampilkan sesuatu yang terlalu kecil, terlalu cepat, dan
terlalu berbahaya jika diamati secara langsung.
Meskipun memiliki berbagai kelebihan, komputer dengan
multimedia hanya merupakan salah satu metode
dalam pembelajaran. Komputer dan
multimedia tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan proses pembelajaran. Dalam
hal ini komputer dan multimedia berperan sebagai alat bantu dalam pembelajaran.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak penggunaan
komputer dalam pembelajaran. Beberapa penelitian menunjukan beberapa hal
sebagai berikut. (1) Penggunaan komputer dalam pembelajaran menunjukkan
peningkatan belajar atau hasil yang sama dengan pembelajaran tradisional (Hofe,
2001). (2) Penggunaan komputer menurunkan waktu belajar jika dibandingkan
dengan waktu belajar di kelas. (3) Penggunaan komputer meningkatkan sikap
posiif siswa terhadap penggunaan komputer dalam belajar. (4) Pengembangan
pembelajaran berbantuan komputer dengan mengikuti pedoman tertentu dapat
diadopsi dan dimanfaatkan oleh guru di lain tempat.
Penggunaan komputer dan teknologi informasi dalam
pembelajaran juga memberikan keuntungan bagi guru. Menurut Musker (Musker,
2004: 14) keuntungan bagi guru diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Dapat
mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. (2) Dapat mempercepat dan
mempermudah tugas. (3) Dapat meningkatkan kualitas presentasi. (4) Dapat
mengembangkan pembelajaran yang lebih visual.
2. Pengertian E-Learning
E-Learning didefinisikan
sebagai pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) secara online
menggunakan jaringan teknologi. Saat ini telah banyak penelitian mengenai elearning,
terutama pada dampak (outcomes) pembelajaran yang dihasilkan e-learning
jika dibandingkan dengan pengajaran secara tradisional (Hrastinski, S:
2008). Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan e-learning sebagai
suplemen terhadap materi yang disampaikan secara regular di kelas. Namun, tidak
sedikit yang menyelenggarakan e-learning sebagai alternative perkuliahan
bagi mahasiswa yang karena satu dan lain hal berhalangan mengikuti perkuliahan
(Rahayu, T: 2007).
Untuk bisa mempraktekkan dan mengimplementasikan e-learning dengan
baik, harus diperhatikan mengenai keuntungan dan keterbatasan setiap metode dan
teknik yang dikembangkan pada e-learning. Dua tipe dasar e-learning yang
saat ini berkembang adalah asynchronous dan synchronous e-learning.
Sampai saat ini, tipe asynchronous lebih banyak diandalkan untuk
pengajaran dan pembelajaran. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan
peningkatan kapasitas bandwith koneksi internet, tipe synchronous menjadi
pilihan tersendiri (Hrastinski, S: 2008), (Rahayu, T: 2007).
3. Pengertian Blended Learning
Pengertian blended learning dapat berbeda antara
satu orang dengan orang yang lain. Beberapa kemungkinan tentang pengertian blended
learning antara lain sebagai berikut. (1) Penggabungan pembelajaran
berbasis teknologi internet (laboratorium virtual, modul digital, gambar,
audio, dan text) untuk mencapai tujuan pembelajaran. (2) Kombinasi paradigma
pembelajaran (behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik) dengan atau
tanpa melibatkan teknologi. (3) Kombinasi teknologi komputer dan informasi
(video, pelatihan berbasis internet, CD ROM) dengan pembelajaran tatap muka.
Namun demikian, pengertian blended learning yang banyak diikuti adalah
upaya mengkombinasikan pembelajaran berbasis internet (E-learning) dengan
pembelajaran tatap muka (face to face). Blended learning dapat
melatih kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan pembelajaran berbasis
internet.
4.
Mengapa Blended
Learning
Dari artikel dan beberapa studi bahwa masih banyak kendala
pembelajaran e-learning adalah tidak terjadinya interaktivitas langsung
antara siswa/mahasiswa dengan guru/dosennya. Bagaimanapun belajar merupakan
proses multi arah, dimana pembelajar butuh teman, guru/dosen, dan juga
memerlukan feedback dari pengajar dan sebaliknya pengajar memerlukan feedback
dari pembelajar. Dengan demikian akan diperoleh hasil belajar lebih efektif
dan tepat sasaran. Belajar dengan e-learning menciptakan kesan
kesendirian seseorang sehingga tidak bisa bertahan lama dalam belajar di depan
komputer, sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini
juga tidak sesuai dengan yang dicanangkan oleh pembelajaran yang mengadopsi
dari Unesco learning to live together.
Melalui blended learning mahasiswa bisa belajar daridosen
dimanapun juga tanpa harus bertatap muka secara langsung. Belajar seperti ini
dilakukan lewat diskusi live menggunakan audio-converencing, interactive
video converence, real time chatting console, dan berbagai variasinya.
Materi pembelajaran bisa di download dan dipelajari lebih dahulu berupa teks,
audio maupun video. Mahasiswa bisa bertanya langsung dengan dosen pemberi
materi, melakukan konsultasi atas sebuah ide dan pemahaman, serta membangun kedekatan
personal meskipun tidak bertatap muka. Ini dapat terjadi karena mahasiswa
berinteraksi langsung walau hanya secara virtual dihubungkan oleh sinyal-sinyal
komunikasi. Satu sama lain memberi feedback dan saran untuk kemajuan
masing-masing.
Strategi pembelajaran blended learning mengkombinsasikan
secara arif, relevan, dan tepat antara potensi face-to-face dengan potensi
tehnologi informasi dan komunikasi. Oleh karenanya guru/dosen dapat mengatur
kapan jadwal kegiatan tatap muka untuk membahas atau mengambil feedback dari
kegiatan pembelajaran online atau lewat web. Pembelajaran ini dapat memberikan kemudahan
kepada guru/dosen juga kepada siswa/mahasiswa dalam waktu dan tempat untuk
belajar, materi kuliah lebih mudah dan lengkap untuk diakses dan dimiliki oleh
mahasiswa, mahasiswa dapat mengetahui keseluruhan kerangka materi kuliah yang
akan dipelajari selama satu semester, meningkatkan etos kerja dosen, mahasiswa
lebih banyak bertanya, lebih ulet, gigih dalam belajar sehingga tumbuh sikap
pantang menyerah. Kesempatan belajar dan mengajar di luar kelas menjadi lebih
banyak, karena interaksi dosen-mahasiswa dapat berjalan di luar jam kerja.
5. Pembelajaran Blended Learning
Pelaksanaan blended
learning tergantung pada beberapa faktor: (a) sarana dan prasarana. Guru
perlu memiliki akses terhadap jaringan internet yang cukup besar dan cepat
sehingga memudahkan kerja. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai juga
memerlukan biaya; (b) guru perlu meningkatkan kemampuannya dalam bidang TIK
dengan cara membaca dan berlatih mandiri maupun melalui pelatihan formal.
Sekolah perlu memperhatikan hal ini sebagai salah satu pengembangan professional;
(c) siswa perlu mendapatkan akses terhadap komputer dan internet dan memiliki
kemampuan memanfaatkan E-learning. Sekolah perlu membekali siswa sebelum
blended learning diterapkan.
Mengingat kondisi setiap sekolah berbeda, implementasi blended learning dapat dipilih sesuai
dengan kondisi persekolahan. Beberapa ragam blended learning adalah sebagaimana
gambar di bawah.
|
Gambar 4
Model Implementasi Blended Learning
Model implementasi yang paling sederhana adalah model 5
yakni pemanfaatan bahan-bahan online
tanpa harus mensyaratkan siswa untuk terhubung dengan internet. Hal ini berarti
guru melakukan pembelajaran tatap muka dengan melibatkan kegiatan siswa yang
memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di internet misalnya film, animasi, game
dan sebagainya. Model implementasi berikutnya adalah model pembelajaran tatap
muka dengan kegiatan siswa dan guru melakukan akses internet. Misalnya ketika
berdiskusi, siswa dapat mencari bahan-bahan di internet dan mempresentasikannya
di kelas. Pada model ini dibutuhkan jaringan internet di dalam dan di luar
kelas. Model-model berikutnya adalah model dengan pemanfaatan internet yang
intensif.
Beberapa cara mengimplementasikan blended learning pada
tahap permulaan diantaranya:
a. Guru
mengintegrasikan teknologi komputer dan informasi dalam materi pembelajarannya.
Misalnya guru mendownload video, animasi, dan simulasi yang sesuai untuk
dimanfaatkan di kelas. Berbagai media ini diintegrasikan dalam pembelajaran.
b. Guru
mengembangkan bahan ajar atau modul berbantuan komputer. Bahan ajar ini dapat
diakses oleh siswa dan dapat dipelajari di luar jam tatap muka. Bahan ajar akan
membantu siswa yang mengalami masalah dalam pembelajaran tatap muka.
c. Guru
mengoptimalkan email dengan mengembangkan email group sebagai wahana diskusi
guru-siswa-siswa. Group email juga dapat digunakan untuk berbagi file,
mengumpulkan tugas dan sebagainya.
d. Guru
mempelajari moodle dan memanfaatkannya sebagai penunjang pembelajaran tatap
muka. Guru memanfaatkan fitur yang tersedia untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran tatap muka.
Guru dan sekolah dapat memilih model yang sesuai dengan
sarana prasarana yang tersedia, kemampuan guru, dan kesiapan siswa.
Implementasi model yang sesuai akan berguna untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran.
6. Manfaat Blended Learning
Menurut
Atmoko (2011) blended (campuran,
kombinasi yang baik) Learning merupakan proses pembelajaran yang memanfaatkan
berbagai macam aktivitas dan media baik secara fisik maupun maya.
Aktivitas apa saja pada Blended Learning, antara lain: (a) pembelajaran Face to Face
(pembelajaran tatap muka di ruang kelas), (b) Video Conference (face to face
secara online), dan (c) ELearning
(aktivitas yang dilakukan dengan pemanfaatan software pengelolaan konten
pembelajaran)
Lebih lanjut Atmoko mengemukakan manfaat blended learning bagi Perguruan
Tinggi antara lain: (a) pengakuan
kredit mata kuliah antar perguruan tinggi, (b) mengurangi
jumlah tatap muka di kelas, (c) sharing
sumber daya pengetahuan yang fleksibel, (d) d.
Interaksi secara real time antara dosen-mahasiswa dan mahasiswa-mahasiswa, (e) e.Kemudahan
untuk penyetaraan bahan ajar antar perguruan tinggi/Sekolah/Madrasah, (f) Transisi ke arah Optimalisasi ELearning, (g) g. Efektivitas sharing sumber daya pengetahuan guru ke
murid, (h) h. Dasar
ke arah Student Center Learning, dan (i) i.
Kemudahan untuk penyetaraan bahan ajar antar sekolah.
7. Temuan-temuan Penelitian
tentang Blended Learning
Para peneliti banyak yang tertarik untuk
mengkaji tentang pendekatan pembelajaran blended learning dalam kegiatan
belajar mengajar di kelas.Temuan-temuan penelitian tentang blended learning yang dilakukan oleh para peneliti dapat
dideskripsikan secara singkat dalam uraian berikut ini.
Hartono (2012) dalam penelitian mengemukakan
bahwa penelitian quasi eksperimen sudah dilakukan untuk mendapatkan tingkat
efektivitas program perkuliahan praktikum IPA pada lingkungan pembelajaran
kombinasi (blended learning environment) yang dapat meningkatkan
keterampilan proses sains (KPS) mahasiswa guru SD Program Pendidikan Jarak Jauh
di Sumatera Selatan, Indonesia. Pendekatan pembelajaran kombinasi adalah
kombinasi antara kegiatan perkuliahan tatap muka dan online. Penelitian
melibatkan 60 mahasiswa yang mengambil matakuliah Praktikum IPA pada semester
genap 2008/2009. Mahasiswa dibagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok
bertindak sebagai kelas eksperimen dan kelas lainnya sebagai kelompok kontrol.
KPS mahasiswa diukur melalui perbandingan hasil tes awal dan akhir serta tes
kinerja. Data dianalisis melalui penggunaan uji t dan skor peningkatan
ternormalisasi KPS. Hasil penelitian mengindikasikan terjadi peningkatan secara
signifikan KPS mahasiswa pada kelas eksperimen (N-gain=73,31) dibandingkan
terhadap kelas kontrol (N-gain=18,76). Olehkarenanya, program pengajaran dengan
lingkungan kombinasi dapat dinyatakan efektif untuk meningkatkan KPS mahasiswa.
Imam Sujadi (2012) dalam penelitiannya “Penerapan Blended Learning pada Perkuliahan dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Studi Kasus: Mata Kuliah Dasar-dasar
Matematika). Tujuan penelitian ini adalah menerapan model blended learning pada
perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang memadukan antara
pembelajaran tatap muka dan sistem e-learning. Penelitian ini dilaksanakan di
program studi pendidikan matematika UNS.Penelitian ini menggunakan penelitian
tindakan kelas dengan 2 siklus. Tahapan penelitian didahului dengan
mengembangkan model pembelajaran blended learning untuk mata kuliah Dasar-dasar
Matematika. Selanjutnya model tersebut digunakan dalam proses pembelajaran sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tahap-tahap penelitian tiap
siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah dasar-dasar
matematika pada semester gasal tahun akademik 2011/2012. Metode pengumpulan
data dengan angket, observasi dan tes, pemberian tugas/kuis untuk mengetahui
kualitas proses dan hasil pembelajaran. Analisis data menggunakan analisis
deskriptif. Model pembelajaran blended learning terbukti berhasil meningkatkan
kemandirian belajar dan kompetensi kognitif mahasiswa. Dengan demikian, dirasa
perlu dilakukan penelitian tindakan kelas ini dengan model pembelajaran yang
sama tetapi dengan mata kuliah yang berbeda dan kondisi yang berbeda pula.
D. Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
simpulan-simpulan sebagai berikut :
1.
Perangkat
pembelajaran yang dikembangakan berupa silabus, RPP, bahan ajar, lembar tugas,
media berupa blog, email, dan mailing list .
2.
Penerapan
pembelajaran matematika menggunakan model pembela-jaran blended learning dapat meningkatkan kemandirian peserta didik dalam
belajar dan bekerja sama dan meningkatkan kompetensi peserta didik dalam bidang
kognitif pada mata kuliah dasar-dasar matematika.
3. Blended
learning merupakan merupakan inovasi pemanfaatan
teknologi komputer dan informatika. Blended learning merupakan istilah
umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi komputer dan informasi dalam pembelajaran tatap muka (face to
face teaching learning). Bentuknya
dapat beragam mulai dari penggunaan komputer dalam menunjang pembelajaran sampai dengan komplemen pembelajaran tatap muka dengan E-learning.
4. Pemanfaatan
blended learning dalam pembelajaran
tentu saja perlu memperhatikan sumber daya alat dan sumber daya manusia yang
tersedia. Makalah ini akan memaparkan
blended learning dengan terlebih dahulu mengenalkan integrasi teknologi dan
komputer informasi dalam pembelajaran.
5. Penerapan pembelajaran matematika menggunakan model blended learning dapat digunakan untuk
melaksanakan remedial teaching untuk perkuliahan yang menerapkan kurikulum
berbasisis kompetensi. Pengembangan nilai-nilai karakter pada mahasiswa tidak
cukup dengan hanya mengembangkan pengetahuan kecerdasan intelektual kognitif
saja,melainkan juga harus menekankan pada penanaman kesadaran moral spiritual secara
berimbang yang terintegrasi dengan mata kuliah-mata kuliah. Oleh karena itu pengajar
yang merupakan ujung tombak dari suatu kegiatan pembelajaran dapat merancang
suatu strategi pembelajaran yang dapat mengimbangkan antara pengetahuan
kecerdasan intelektual kognitif dengan moral spiritual secara terintegrasi.
6.
Mahasiswa yang sering melakukan log-on pada web memiliki hasil
belajar di atas rata-rata, tetapi tidak dapat memantau apakah hasil belajar itu
memang dipengaruhi oleh lamanya mahasiswa mengakses web. Lebih lanjut
mereka menyatakan dalam diskusi online, jenis pertanyaan yang menarik
(berhubungan dengan pengalaman mahasiswa) mendapat respon lebih baik dari
mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Muchtar, Suwarma.
2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Barton, R.
2004. Why use computer in practical science? Dalam Barton, R. (eds.), Teaching secondary science with ICT (pp.
29). New York: Open University Press.
Boohan, R. 2002. ICT and Communication.
Dalam Amos, S., & Boohan, R. (eds.), Aspects of teaching secondary science (pp. 211). New York: The Open
University.
Clyde,
W., & Delohery, A. 2005. Using
Technology in Teaching. London: Yale University Press.
Depdiknas. 2008. Proses
Pembelajaran di Kelas, Laboratorium, dan di Lapangan. Direktorat Tenaga
Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Gagne, Robert M. dan Briggs.Leslie J. 1979. Principles of Instructional Design. New
York: Holt Rinehart & Winston.
Hrastinski,
S. 2008. Asynchronous and Synchronous E-Learning: A study of asynchronous and
synchronous e-learning methods discovered that each supports different
purposes. Educause Quarterly. Volume 4 p. 51 – 55.
Hofe, R. V. 2001. Investigation into student‘ learning of application in
computer-based learning environtment [versi electronik]. Teaching Mathematics and Its
Applications, 20(3), 109-119
Joyce, B., & Weil,M. 1980. Models of Teaching. Englewood
Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall Inc.
Kusairi, S. 2011.
Implementasi Blended Learning. Malang: Program Studi Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Malang.
Kusni, M.
2010. Implementasi Sistem Pembelajaran
Blended Learning pada Matakuliah AE3121 Getaran Mekanik di Program Aeronotika
dan Astonotika, Seminar Tahunan Teknik Mesin.
Musker, R.
2004. Using ICT in a secondary
science department. Dalam Barton, R. (eds.), Teaching secondary science with ICT (pp. 19). New York: Ope
University Press.
Rahayu, T.
2007. Pemanfaatan E-Learning dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bina Widya
Vol 18 p: 16-24.
Siswanto, B.T. 2011. Pendidikan
Vokasi, Work-Based Learning,
dan Penyelenggaraan Program Praktik Pengalaman Lapangan. Disampaikan
pada Workshop Penyusunan Buku Panduan Penulisan Laporan KP, TA, Skripsi
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang: Rabu, 12 Oktober 2011.
Sujadi, I. 2010. Penerapan Blended Learning pada Perkuliahan
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Studi Kasus: Mata Kuliah Dasar-dasar Matematika).
Surakarta: Program Studi Pendidikan Matematika UNS.
Suzana, Y.
2011. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter
Mahasiswa dalam Pembelajaran melalui Metode Blended Learning. Dosen
STAIN Zawiyah Cot Kalla Langsa.
Welington, J. 2004. Multimeda in
science teaching. Dalam Barton, R. (eds.), Teaching
secondary science with ICT (pp. 96). New York: Open University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar