Sabtu, 06 Januari 2018

BLENDED LEARNING



BLENDED LEARNING:
Konsep, Implementasi dalam Pembelajaran di Kelas
dan Temuan-temuan Penelitian

Hari Karyono
(today.karyono@gmail.com)
Dosen Pascasarjana Unipa Surabaya


Abstrak: pembelajaran mata pelajaran di sekolah perlu mengantisipasi perkembangan teknologi komputer dan  informasi. Blended learning merupakan merupakan inovasi pemanfaatan teknologi komputer dan informatika. Blended learning merupakan istilah umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi komputer dan informasi  dalam pembelajaran tatap muka (face to face teaching learning).  Blended (campuran, kombinasi yang baik) learning merupakan proses pembelajaran yang memanfaatkan berbagai macam aktivitas dan media baik secara fisik maupun maya. Beberapa cara mengimplementasikan blended learning pada tahap permulaan diantaranya: (1) guru mengintegrasikan teknologi komputer dan informasi dalam materi pembelajarannya, (2) guru mengembangkan bahan ajar atau modul berbantuan computer (3) guru mengoptimalkan email dengan mengembangkan email group sebagai wahana diskusi guru-siswa-siswa, dan (4) guru mempelajari moodle dan memanfaatkannya sebagai penunjang pembelajaran tatap muka. Contoh temuan penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran blended learning dapat meningkatkan kemandirian mahasiswa dalam belajar dan bekerja sama dan meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang kognitif pada mata kuliah dasar-dasar matematika.

Kata kunci: blended learning, konsep, implementasi, temuan penelitian.


A.   Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran melibatkan aktivitas yang kompleks, bukan sekedar transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik secara tekstual. Dalam setiap pembelajaran, harus diupayakan untuk dapat mengantarkan peserta didik pada penguasaan kompetensi yang dicanangkan, termasuk nilai-nilai dan sikap yang melandasinya. Oleh karena itu, pembelajaran tidak harus selalu dilaksanakan di kelas. Adakalanya pembelajaran harus dilaksanakan di laboratorium atau di lapangan. Dalam hal ini tentu diperlukan strategi dan keterampilan yang berbeda.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi guru dalam memilih strategi pembelajaran. Pertama, adalah berkaitan dengan kemampuan guru atau penguasaannya terhadap teori, metode dan praktik pembelajaran. Kedua, berkaitan dengan motivasi dan kreativitas guru. Ketiga, terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dari ketiga hal tersebut, faktor pertama dan kedua merupakan pra syarat yang utama. Tanpa kemampuan, motivasi, dan kreativitas guru akan cenderung mengajar secara tradisional, yaitu hanya menyampaikan materi yang ada pada buku pelajaran. Lebih lanjut dapat dikemukakan, bahwa guru perlu mengikuti perkembangan IPTEK yang sudah berkembang pesat saat ini. Sebagai contoh minimal agar guru tidak gagap teknologi, ia harus bisa mengoperasikan komputer/laptop.
Dewasa ini, perkembangan teknologi komputer dan  informasi telah merambah  dunia pendidikan.  Dengan memasuki dunia on-line, guru dapat memperoleh berbagai informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan pembelajaran. Teks, foto, video, animasi, dan simulasi adalah beberapa contoh media yang tersedia di situs-situs pembelajaran.  Dengan memanfaatkan berbagai media tersebut, guru dapat mempresentasikan konsep-konsep mata pelajaran dalam berbagai representasi (multiple representation) yang mempermudah siswa memahami sebuah konsep. Teknologi on-line juga memberikan kemudahan bagi siswa untuk mendapatkan tambahan informasi dalam rangka memenuhi tuntutan kompetensi dan juga pengayaan. Tersedianya fasilitas e-learning juga memungkinkan siswa menerobos sekat-sekat waktu dan tempat guna mengikuti course  yang tersedia secara on-line. Perkembangan teknologi komputer  informasi  berpotensi meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
Pembelajaran mata pelajaran di sekolah perlu mengantisipasi perkembangan teknologi komputer dan  informasi. Secara pedagogis, ada dorongan untuk melibatkan siswa secara lebih aktif (student centered) dalam proses pembelajaran. Praktik berpusat pada guru (teacher centered) dirasakan tidak relevan lagi dengan pesatnya perkembangan informasi sehingga perlu dimodifikasi.  Guru perlu memberikan kesempatan pada para siswa untuk  melakukan eksplorasi diantaranya dengan memanfaatkan teknologi on-line. Selain dapat meningkatkan dinamika proses pembelajaran, pemanfaatan teknologi informasi dapat melatih siswa untuk belajar bagaimana belajar (learn how to learn).  Implementasi teknologi informasi  akhirnya diharapkan dapat menginspirasi siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat (life long learning), sosok pribadi yang mampu berkembang di tengah perkembangan informasi yang pesat.
Pembelajaran dengan menggabungkan kegiatan tatap muka dan kegiatan online (berbantuan web) mempunyai banyak keuntungan dalam beberapa aspek antara lain keunggulan dalam media pembelajaran, mahasiswa lebih berperan aktif untuk dapat memperbaharui dan meningkatkan kemampuan diri secara terus menerus (lifelong learners), dan mahasiswa mengenal serta memiliki kemampuan dalam teknologi informasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan fasilitas pembelajaran melalui web sebagai bagian dari kegiatan perkuliahan tatap muka (Guldberg, 2007; Kayler & Weller, 2007; Matusov, Hayes, Pluta, 2005). Perkuliahan yang mengintegrasikan kegiatan tatap muka dan online learning dikenal dengan blended learning. Dalam penelitian Kayler & Weller (2007), fasilitas web dalam pembelajaran antara lain bertujuan memberikan materi pendalaman yang isinya dapat berupa soal beserta solusinya, materi pelajaran, virtual praktikum, ujian, tugas, dan diskusi. Mereka menyatakan bahwa mahasiswa yang sering melakukan log-on pada web memiliki hasil belajar di atas rata-rata, tetapi tidak dapat memantau apakah hasil belajar itu memang dipengaruhi oleh lamanya mahasiswa mengakses web. Lebih lanjut mereka menyatakan dalam diskusi online, jenis pertanyaan yang menarik (berhubungan dengan pengalaman mahasiswa) mendapat respon lebih baik dari mahasiswa.
Blended learning merupakan merupakan inovasi pemanfaatan teknologi komputer dan informatika. Blended learning merupakan istilah umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi komputer dan informasi  dalam pembelajaran tatap muka (face to face teaching learning).  Bentuknya dapat beragam mulai dari penggunaan komputer dalam menunjang  pembelajaran sampai dengan  komplemen pembelajaran tatap muka dengan e-learning.  Pemanfaatan blended learning dalam pembelajaran tentu saja perlu memperhatikan sumber daya alat dan sumber daya manusia yang tersedia.  Makalah ini akan memaparkan blended learning dengan terlebih dahulu mengenalkan integrasi teknologi dan komputer informasi dalam pembelajaran.
B.   Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan :
1.    Hakikat Pembelajaran.
2.    Pengertian blended learning.
3.    Implementasi blended learning dalam pembelajaran.
4.    Temuan-temuan penelitian tentang implementasi blended learning dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

C.   Pembahasan
1.    Hakikat Pembelajaran
a.  Pengertian Proses Pembelajaran
Sebelum kita bahas pengertian pembelajaran, terlebih dahulu kita bahas konsep tentang mengajar. Mengapa demikian? Sebab proses pembelajaran pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari proses mengajar. Secara umum ada  dua konsep mengajar, yakni mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran dan mengajar sebagai proses mengatur lingkungan. Kedua konsep tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap pelaksanaan proses pembelajaran.

1)  Mengajar sebagai Proses Menyampaikan Materi Pelajaran
Pertama kali, mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam konteks ini, mentransfer tidak diartikan dengan memindahkan, seperti misalnya mentransfer uang. Sebab, kalau kita analogikan dengan mentransfer uang, maka jumlah uang yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi berkurang bahkan hilang setelah ditransfer pada orang lain. Apakah mengajar juga demikian? Apakah ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru, akan menjadi berkurang setelah dilakukan proses mentransfer? Tidak bukan? Bahkan mungkin saja ilmu yang dimiliki guru akan semakin bertambah. Karena itu kata mentransfer dalam konteks ini diartikan sebagai proses menyebarluaskan, seperti menyebarluaskan atau memindahkan api. Ketika api dipindahkan atau disebarluaskan, maka api itu tidaklah menjadi kecil akan tetapi semakin membesar. Untuk proses mengajar, sebagai proses menyampaikan pengetahuan akan lebih tepat jika diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith (1987) bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparting knowledge or skill). 
Kalau kita anggap mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran, maka kegiatan belajar mengajar atau proses pembelajaran akan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

a)  Proses Pembelajaran  Berorientasi pada Guru (Teacher Centered).
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru memegang peran yang sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau diapakan siswa? Apa yang harus dikuasai siswa? Bagaimana cara melihat keberhasilan belajar? Semuanya tergantung guru. Begitu pentingnya peran guru, maka biasanya proses pengajaran hanya akan berlangsung manakala ada guru; dan tidak mungkin ada proses pembelajaran tanpa guru. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang berpusat pada guru, maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai penyampai informasi dan guru sebagai evaluator. Sebagai perencana pengajaran, sebelum proses pengajaran guru harus menyiapkan berbagai hal yang diperlukan, seperti misalnya materi pelajaran apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, media apa yang harus digunakan dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan perannya sebagai penyampai informasi, seringkali guru menggunakan metode ceramah sebagai metode utama.
Metode ini merupakan metode yang dianggap ampuh dalam proses pembelajaran. Karena pentingnya metode ini, maka biasanya guru sudah merasa mengajar apabila sudah melakukan ceramah, dan tidak mengajar apabila tidak melakukan ceramah. Sedangkan, sebagai evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan pengajaran. Biasanya kriteria keberhasilan proses pengajaran diukur dari sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru.

b)  Siswa sebagai Objek Belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran, menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum  memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadang-kadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa akan tetapi  berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dianggap baik dan bermanfaat.
Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai dengan gayanya sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.

c)  Kegiatan Pembelajaran Terjadi pada Tempat dan Waktu Tertentu   
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat, sehingga siswa hanya belajar manakala ada kelas yang telah didesain sedemikian rupa sebagai tempat  belajar. Adanya tempat yang telah ditentukan, sering proses pengajaran terjadi  sangat formal. Siswa duduk dibangku  berjejer, dan guru di depan kelas. Demikian juga halnya dengan waktu yang diatur sangat ketat. Misalnya manakala waktu belajar suatu materi pelajaran tertentu telah habis, maka segera siswa akan belajar materi lain sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Cara mempelajarinyapun seperti bagian-bagian yang terpisah, seakan-akan tidak ada kaitannya antara materi pelajaran yang satu dengan yang lain.

d)  Tujuan Utama Pembelajaran adalah Penguasaan Materi Pelajaran
Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur dari sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Sedangkan, mata pelajaran itu sendiri adalah pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan logis kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu yang harus dikuasai siswa. Kadang-kadang siswa tidak perlu memahami apa gunanya mempelajari bahan tersebut. Karena kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah tes hasil belajar tertulis (paper and pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.

2) Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan
Pandangan lain mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Untuk apa menyampaikan materi pelajaran kalau siswa tidak berubah tingkah lakunya? Untuk apa siswa menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya kalau ternyata materi yang dikuasainya itu tidak berdampak terhadap perubahan perilaku dan kemampuan siswa. Dengan demikian yang penting dalam mengajar adalah proses merubah perilaku. Dalam kontek ini mengajar tidak ditentukan oleh lamanya serta banyaknya materi yang disampaikan, akan tetapi dari dampak proses pembelajaran itu sendiri. Bisa terjadi guru hanya beberapa menit saja di muka kelas, namun dari waktu yang sangat singkat itu membuat siswa sibuk melakukan proses belajar, itu sudah dikatakan mengajar.
Kalau kita menganggap mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, maka dalam kegiatan belajar mengajar atau dalam proses pembelajaran akan memiliki karakteristik sebagai berikut.

a)  Proses Pembelajaran Berpusat pada Siswa (Student Centered)
Mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Hendak belajar apa siswa dari topik yang harus dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya guru yang menentukan akan tetapi juga siswa. Siswa memliki kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian peran guru berubah dari peran sebagai sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator, artinya  guru lebih banyak sebagai orang yang membantu siswa untuk belajar. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, krtieria keberhasilan proses mengajar tidak diukur dari sejauhmana siswa telah menguasai materi pelajaran akan tetapi diukur dari sejauhmana siswa telah melakukan proses belajar. Dengan demikian guru tidak lagi berperan hanya sebagai sumber belajar, akan tetapi berperan sebagai orang yang membimbing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Inilah makna proses pembelajaran berpusat kepada siswa (student oriented). Siswa tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, materi apa yang seharusnya dipelajari dan bagaimana cara mempelajrinya tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan guru, akan tetapi memperhatikan setiap perbedaan siswa.

b) Siswa sebagai Subjek Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, siswa tidak dianggap sebagai organisme yang pasif yang hanya sebagai penerima informasi, akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki potensi untuk berkembang. Mereka adalah individu yang memiliki kemampuan dan potensi.

c)  Proses Pembelajaran Berlangsung di Mana Saja
Sesuai dengan karakteristik pembelajaran  yang berorientasi kepada siswa, maka proses pembelajaran bisa terjadi dimana saja. Kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat materi pelajaran. Ketika siswa akan belajar tentang fungsi pasar misalnya, maka pasar itu sendiri merupakan tempat belajar siswa.
d)  Pembelajaran Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran  bukanlah penguasan materi pelajaran, akan tetapi  proses untuk merubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itulah penguasaan materi pelajaran  bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara untuk pembentukan tingkah laku yang lebih luas. Artinya, sejauh mana materi pelajaran yang dikuasai siswa dapat membentuk pola perilaku siswa itu sendiri. Untuk itulah metoda dan strategi yang digunakan guru tidak hanya sekedar metode ceramah, akan tetapi menggunakan berbagai metode, seperti diskusi, penugasan, kunjungan ke objek-objek tertentu dan lain sebagainya.

2. Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar
Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad teknologi sekarang ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru) tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa kriteria keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah disampaikan?
Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Pertama, siswa  bukan orang dewasa dalam bentuk mini, akan tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat dengan mudah mendapatkan berbagai informasi, tugas dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit akan tetapi justru semakin kompleks. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi ia juga harus mampu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena itulah, kemajuan teknologi menuntut  perubahan peran guru. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.
Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Dalam bidang teknologi, begitu hebatnya orang menciptakan benda-benda mekanik yang bukan hanya diam, tapi bergerak, bahkan  dapat terbang menembus angkasa luar. Demikian juga kehebatan para ahli yang bergerak dalam bidang kesehatan yang mampu mencangkok organ tubuh manusia sehingga menambah harapan hidup manusia. Semua dibalik kehebatan-kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, bukan ha-nya sekedar mengahapal informasi, menghapal rumus-rumus, akan tetapi bagaimana menggunakan informasi dan pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
Ketiga, penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia. Dewasa ini, anggapan manusia sebagai organisma yang pasif yang  perilakunya dapat ditentukan oleh lingkungan seperti yang  dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif wholistik. Potensi itulah yang akan menentukan perilaku manusia. Oleh karena itu proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, akan tetapi usaha mengembangkan potensi yang dimiliki. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, akan tetapi sebagai subjek belajar yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa.
Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar tidak hanya diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran, atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi juga mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran yang sering digunakan dewasa ini.
Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar-mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti yang diungkapkan Gagne (1992), yang menyatakan bahwa “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated”. Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau “teaching” merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), di mana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Lebih lengkap Gagne menyatakan: “Why do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a human being, not just those set in motion by individual who is a teacher. Instruction may include events that are generated by a page of print, by a picture, by a television program, or by combination of physical objects, among other things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement of any of these events (Gagne, 1992).
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa.

3.  Makna Proses Pembelajaran
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan dengan pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pebelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
Dalam implementasinya, walaupun istilah yang digunakan ”pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mengajar-belajar adalah dua istilah yang memiliki satu makna yang tidak dapat dipisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli” – Teaching is to Learning as Selling is to Buying. Artinya, seseorang tidak mungkin akan menjual manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tidak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan demikian dalam istilah mengajar, juga terkandung proses belajar siswa. Inilah makna pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran, sama sekali tidak berarti memperbesar peranan siswa  disatu pihak dan memperkecil peranan guru di pihak lain. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas di atas, hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses pembelajaran. Sebagai contoh ketika guru menentukan pro-ses belajar mengajar dengan menggunakan metoda buzz group (diskusi kelompok kecil), yang lebih menekankan kepada aktivitas siswa, maka tidak berarti peran guru semakin kecil. Ia akan tetap dituntut berperan secara optimal agar proses pembelajaran dengan buzz group itu berlagsung dengan baik dan optimal. Demikian juga sebaliknya ketika guru menggunakan pendekatan ekspositori (contohnya dengan ceramah) dalam pembelajaran, tidak berarti peran siswa menjadi semakin kecil. Mereka harus tetap berperan secara optimal dalam rangka menguasai dan memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. 
Dari uraian tersebut, maka nampak jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukkan pada usaha siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Disini jelas, proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.
Bruce Weil, (1980) mengemukakan  tiga prinsip penting dalam proses pembelajaran semacam ini.
Pertama, proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau merubah struktur kognitif siswa. Tujuan pengaturan lingkungan ini dimaksudkan untuk menyediakan pengalaman belajar yang memberi latihan-latihan penggunaan fakta-fakta. Menurut Piaget, struktur kognitif akan tumbuh manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh karena itu, proses pembelajaran menuntut aktivitas siswa secara penuh untuk mencari dan menemukan sendiri.
Kedua, berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan yang masing-masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan fisis, sosial dan logika. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Pengetahuan fisis diperoleh melalui pengalaman indra secara langsung. Misalkan anak memegang kain sutra yang terasa halus, atau memegang logam yang bersifat keras dan lain sebagainya. Dari tindakan-tindakan langsung itulah anak membentuk struktur kognitif  tentang sutra dan logam.
Pengetahuan sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau hubungan antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh pengetahuan tentang aturan, hukum, moral, nilai, bahasa dan lain sebagainya. Pengetahuan  tentang hal di atas, muncul dalam budaya tertentu sehingga dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap suatu objek, tetapi dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain. Ketika anak melakukan interaksi dengan temannya, maka kesempatan untuk membangun pengetahuan sosial dapat berkembang (Wadsworth, 1989).
Pengetahuan logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan  koordinasi relasi atau penggunaan objek. Pengetahuan logis hanya akan berkembang manakala anak berhubungan dan bertindak dengan suatu objek, walaupun objek yang dipelajarinya tidak memberikan informasi atau tidak menciptakan pengetahuan matematis. Pengetahuan ini diciptakan dan dibentuk oleh pikiran individu itu sendiri, sedangkan objek yang dipelajarinya hanya bertindak sebagai media saja. Misalkan pengetahuan tentang bilangan, anak dapat bermain dengan himpunan kelereng atau apa saja yang dapat dikondisikan. Dalam konteks ini anak tidak mempelajari kelereng sebagai sumber pengetahuan, akan tetapi kelereng merupakan alat untuk memahami bilangan matematis. Jenis-jenis pengetahuan itu memiliki karakteristik tersendiri, oleh karena itu pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa  mestinya berbeda.
Ketiga, dalam proses pembelajaran  harus melibatkan peran lingkungan sosial.  Anak akan lebih baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena, melalui hubungan sosial itulah anak berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman dan lain sebagainya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
Selama menjalani proses kehidupannya, dari mulai lahir sampai dengan akhir hayatnya manusia tidak akan terlepas dari persoalan atau masalah. Selama kehidupannya manusia memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia akan dihadapkan pada berbagai rintangan. Manakala ia berhasil mencapai rintangan itu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada tujuan baru yang semakin berat, manakala ia berhasil mengatasi rintangan itu, maka segera akan muncul tujuan yang lain, demikianlah kehidupan manusia. Manusia yang berkualitas dan sukses, adalah manusia yang mampu menembus setiap tantangan yang muncul. Dan manusia gagal adalah manusia yang tidak mampu mengatasi setiap hambatan sehingga ia akan tergusur oleh perubahan zaman yang sangat cepat berubah.
Atas dasar uraian di atas, maka proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi yang harus dimiliki, yang meliputi, kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural dan kompetensi temporal. Itulah sebabnya, makna belajar bukan hanya mendorong anak agar mampu menguasai sejumlah materi pelajaran akan tetapi bagaimana agar anak itu memiliki sejumlah kompetensi untuk mampu menghadapi rintangan yang muncul sesuai dengan perubahan pola kehidupan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka makna pembelajaran dalam konteks standar proses pendidikan ditunjukkan oleh beberapa ciri sebagai berikut:

a.  Pembelajaran adalah Proses Berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara inividu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran berpikir proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran,  akan tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated). Dengan kata lain, proses pembela-jaran hendaknya merangsang siswa untuk mengeksplorasi dan mengelaborasi sendiri sekaligus mampu mengkonfirmasi sesuatu sesuai dengan proses berpikirnya sendiri.
Asumsi yang mendasari pembelajaran berpikir adalah bahwa pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk oleh individu itu sendiri dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Atas dasar asumsi itulah pembelajaran berpikir memandang, bahwa mengajar itu bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatu aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya. Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam pembelajaran berpikir adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi.
Dalam proses pembelajaran La Costa (1985) mengklasifikasikan mengajar berfikir menjadi tiga, yaitu teaching of thinking, teaching for thinking dan teaching about thinking.
Teahing of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berrpikir kreatif dan lain sebagainya. Dengan demikian jenis pembelajaran ini lebih menekankan kepada aspek tujuan pembelajaran. Teaching for thinking, adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognitif. Jenis pembelajaran ini lebih menitik beratkan kepada proses menciptakan situasi dan lingkungan tertentu, contohnya menciptakan suasana keterbukaan yang demokratis, menciptakan iklim yang menyenangkan sehingga memungkinkan siswa dapat berkembang secara optimal. Teaching about thinking, adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya. Jenis pembelajaran ini lebih menekankan kepada metodologi yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Pada kenyataannya, proses pembelajaran berpikir menyangkut tiga hal tersebut. Artinya, dalam pelaksanaan pembelajaran, kita tidak mungkin melepaskan ketiga aspek di atas. Contohnya untuk dapat melatih keterampilan berpikir tertentu kepada siswa sangat diperlukan suasana yang mendukung serta metodologi yang dianggap efektif. Oleh karenanya, ketiga hal di atas, memiliki keterkaitan yang sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan.

b.  Proses Pembelajaran adalah Memanfaatkan Potensi Otak
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki spesialisasi  dalam kemampuan-kemampuan tertentu.
Proses berpikir otak kiri  bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolis (De Porter, 1992).
Cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat non verbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara optimal dan seimbang. Belajar yang hanya cenderung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa anak untuk berpikir logis dan rasional akan membuat anak dalam posisi ”kering dan hampa”. Oleh karena itu belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi emosi, yaitu unsur estetika melalui proses belajar yang menyenangkan dan menggairahkan. Dalam standar proses pendidikan, belajar adalah memanfaatkan kedua belahan otak secara seimbang.
Pendapat lain tentang otak adalah teori Otak Triune. ”Triune” berarti ”three in one” (Dave Meier, 2002) Menurut teori otak Triune, otak manusia terdiri dari 3 bagian yaitu otak reptil, sistem limbik dan neokortek seperti yang ada dalam gambar 1 di bawah ini.



 












Gambar 1 Otak Triune

Otak reptil adalah otak paling sederhana. Tugas utama otak ini adalah mempertahankan diri. Otak ini menguasai fungsi otomatis seperti degupan jantung dan sistem peredaran darah. Disinilah pusat perilaku naluriah yang cenderung mengikuti contoh dan rutinitas secara membuta. Otak reptil diyakini sebagai otak hewan yang berfungsi untuk mengejar kekuasaan. Ia akan berbuat apa saja demi mencapai tujuan yang diinginkannya termasuk untuk mempertahankan diri.
Sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan besar dalam hubungan manusia dan dalam emosi. Fungsi otak ini bersifat sosial dan emosional. Di otak ini juga terkandung sarana untuk mengingat jangka panjang.
Neokortek adalah otak yang paling tinggi tingkatannya. Otak ini memiliki fungsi tingkat tinggi misalnya mengembangkan kemampuan berbahasa, berpikir abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, dan berkreasi. Otak ini yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lain ciptaan Tuhan.
Proses pendidikan mestinya mengembangkan setiap bagian otak. Apabila proses pembelajaran mampu mencapai otak neokortek maka sudah barang tentu otak reptil dan sistem limbik akan terkembangkan; namun demikian pembelajaran yang hanya menyentuh otak limbik apalagi otak reptil belum tentu neokortek akan terkembangkan. Dengan demikian pembelajaran mestinya mengembangkan kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan fungsi neokortek, melalui pengembangan berbahasa, memecahkan masalah dan membangun kreasi.

c.  Pembelajaran Berlangsung Sepanjang Hayat
Belajar adalah proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalui dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuan itu, manusia akan dihadapkan pada berbagai rintangan. Manakala rintangan sudah dilaluinya, maka manusia akan dihadapkan pada tujuan atau masalah baru, untuk mencapai tujuan baru itu manusia akan dihadapkan pada rintangan baru pula, yang kadang-kadang rintangan itu semakin berat. Demikianlah siklus kehidupan dari mulai lahir sampai kematiannya manusia akan senantiasa dihadapkan pada tujuan dan rintangan yang terus menerus. Dikatakan manusia yang sukses dan berhasil manakala ia dapat menembus rintangan itu; dan dikatakan manusia gagal manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihada-pinya. Atas dasar itulah sekolah  harus berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.







 


Tujuan
 
                                        r
                                      i                r
                                                    n                                i
Tujuan
 
                                                   t                                   n
                                                 a                               t
Tujuan
 
                                               n                               a
                                              g                              n
                                      a                              g
                                             n                             a
                                                                           n

                                                                          
Gambar 2 Siklus Kehidupan Manusia

Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan di atas, sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan  Unesco (1996) yaitu (1) learning to know, yang berarti juga learning to learn, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together.
    Learning to know atau learning to learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. Dengan proses belajar, siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari itu. Dengan kemampuan itu memungkinkan proses belajar tidak akan berhenti atau terbatas di sekolah saja, akan tetapi memungkinkan siswa akan secara terus menerus belajar dan belajar. Inilah hakekat belajar sepanjang hayat. Apabila hal ini dimiliki siswa, maka masyarakat belajar (learning society) sebagai salah satu tuntutan masyarakat informasi  akan terbentuk. Oleh sebab itu dalam konteks learning to know juga bermakna “learning to think” atau belajar berpikir, sebab setiap individu akan terus belajar manakala  dalam dirinya tumbuh kemampuan dan kemauan untuk berpikir.
Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global. Kompetensi akan dimiliki manakala anak diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian learning to do juga berarti proses pembelajaran berorientasi kepada pengalaman (learning by experiences).
Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang “menjadi dirinya sendiri”, dengan kata lain belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Dalam pengertian ini juga terkandung makna kesadaran diri sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya.
Learning to live together, adalah belajar untuk bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global di mana manusia baik secara individual maupun secara kelompok  tidak  mungkin dapat hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya. Dalam konteks ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari akan adanya setiap perbedaan  pandangan antara individu.

4. Pelaksanaan Proses Pembelajaran
a.  Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Seperti yang telah dijelaskan dimuka, guru dalam proses pembelajaran memiliki peran yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon dapat memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin bisa mengganti peran guru. Lalu apa peran guru dalam kondisi demikian? Beberapa  peran guru khususnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas dijelaskan dibawah ini:

b. Guru sebagai Sumber Belajar
Peran guru sebagai sumber belajar, merupakan peran yang sangat penting. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Kita bisa menilai baik atau tidaknya seorang guru hanya dari penguasaan materi pelajaran. Dikatakan guru yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa sekaitan dengan materi pelajaran yang sedang diajarkannya, ia akan dapat menjawab dengan penuh keyakinan. Sebaliknya dikatakan guru yang kurang baik manakala ia tidak paham tentang materi yang diajarkannya. Ketidak pahaman tentang materi pelajaran biasanya ditunjukkan oleh perilaku-perilaku tertentu misalnya teknik penyampaian materi pelajaran yang monoton, ia lebih sering duduk di kursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani melakukan kontak mata dengan siswa, miskin dengan ilustrasi dan lain sebagainya. Perilaku guru yang demikian dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada  diri siswa, sehingga guru akan sulit mengendalikan kelas.
Sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran hendaknya guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)  Guru harus memiliki bahan referensi yang lebih banyak dibandingkan dengan siswa. Hal ini untuk menjaga agar guru memiliki pemahaman yang lebih baik tentang materi yang akan dikaji bersama siswa. Dalam perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, bisa terjadi siswa lebih ”pintar” dibandingkan guru dalam hal penguasaan informasi. Oleh sebab itu, untuk menjaga agar guru tidak ketinggalan informasi, sebaiknya guru memiliki bahan-bahan reference yang lebih banyak dibandingkan siswa. Misalnya melacak bahan-bahan dari internet, atau dari bahan cetak terbitan terakhir, atau berbagai informasi dari media masa.
2)  Guru dapat menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang biasanya memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata siswa yang lain. Siswa yang demikian perlu diberikan perlakuan khusus, misalnya dengan memberikan bahan pengayaan dengan menunjukkan sumber belajar yang berkenaan dengan materi pelajaran.
3)  Guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran, misalnya dengan menentukan mana materi inti (core), yang wajib dipelajari siswa, mana  materi tambahan mana materi yang harus diingat kembali karena pernah di bahas dan lain sebagainya. Malalui pemetaan semacam ini akan memudahkan bagi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai sumber belajar.

c. Guru sebagai Fasilitator
Sebagai fasilitator guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai sering guru bertanya: bagaimana caranya agar ia mudah menyajikan bahan pelajaran? Pertanyaan tersebut sekilas memang ada benar-nya. Melalui usaha yang sungguh-sungguh guru ingin agar ia mudah menya-jikan bahan pelajaran dengan baik. Namun demikian, pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran berorientasi pada guru. Oleh sebab  itu akan lebih bagus manakala pertanyaan tersebut  diarahkan pada siswa, misalnya apa yang harus dilakukan agar siswa mudah mempelajari bahan pelajaran sehingga tujuan belajar tercapai secara optimal. Pertanyaan tersebut mengandung makna, kalau tujuan mengajar adalah mempermudah siswa belajar. Inilah hakikat peran fasilitator dalam proses pembelajaran.
Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber pembelajaran.
1)  Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media sa-ngat diperlukan, belum tentu suatu media cocok digunakan untuk mengajarkan semua bahan pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik yang berbeda.
2)  Guru perlu memiliki keterampilan dalam merancang suatu media. Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Dengan perancangan media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga pada gilirannya tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal.
3)  Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar. Perkembangan teknologi infomasi menuntut setiap guru untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Berbagai perkembangan teknologi informasi memungkinkan setiap guru dapat menggunakan berbagai pilihan media yang dianggap cocok.
4)  Sebagai fasilitator guru dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting, kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.

d. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran
Sebagai pengelola pembelajaran (learning manajer), guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa.
Menurut Ivor K. Devais, salah satu kecenderungan yang sering dilupakan adalah melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya siswa dan bukan mengajarnya guru. Dalam hubungannya dengan pengelolaan pembelajaran Alvin C. Eurich menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru adalah sebagai berikut:
1)  Segala sesuatu yang dipelajari oleh siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
2)  Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
3)  Seorang siswa akan belajar lebih banyak apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
4)  Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar seca-ra keseluruhan lebih berarti.
5)  Apabila siswa diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
Dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran, ada dua macam kegiatan yang harus dilakukan yaitu megelola sumber balajar dan melaksanakan peran sebagai sumber belajar itu sendiri. Sebagai manajer, guru memiliki 4 fungsi umum, yaitu:
1)  Merencanakan tujuan belajar.
2)  Mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan be-lajar.
3)  Memimpin, yang meliputi memotivasi, mendorong dan menstimulasi siswa.
4)  Mengawasi segala sesuatu, apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.
Walaupun keempat fungsi itu merupakan kegiatan yang terpisah, namun keempatnya harus dipandang sebagai suatu lingkaran atau siklus kegiatan yang berhubungan satu sama lain seperti yang terlihat pada gambar 3.

MERENCANAKAN
 
           


 










Gambar 3 Fungsi Guru sebagai Manajer
Fungsi perencanaan merupakan fungsi yang sangat penting bagi seorang manajer. Kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan fungsi perencanaan di antaranya meliputi memperkirakan tuntutan dan kebutuhan, menentukan tujuan, menulis silabus kegiatan pembelajaran, menentukan topik-topik yang akan dipelajari, mengalokasikan  waktu serta menentukan sumber-sumber yang diperlukan. Melalui fungsi perencanan ini, guru berusaha menjembatani jurang antara dimana murid berada dan kemana mereka harus pergi. Keputusan semacam ini menuntut kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif, serta meliputi sejumlah besar kegiatan yang pada hakikatnya tidak teratur dan tidak berstruktur.
Fungsi pengorganisasian melibatkan penciptaan secara sengaja suatu lingkungan pembelajaran yang kondusif serta melakukan pendelegasian tanggung jawab dalam rangka mewujudkan tujuan program pendidikan yang telah direncanakan. Pengorganisasian, pengaturan-pengaturan sumber hanyalah alat atau sarana saja untuk mencapai apa yang harus diselesaikan. Tujuan akhirnya adalah membuat agar siswa dapat bekerja dan belajar bersama-sama. Harus diingat, pengorganisasian yang  efektif hanya dapat diciptakan manakala siswa dapat belajar secara individual, karena pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai adalah siswa secara individual walaupun pengajaran itu dilaksanakan secara klasikal. Keputusan yang berhubungan  dengan pengorganisasian ini memerlukan pengertian mendalam dan perhatian terhadap siswa secara individual.
Fungsi memimpin atau mengarahkan adalah fungsi yang bersifat pribadi yang melibatkan gaya tertentu. Tugas memimpin ini adalah berhubungan dengan membimbing, mendorong, dan mengawasi murid, sehingngga mereka dapat mencapai tujuan  yang telah ditentukan. Tujuan akhirnya adalah untuk membangkitkan motivasi dan mendorong murid-murid sehingga mereka menerima dan melatih tanggung jawab untuk belajar mandiri.
Fungsi mengawasi bertujuan untuk mengusahakan peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan rencana yang telah disusun. Dalam batas-batas tertentu fungsi pengawasan melibatkan pengambilan keputusan  yang terstruktur, walaupun proses tersebut mungkin sangat kompleks, khususnya bila mengadakan kegiatan remidial.

e.  Guru sebagai Demonstrator
Yang dimaksud dengan peran guru sebagai demonstrator adalah peran untuk mempertunjukkan kepada siswa segala seuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada dua konteks guru sebagai demonstrator. Pertama, sebagai demonstrator berarti guru harus menunjukkan sikap-sikap yang terpuji. Dalam setiap aspek kehidupan, guru merupakan sosok ideal bagi setiap siswa. Biasanya apa yang dilakukan guru akan menjadi acuan bagi siswa. Dengan demikian dalam konteks ini guru berperan sebagai model dan teladan bagi setiap siswa. Kedua, sebagai demonstrator guru harus dapat menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran dapat lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa. Oleh karena itu, sebagai demonstrator erat kaitannya dengan pengaturan strategi pembelajaran yang lebih efektif.

f.  Guru sebagai Pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing. Membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup mereka, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat.
Seorang guru dan siswa sepeti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demiki-an juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakan yang dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membmbing agar siswa tumbuh dan berkem-bang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing.
Agar guru berperan sebagai pembimbing yang  baik, maka ada beberapa hal yang harus dimiliki, diantaranya: Pertama, guru harus memiliki  pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman  tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak. Pemahaman ini sangat penting artinya, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
Kedua, guru harus mamahami dan trampil dalam merencanakan, baik merencakan tentang tujuan dan kompetensi yang hendak dicapai, maupun merencakan proses pembelajaran. Proses bimbingan akan dapat dilakukan dengan baik manakala sebelumnya guru merencanakan hendak di bawa ke mana siswa, apa yang harus dilakukan dan lain sebagainya. Untuk merumus-kan tujuan yang sesuai guru harus memahami segala sesuatu yang berhubungan baik dengan sistem nilai masyarakat maupun dengan kondisi psikologis dan fisiologis siswa, yang kesemuanya itu terkandung dalam kurikulum sebagai pedoman dalam merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki.
Di samping itu, juga guru perlu mampu merencanakan dan mengimplentasikan proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh. Proses membimbing adalah proses memberikan bantuan kepada siswa, dengan demikian yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah siswa itu sendiri.


g.  Guru sebagai Motivator
Dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kemampuannya yang kurang, akan tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi untuk belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya. Dengan demikian, dapat dikatakan siswa yang berprestasi rendah belum tentu disebabkan oleh kemampuannya yang rendah pula, akan tetapi mungkin disebabkan oleh tidak adanya dorongan atau motivasi. Kemudian apa yang disebut motivasi itu?
Woodwort (1955) mengatakan: ”A motive is a set predisposes the individual of certain activities and for seeking certain goals”. Suatu motif adalah suatu set yang dapat membuat individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, perilaku atau tindakan yang ditunjukkan seseorang dalam upaya mencapai tujuan tertentu sangat tergantung dari motive yang dimilikinya. Arden (1957) menegaskan “motives as internal condition arouse sustain, direct and determain the intensity of learning effort, and also define the set satisfying or unsatisfyng consequences of goal”.
Dari definisi tersebut maka jelas, kuat lemahnya atau semangat tidaknya usaha yang dilakukan seseorang untuk mecapai suatu tujuan akan ditentukan oleh kuat lemahnya motife yang dimiliki orang tersebut. Motif dan motivasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Motivasi merupakan penjelmaan dari motive yang dapat dilihat dari perilaku yang ditunjukkan seseorang. Hilgard mengatakan bahwa motivasi adalah suatu keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan tertentu  untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi dengan demikian, motivasi muncul dari dalam diri seseorang.
Motivasi sangat erat hubugannya dengan kebutuhan, sebab memang motivasi muncul karena kebutuhan. Seseorang akan terdorong untuk bertindak manakala dalam dirinya ada kebutuhan. Kebutuhan ini yang menimbulkan keadaan ketidakseimbangan (ketidak puasaan), yaitu ketegangan-ketegangan, dan ketegangan itu akan hilang manakala kebutuhan itu telah terpenuhi.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa memiliki motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif mem-bangkitkan motivasi belajar siswa. Di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk.

1)  Memperjelas Tujuan yang Ingin Dicapai
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin di  bawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai.

2)   Membangkitkan Minat Siswa
Siswa akan terdorong untuk belajar, manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu mengembangkan minat belajar siswa merupa-kan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa di antaranya:
a)     Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan sis-wa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa ma-teri pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu menjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
b)     Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pe-lajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik dan dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal, kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya mi-nat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
c)     Gunakan perbagai model dan strategi pembalajran secara bervariasi mi-salnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi dan lain seba-gainya.

3)   Ciptakan Suasana yang Menyenangkan dalam Belajar
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik, manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman bebas dari rasa takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa te-gang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.

4)   Berilah Pujian yang Wajar terhadap Setiap Keberhasilan Siswa
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikan pujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata, justru ada anak yang merasa tidak senang dengan kata-kata. Pujian sebagai penghargaan bisa dilakukan dengan isyarat misalnya senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.
5)  Berikan Penilaian
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Un-tuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu penilaian harus dilakukan dengan segera, agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Peni-laian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa ma-sing-masing.

6)  Berilah Komentar terhadap Hasil Pekerjaan Siswa
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan membe-rikan komentar yang positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya misalnya dengan memberikan  tulis-an “bagus”, atau “teruskan pekerjanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

7)  Ciptakan Persaingan dan Kerjasama
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk ke-berhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkin-kan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antara kelompok maupun antar individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, khususnya untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antar kelompok.
            Disamping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun teknik-teknik semacam itu hanya dapat digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.

g.  Guru sebagai Evaluator
Sebagai evaluator guru berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Terdapat dua  fungsi dalam memerankan perannya sebagai evaluator. Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan  atau menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Kedua, untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan.


1)  Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Siswa
Sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan siswa, evaluasi memegang peranan yang sangat penting. Sebab melalui evaluasi guru dapat menentukan apakah siswa yang diajarnya sudah memiliki kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga mereka layak diberikan program pembelajaran baru, atau malah sebaliknya siswa belum dapat mencapai standar minimal sehingga mereka perlu diberikan program remidial. Sering guru beranggapan bahwa evaluasi sama dengan melakukan tes, artinya guru telah melakukan evaluasi manakala ia telah melaksanakan tes. Hal ini tentu kurang tepat, sebab evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau makna tertentu pada sesuatu yang dievaluasi. Dengan demikian tes hanya salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan makna tersebut. Misalnya Si ”A” dikatakan menguasai seluruh program pembelajaran berdasarkan hasil rangkaian evaluasi misalnya, berdasarkan hasil tes, ia memperoleh skor yang bagus, berdasarkan hasil observasi ia telah dapat menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan hasil wawancara ia benar-benar tidak mengalami kesulitan tentang bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Berdasarkan rangkaian proses evaluasi akhirnya guru dapat menentukan bahwa Si ”A” pantas diberi program pembelajaran baru. Sebaliknya, walaupun berdasarkan hasil tes Si ”B” telah dapat menguasai kompetensi seperti yang diharapkan, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dan observasi, ia tidak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan misalnya dalam kemampuan berpikir, maka dapat saja guru menentukan bahwa proses pembelajaran dianggap belum berhasil.
Kelemahan yang sering terjadi sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi selama ini adalah guru dalam menentukan keberhasilan siswa terbatas pada hasil tes yang biasa dilakukan secara tertulis, akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada kemampuan siswa untuk mengisi soal-soal yang biasa keluar dalam tes.
Di samping itu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, evaluasi itu juga sebaiknya dilakukan bukan hanya terhadap hasil belajar akan tetapi juga proses belajar. Hal ini sangat penting sebab evaluasi terhadap proses belajar pada dasarnya evaluasi terhadap keterampilan intelektual secara nyata.

2)  Evaluasi untuk Menentukan Keberhasilan Guru
Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk siswa akan tetapi dapat diguna-kan untuk menilai kinerja guru itu sendiri. Berdasarkan hasil evaluasi apakah guru telah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu diperbaiki. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan guru, tentu saja tidak sekomplek untuk menilai keberhasilan sis-wa baik dilihat dari aspek waktu pelaksanaan maupun dilihat dari aspek pe-laksanaan. Biasanya evaluasi ini dilakukan setelah proses pembelajaran ber-akhir atau yang  biasa disebut dengan post-tes.

B.   Peranan Teknologi dalam Pembelajaran
Perkembangan teknologi informasi berkembang dengan cepat beberapa tahun belakangan ini. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah tata cara manusia berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan teknologi internet misalnya, saat ini seseorang dapat dengan mudah dan murah mendapatkan informasi hanya dengan menggunakan telepon genggam (Clyde & Delohery, 2005). Demikian juga dengan teknologi komputer, saat ini komputer telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi yang memiliki banyak manfaat ini belum dimanfaatkan secara optimum  dalam proses pembelajaran. Seringkali teknologi informasi hanya dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran di kelas. Upaya untuk mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses pembelajaran masih kurang sehingga dampak teknologi informasi kurang nyata. Sebagai contoh, perkembangan multimedia telah berkembang pesat di masyarakat, namun pembelajaran di kelas tetap tertinggal meskipun telah menggunakan teknologi komputer.
Beberapa penyebab kurang berkembangnya pengintegrasian teknologi komputer dalam pembelajaran disebabkan antara lain; (1) Adanya asumsi bahwa komputer sebagai perangkat keras hanya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dengan mengindahkan upaya meningkatkan aspek afektif dan kognitifnya. (2) Karena perangkat keras dianggap sesuatu yang berbeda, teknologi ini akan dengan cepat dikenalkan dan mendapat sambutan karena sesuatu yang baru, namun karena guru kurang trampil memanfaatkan beberapa saat kemudian perangkat keras menjadi sesuatu yang biasa. (3) Guru tidak memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan komputer dalam pembelajaran sehingga peranannya monoton dan kurang berkembang.
Penggunaan berbagai teknologi dalam pembelajaran memberikan manfaat baik bagi guru, siswa, maupun masyarakat (Clyde & Dlohery, 2005). Bagi guru penggunaan teknologi akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajarannya. Bagi siswa, penggunaan berbagai tenologi akan memberikan kesempatan belajar yang lebih berkualitas. Penggunaan teknologi secara umm juga akan menguntungkan masyarakat luas karena informasi akan dengan mudah disebarkan dan dinikmati oleh masyarakat.

1.    Peranan Teknologi Komputer dalam Pembelajaran
Teknologi komputer yang tersedia pada saat ini memiliki beberapa kemampuan yang dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran. Pertama, komputer memiliki kemampuan menyimpan data yang sangat besar. Berbagai data dalam bentuk tulisan, gambar, animasi, simulasi, audio dan gambar hidup (video) dapat disimpan dengan mudah dan ditampilkan dengan cepat oleh komputer. Hal ini dapat meningkatkan kualitas komunikasi dalam pembelajaran di  kelas. Kedua, komputer memiliki kecepatan kerja yang sangat tinggi. Dengan kecepatan yang sangat tinggi ini perhitungan dan siklus kerja yang panjang dapat dilakukan dengan cepat oleh komputer. Data-data pengamatan misalnya, dapat diolah dan ditampilkan dengan cepat dengan bantuan komputer. Ketiga, komputer dapat dengan mudah dihubungkan ke jaringan internet sehingga memudahkan guru menelusuri informasi-informasi yang dibutuhkan, Keempat, komputer dapat bekerja secara interaktif  (Boohan ed, 2002). Keuntungan lain adalah komputer juga relatif murah sehingga terjangkau oleh guru, siswa, dan sekolah.
Beberapa keuntungan penggunaan komputer dalam pembelajaran adalah sebagai berikut. (1) Sifat interaktif, komputer dapat melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Penggunaan komputer berbeda dengan buku atau mendengarkan ceramah guru dimana siswa hanya berperan pasif (Barton, 2004: 29). (2) Perhatian individual, sebagaimana diketahui bahwa setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda, kecepatan belajar yang berbeda dan minat belajar yang berbeda. Semua perbedaan yang dimiliki oleh siswa ini akan dapat diakomodasi oleh pembelajaran berbantuan komputer yang dirancang dengan baik. (3) Berkembang pesat, perkembangan komputer yang pesat menjanjikan perkembangan pembelajaran baru yang belum pernah ditemukan.
Multimedia merupakan salah satu produk teknologi komputer yang memiliki manfaat tinggi dalam pembelajaran fisika. Multimedia dapat menampilkan teks, gambar, animasi, simulasi dan video klip secara interaktif. Welington (2004: 95-96) menunjukkan beberapa keuntungan penggunaan multimedia interaktif. (1) Multimedia dapat meningkatkan perhatian dan motivasi siswa. (2) Multimedia dapat menggambarkan sesuatu yang tidak tergambarkan. Gerakan-gerakan yang kompleks yang sulit dijelaskan akan dengan mudah ditamilkan dalam multimedia. (3) Dapat menampilkan gambar-gambar dengan lebih mudah dan lebih dinamis. (4) Dapat menampilkan sesuatu yang abstrak menjadi lebih mudah dipahami. (5) Dapat menampilkan sesuatu yang terlalu kecil, terlalu cepat, dan terlalu berbahaya jika diamati secara langsung.
Meskipun memiliki berbagai kelebihan, komputer dengan multimedia hanya merupakan salah satu metode  dalam  pembelajaran. Komputer dan multimedia tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan proses pembelajaran. Dalam hal ini komputer dan multimedia berperan sebagai alat bantu dalam pembelajaran.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak penggunaan komputer dalam pembelajaran. Beberapa penelitian menunjukan beberapa hal sebagai berikut. (1) Penggunaan komputer dalam pembelajaran menunjukkan peningkatan belajar atau hasil yang sama dengan pembelajaran tradisional (Hofe, 2001). (2) Penggunaan komputer menurunkan waktu belajar jika dibandingkan dengan waktu belajar di kelas. (3) Penggunaan komputer meningkatkan sikap posiif siswa terhadap penggunaan komputer dalam belajar. (4) Pengembangan pembelajaran berbantuan komputer dengan mengikuti pedoman tertentu dapat diadopsi dan dimanfaatkan oleh guru di lain tempat. 
Penggunaan komputer dan teknologi informasi dalam pembelajaran juga memberikan keuntungan bagi guru. Menurut Musker (Musker, 2004: 14) keuntungan bagi guru diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Dapat mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. (2) Dapat mempercepat dan mempermudah tugas. (3) Dapat meningkatkan kualitas presentasi. (4) Dapat mengembangkan pembelajaran yang lebih visual. 

2.    Pengertian E-Learning
E-Learning didefinisikan sebagai pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) secara online menggunakan jaringan teknologi. Saat ini telah banyak penelitian mengenai elearning, terutama pada dampak (outcomes) pembelajaran yang dihasilkan e-learning jika dibandingkan dengan pengajaran secara tradisional (Hrastinski, S: 2008). Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan e-learning sebagai suplemen terhadap materi yang disampaikan secara regular di kelas. Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan e-learning sebagai alternative perkuliahan bagi mahasiswa yang karena satu dan lain hal berhalangan mengikuti perkuliahan (Rahayu, T: 2007).
Untuk bisa mempraktekkan dan mengimplementasikan e-learning dengan baik, harus diperhatikan mengenai keuntungan dan keterbatasan setiap metode dan teknik yang dikembangkan pada e-learning. Dua tipe dasar e-learning yang saat ini berkembang adalah asynchronous dan synchronous e-learning. Sampai saat ini, tipe asynchronous lebih banyak diandalkan untuk pengajaran dan pembelajaran. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kapasitas bandwith koneksi internet, tipe synchronous menjadi pilihan tersendiri (Hrastinski, S: 2008), (Rahayu, T: 2007).

3.    Pengertian Blended Learning
Pengertian blended learning dapat berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Beberapa kemungkinan tentang pengertian blended learning antara lain sebagai berikut. (1) Penggabungan pembelajaran berbasis teknologi internet (laboratorium virtual, modul digital, gambar, audio, dan text) untuk mencapai tujuan pembelajaran. (2) Kombinasi paradigma pembelajaran (behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik) dengan atau tanpa melibatkan teknologi. (3) Kombinasi teknologi komputer dan informasi (video, pelatihan berbasis internet, CD ROM) dengan pembelajaran tatap muka. Namun demikian, pengertian blended learning yang banyak diikuti adalah upaya mengkombinasikan pembelajaran berbasis internet (E-learning) dengan pembelajaran tatap muka (face to face). Blended learning dapat melatih kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan pembelajaran berbasis internet.

4.    Mengapa Blended Learning
Dari artikel dan beberapa studi bahwa masih banyak kendala pembelajaran e-learning adalah tidak terjadinya interaktivitas langsung antara siswa/mahasiswa dengan guru/dosennya. Bagaimanapun belajar merupakan proses multi arah, dimana pembelajar butuh teman, guru/dosen, dan juga memerlukan feedback dari pengajar dan sebaliknya pengajar memerlukan feedback dari pembelajar. Dengan demikian akan diperoleh hasil belajar lebih efektif dan tepat sasaran. Belajar dengan e-learning menciptakan kesan kesendirian seseorang sehingga tidak bisa bertahan lama dalam belajar di depan komputer, sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini juga tidak sesuai dengan yang dicanangkan oleh pembelajaran yang mengadopsi dari Unesco learning to live together.
Melalui blended learning mahasiswa bisa belajar daridosen dimanapun juga tanpa harus bertatap muka secara langsung. Belajar seperti ini dilakukan lewat diskusi live menggunakan audio-converencing, interactive video converence, real time chatting console, dan berbagai variasinya. Materi pembelajaran bisa di download dan dipelajari lebih dahulu berupa teks, audio maupun video. Mahasiswa bisa bertanya langsung dengan dosen pemberi materi, melakukan konsultasi atas sebuah ide dan pemahaman, serta membangun kedekatan personal meskipun tidak bertatap muka. Ini dapat terjadi karena mahasiswa berinteraksi langsung walau hanya secara virtual dihubungkan oleh sinyal-sinyal komunikasi. Satu sama lain memberi feedback dan saran untuk kemajuan masing-masing.
Strategi pembelajaran blended learning mengkombinsasikan secara arif, relevan, dan tepat antara potensi face-to-face dengan potensi tehnologi informasi dan komunikasi. Oleh karenanya guru/dosen dapat mengatur kapan jadwal kegiatan tatap muka untuk membahas atau mengambil feedback dari kegiatan pembelajaran online atau lewat web. Pembelajaran ini dapat memberikan kemudahan kepada guru/dosen juga kepada siswa/mahasiswa dalam waktu dan tempat untuk belajar, materi kuliah lebih mudah dan lengkap untuk diakses dan dimiliki oleh mahasiswa, mahasiswa dapat mengetahui keseluruhan kerangka materi kuliah yang akan dipelajari selama satu semester, meningkatkan etos kerja dosen, mahasiswa lebih banyak bertanya, lebih ulet, gigih dalam belajar sehingga tumbuh sikap pantang menyerah. Kesempatan belajar dan mengajar di luar kelas menjadi lebih banyak, karena interaksi dosen-mahasiswa dapat berjalan di luar jam kerja.

5.    Pembelajaran Blended Learning
Pelaksanaan blended learning tergantung pada beberapa faktor: (a) sarana dan prasarana. Guru perlu memiliki akses terhadap jaringan internet yang cukup besar dan cepat sehingga memudahkan kerja. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai juga memerlukan biaya; (b) guru perlu meningkatkan kemampuannya dalam bidang TIK dengan cara membaca dan berlatih mandiri maupun melalui pelatihan formal. Sekolah perlu memperhatikan hal ini sebagai salah satu pengembangan professional; (c) siswa perlu mendapatkan akses terhadap komputer dan internet dan memiliki kemampuan memanfaatkan E-learning. Sekolah perlu membekali siswa sebelum blended learning diterapkan.
Mengingat kondisi setiap sekolah berbeda, implementasi blended learning dapat dipilih sesuai dengan kondisi persekolahan. Beberapa ragam blended learning adalah sebagaimana gambar di bawah.
 
 









Gambar 4 Model Implementasi Blended Learning
Model implementasi yang paling sederhana adalah model 5 yakni  pemanfaatan bahan-bahan online tanpa harus mensyaratkan siswa untuk terhubung dengan internet. Hal ini berarti guru melakukan pembelajaran tatap muka dengan melibatkan kegiatan siswa yang memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di internet misalnya film, animasi, game dan sebagainya. Model implementasi berikutnya adalah model pembelajaran tatap muka dengan kegiatan siswa dan guru melakukan akses internet. Misalnya ketika berdiskusi, siswa dapat mencari bahan-bahan di internet dan mempresentasikannya di kelas. Pada model ini dibutuhkan jaringan internet di dalam dan di luar kelas. Model-model berikutnya adalah model dengan pemanfaatan internet yang intensif.
Beberapa cara mengimplementasikan blended learning pada tahap permulaan diantaranya:
a.    Guru mengintegrasikan teknologi komputer dan informasi dalam materi pembelajarannya. Misalnya guru mendownload video, animasi, dan simulasi yang sesuai untuk dimanfaatkan di kelas. Berbagai media ini diintegrasikan dalam pembelajaran.
b.    Guru mengembangkan bahan ajar atau modul berbantuan komputer. Bahan ajar ini dapat diakses oleh siswa dan dapat dipelajari di luar jam tatap muka. Bahan ajar akan membantu siswa yang mengalami masalah dalam pembelajaran tatap muka.
c.    Guru mengoptimalkan email dengan mengembangkan email group sebagai wahana diskusi guru-siswa-siswa. Group email juga dapat digunakan untuk berbagi file, mengumpulkan tugas dan sebagainya.
d.    Guru mempelajari moodle dan memanfaatkannya sebagai penunjang pembelajaran tatap muka. Guru memanfaatkan fitur yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tatap muka.
Guru dan sekolah dapat memilih model yang sesuai dengan sarana prasarana yang tersedia, kemampuan guru, dan kesiapan siswa. Implementasi model yang sesuai akan berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

6.    Manfaat Blended Learning
Menurut Atmoko (2011) blended (campuran, kombinasi yang baik) Learning merupakan proses pembelajaran yang memanfaatkan berbagai macam aktivitas dan media baik secara fisik maupun maya.
Aktivitas apa saja pada Blended Learning, antara lain: (a) pembelajaran Face to Face (pembelajaran tatap muka di ruang kelas),  (b) Video Conference (face to face secara online), dan (c) ELearning (aktivitas yang dilakukan dengan pemanfaatan software pengelolaan konten pembelajaran)
Lebih lanjut Atmoko mengemukakan manfaat blended learning bagi Perguruan Tinggi antara lain: (a) pengakuan kredit mata kuliah antar perguruan tinggi, (b) mengurangi jumlah tatap muka di kelas, (c) sharing sumber daya pengetahuan yang fleksibel, (d) d. Interaksi secara real time antara dosen-mahasiswa dan mahasiswa-mahasiswa, (e) e.Kemudahan untuk penyetaraan bahan ajar antar perguruan tinggi/Sekolah/Madrasah, (f)  Transisi ke arah Optimalisasi ELearning, (g) g. Efektivitas sharing sumber daya pengetahuan guru ke murid, (h) h. Dasar ke arah Student Center Learning, dan (i) i. Kemudahan untuk penyetaraan bahan ajar antar sekolah.

7.    Temuan-temuan Penelitian tentang Blended Learning
Para peneliti banyak yang tertarik untuk mengkaji tentang pendekatan pembelajaran blended learning dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.Temuan-temuan penelitian tentang blended learning yang dilakukan oleh para peneliti dapat dideskripsikan secara singkat dalam uraian berikut ini.
Hartono (2012) dalam penelitian mengemukakan bahwa penelitian quasi eksperimen sudah dilakukan untuk mendapatkan tingkat efektivitas program perkuliahan praktikum IPA pada lingkungan pembelajaran kombinasi (blended learning environment) yang dapat meningkatkan keterampilan proses sains (KPS) mahasiswa guru SD Program Pendidikan Jarak Jauh di Sumatera Selatan, Indonesia. Pendekatan pembelajaran kombinasi adalah kombinasi antara kegiatan perkuliahan tatap muka dan online. Penelitian melibatkan 60 mahasiswa yang mengambil matakuliah Praktikum IPA pada semester genap 2008/2009. Mahasiswa dibagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok bertindak sebagai kelas eksperimen dan kelas lainnya sebagai kelompok kontrol. KPS mahasiswa diukur melalui perbandingan hasil tes awal dan akhir serta tes kinerja. Data dianalisis melalui penggunaan uji t dan skor peningkatan ternormalisasi KPS. Hasil penelitian mengindikasikan terjadi peningkatan secara signifikan KPS mahasiswa pada kelas eksperimen (N-gain=73,31) dibandingkan terhadap kelas kontrol (N-gain=18,76). Olehkarenanya, program pengajaran dengan lingkungan kombinasi dapat dinyatakan efektif untuk meningkatkan KPS mahasiswa.
Imam Sujadi (2012) dalam penelitiannya “Penerapan Blended Learning pada Perkuliahan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Studi Kasus: Mata Kuliah Dasar-dasar Matematika). Tujuan penelitian ini adalah menerapan model blended learning pada perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang memadukan antara pembelajaran tatap muka dan sistem e-learning. Penelitian ini dilaksanakan di program studi pendidikan matematika UNS.Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan 2 siklus. Tahapan penelitian didahului dengan mengembangkan model pembelajaran blended learning untuk mata kuliah Dasar-dasar Matematika. Selanjutnya model tersebut digunakan dalam proses pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tahap-tahap penelitian tiap siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah dasar-dasar matematika pada semester gasal tahun akademik 2011/2012. Metode pengumpulan data dengan angket, observasi dan tes, pemberian tugas/kuis untuk mengetahui kualitas proses dan hasil pembelajaran. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Model pembelajaran blended learning terbukti berhasil meningkatkan kemandirian belajar dan kompetensi kognitif mahasiswa. Dengan demikian, dirasa perlu dilakukan penelitian tindakan kelas ini dengan model pembelajaran yang sama tetapi dengan mata kuliah yang berbeda dan kondisi yang berbeda pula.

D. Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan simpulan-simpulan sebagai berikut :
1.    Perangkat pembelajaran yang dikembangakan berupa silabus, RPP, bahan ajar, lembar tugas, media berupa blog, email, dan mailing list .
2.    Penerapan pembelajaran matematika menggunakan model pembela-jaran blended learning dapat meningkatkan kemandirian peserta didik dalam belajar dan bekerja sama dan meningkatkan kompetensi peserta didik dalam bidang kognitif pada mata kuliah dasar-dasar matematika.
3.    Blended learning merupakan merupakan inovasi pemanfaatan teknologi komputer dan informatika. Blended learning merupakan istilah umum bagi kombinasi pemanfaatan teknologi komputer dan informasi  dalam pembelajaran tatap muka (face to face teaching learning).  Bentuknya dapat beragam mulai dari penggunaan komputer dalam menunjang  pembelajaran sampai dengan  komplemen pembelajaran tatap muka dengan E-learning. 
4.    Pemanfaatan blended learning dalam pembelajaran tentu saja perlu memperhatikan sumber daya alat dan sumber daya manusia yang tersedia.  Makalah ini akan memaparkan blended learning dengan terlebih dahulu mengenalkan integrasi teknologi dan komputer informasi dalam pembelajaran.
5. Penerapan pembelajaran matematika menggunakan model blended learning dapat digunakan untuk melaksanakan remedial teaching untuk perkuliahan yang menerapkan kurikulum berbasisis kompetensi. Pengembangan nilai-nilai karakter pada mahasiswa tidak cukup dengan hanya mengembangkan pengetahuan kecerdasan intelektual kognitif saja,melainkan juga harus menekankan pada penanaman kesadaran moral spiritual secara berimbang yang terintegrasi dengan mata kuliah-mata kuliah. Oleh karena itu pengajar yang merupakan ujung tombak dari suatu kegiatan pembelajaran dapat merancang suatu strategi pembelajaran yang dapat mengimbangkan antara pengetahuan kecerdasan intelektual kognitif dengan moral spiritual secara terintegrasi.
6. Mahasiswa yang sering melakukan log-on pada web memiliki hasil belajar di atas rata-rata, tetapi tidak dapat memantau apakah hasil belajar itu memang dipengaruhi oleh lamanya mahasiswa mengakses web. Lebih lanjut mereka menyatakan dalam diskusi online, jenis pertanyaan yang menarik (berhubungan dengan pengalaman mahasiswa) mendapat respon lebih baik dari mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Al Muchtar, Suwarma. 2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.

Barton, R.  2004. Why use computer in practical science? Dalam Barton, R. (eds.), Teaching secondary science with ICT (pp. 29).  New York: Open University Press.

Boohan, R. 2002. ICT and  Communication. Dalam  Amos, S.,  & Boohan, R. (eds.), Aspects of teaching secondary science (pp. 211). New York: The Open University.

Clyde, W., & Delohery, A. 2005. Using Technology in Teaching. London: Yale University Press.

Depdiknas. 2008. Proses Pembelajaran di Kelas, Laboratorium, dan di Lapangan. Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.

Gagne, Robert M. dan Briggs.Leslie J. 1979. Principles of Instructional Design. New York: Holt Rinehart & Winston.

Hrastinski, S. 2008. Asynchronous and Synchronous E-Learning: A study of asynchronous and synchronous e-learning methods discovered that each supports different purposes. Educause Quarterly. Volume 4 p. 51 – 55.

Hofe, R. V. 2001. Investigation into student‘ learning of application in computer-based learning environtment [versi electronik]. Teaching Mathematics and Its Applications, 20(3), 109-119

Joyce, B., & Weil,M. 1980. Models of Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall Inc.

Kusairi, S. 2011. Implementasi Blended Learning. Malang: Program Studi Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Malang.

Kusni, M. 2010.  Implementasi Sistem Pembelajaran Blended Learning pada Matakuliah AE3121 Getaran Mekanik di Program Aeronotika dan Astonotika, Seminar Tahunan Teknik Mesin.

Musker, R.  2004. Using ICT  in a secondary science department. Dalam Barton, R. (eds.), Teaching secondary science with ICT (pp. 19). New York: Ope University Press.

Rahayu, T. 2007. Pemanfaatan E-Learning dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bina Widya Vol 18 p: 16-24.

Siswanto, B.T. 2011. Pendidikan Vokasi, Work-Based Learning, dan Penyelenggaraan Program Praktik Pengalaman Lapangan. Disampaikan pada Workshop Penyusunan Buku Panduan Penulisan Laporan KP, TA, Skripsi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang: Rabu, 12 Oktober 2011.

Sujadi, I. 2010. Penerapan Blended Learning pada Perkuliahan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Studi Kasus: Mata Kuliah Dasar-dasar Matematika). Surakarta: Program Studi Pendidikan Matematika UNS.

Suzana, Y. 2011. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter Mahasiswa dalam Pembelajaran melalui Metode Blended Learning. Dosen STAIN Zawiyah Cot Kalla Langsa.

Welington, J.  2004. Multimeda in science teaching. Dalam Barton, R. (eds.), Teaching secondary science with ICT (pp. 96). New York: Open University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...