MANAJEMEN KUALITAS SEKOLAH TERINTEGRASI:
SOLUSI MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN
DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
Hari Karyono
(today.karyono@gmail.com)
Pendahuluan
Salah satu permasalahan
pendidikan yang sampai saat ini menjadi masalah yang aktual adalah masalah mutu
pendidikan. Masalah mutu pendidikan menjadi hal yang sangat urgen karena adanya
kebutuhan untuk menghadapi tantangan
persaingan global. Sementara, kemampuan bersaing tersebut sangat ditentukan oleh pendidikan yang
bermutu.
Kemampuan bersaing menjadi
instrumen yang sangat strategis, manakalah bangsa Indonesia dihadapkan oleh
fenomena regional dan internasional yang menuntut adalah pengembangan SDM yang
bermutu dan memiliki daya saing yang kuat. Sebagaimana kita ketahui, beberapa
bulan lagi Indonesia dan negara-negara ASEAN akan mulai membuka pasar bebas
regional antar negara-negara ASEAN. ASEAN Economic
Community (AEC) atau yang disebut dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015 nanti. Program ini dibuat
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan stabilitas perekonomian
masyarakat di Negara Asean. Tujuan AEC tertuang dalam 5 bagian yaitu untuk
mewujudkan adanya aliran bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja
terampil.
Dua sektor yang menjadi
prioritas dalam MEA adalah sektor industri dan jasa. Terdapat tujuh sektor
barang industri yang terdiri dari atas produk pertanian, perikanan, elektronik,
tekstil, perkebunan kaet, otomotif dan kayu. Sedangkan untuk sektor jasa
terdapat lima sektor yaitu transportasi udara, pariwisata, jasa logistik, pelayanan
kesehatan, dan e-commerce. Kelima
sektor tersebut pada tahun 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara.
Perdagangan jasa mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional dan buruh
manufaktur. Untuk profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai
beroperasi bebas 2015, yaitu perawat, dokter umum, dokter gigi, akuntan, dan
insinyur. Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini harus
memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN. AEC diharapkan dapat
meningkatkan daya saing masyarakat Asia Tenggara melalui pembangunan pasar
regional dan berbasis produksi tunggal.
Menghadapi daya saing
tersebut di atas, maka mau tidak mau Indonesia akan harus mempunyai agenda
bagaimana meningkatkan kualitas SDM agar menjadi SDM yang kompetitif.
Disisi lain, beberapa
indikasi menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia masih perlu untuk
ditingkatkan kualitasnya. Salah satu indikasi tersebut adalah pada hasil survey
Program for International Student
Assesment (PISA), Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara soal
pendidikan. Sementara itu, melihat profil SDM Indonesia per Februari 2014 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata
pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tingkat pendidikan SD
ke bawah yaitu sebanyak 55,3 juta orang (46,80%) dan Sekolah Menengah Pertama
sebanyak 21,1 juta (17,82%). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12,0
juta orang, mencakup 3,1 juta orang (2,65%) berpendidikan Diploma dan sebanyak
8,8 juta orang (7,49%) berpendidikan sarjana.
Mengkaji profil SDM di
Indonesia sebagaimana digambarkan sepintas kilas tersebut di atas serta
memperhatikan dinamika tuntutan kualitas di tingkat regional dan internasional yang
berkembang pada dasa warsa terakhir ini, maka kebutuhan untuk meningkatkan
kualitas SDM adalah suatu upaya yang cukup rasional. Sedangkan kualitas SDM
dapat tercapai apabila pendidikan juga bermutu.
Mutu yang dimaksud bukan
hanya dapat memenuhi standar nasional, melainkan juga untuk memenuhi standar
internasional agar sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan
negara-negara lain, selain mampu menjadi “tuan” di negara sendiri (Jalal &
Supriadi, 2001).
Gerakan Manajemen Mutu Terpadu
(MMT) dalam bidang pendidikan masih tergolong baru. Hanya sedikit literatur
yang memuat referensi tentang hal ini sebelum 1980-an. Beberapa upaya
reorganisasi terhadap praktek kerja dengan konsep Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) telah
dilaksanakan oleh beberapa universitas di Amerika Serikat dan beberapa pendidikan
tinggi lainnya di Inggris. Inisiatif untuk menerapkan metode tersebut
berkembang lebih dahulu di Amerika Serikat baru kemudian di Inggris, namun baru
di awal 1990-an, kedua negara tersebut benar-benar dilanda gelombang metode
tersebut. Demikian pula di Indonesia, penerapan MMT telah diterapkan dengan
berbagai pendekatan.
Total Quality Management
(TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT) di bidang pendidikan merupakan konsep
yang relatif baru diperkenalkan dalam meningkatkan mutu sekolah. Paradigma MMT
beranggapan bahwa upaya peningkatan mutu secara total dapat diterapkan di
segala bidang termasuk di bidang pendidikan. MMT sebagai suatu konsep
memasukkan rencana atau perencanaan, pelaksanaan, koreksi, dan tindakan atas
kekeliruan atau penyimpangan. Penerapan MMT dalam pendidikan sangat relevan dengan
model SBM yang menghendaki perubahan budaya, pola pikir dan tindakan yang
dinamis dari setiap pelaku sistem pendidikan di setiap unsur kelembagaan, mulai
dari pembina, pengelola, pelaksana, dan orang tua atau komite sekolah.
MMT sebenarnya sudah
cukup lama diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai pendekatan MMT
yang telah diimplementasikan di sekolah. Misalnya seperti penerapan MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
penerapan RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) dan RSI (Sekolah
Bertaraf Internasional), dsbnya. Tetapi dalam implementasinya masih belum
memperoleh hasil yang optimal. Guna memperoleh
block grant untuk peningkatan mutu,
maka sekolah tersebut umumnya memaksakan diri untuk mengimplementasikan program
pembelajaran sesuai RSBI tersebut, meskipun terkesan asal jalan (Jaedun, 2009).
Konsep Mutu
Mutu memiliki pengertian
yang bervariasi. Menurut Sallis (2012) mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah
layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Tenner & DeToro (1992)
mengungkapkkan konsep mutu sebagai (1) konsep konvensional, menunjukkan bahwa
mutu merupakan sesuatu yang nampak baik, dibuat dengan baik dan bertahan lama;
sesuatu yang pertama atau terbaik, dan (2) konsep strategis, menunjukkan bahwa
mutu memenuhi kebutuhan pelanggan (meeting
the needs of customers).
Sementara itu, Sallis
(1993) mengemukakan bahwa konsep mutu sebagai (1) konsep absolut menunjukkan
bahwa mutu serupa dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran; sesuatu yang ideal
dan tidak dapat ditawar, yakni standard, sesuatu yang masih mungkin tercapai
tetapi tidak mungkin dapat diungguli oleh yang lain; sesuatu yang sempurna,
langka dan mahal harganya, dan (2) konsep relatif menunjukkan bahwa mutu (a)
memiliki sifat-sifat yang dikehendaki sesuai dengan spesifikasinya (guna dan
fungsinya), dan (b) memenuhi tuntutan pelanggan.
Sedangkan mutu dalam
konteks ‘hasil pendidikan’ mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada
setiap kurun waktu tertentu (apakah setiap akhir semester, akhir tahun, dua
tahun atau lima tahun bahkan sepuluh tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil
pendidikan dapat berupa hasil test kemampuan akademis (student achievement,
misalnya ulangan umum, EBTA atau EBTANAS).
Konsep tentang mutu
pendidikan dengan demikian diartikan secara berbeda-beda, tergantung pada
situasi, kondisi dan sudut pandang. Pada awal kemerdekaan dahulu, adanya
kesempatan satuan pendidikan bagi kebanyakan warga sudah dianggap sesuatu yang
bermutu, karena sebelumnya kesempatan itu tidak ada atau sangat terbatas.
Sekarang ini, sesuai dengan perkembangan budaya dan teknologi, pendidikan atau
pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan menenal dan memanfaatkan
teknologi informasi, dianggap kurang bermutu.
Menurut Miarso (2008)
ditinjau dari sudut pandang proses pendidikan, yang dimaksud dengan kualitas
memiliki pengertian sesuai dengan makna yang terkandung dalam siklus proses
pendidikan tersebut. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa kata kunci
pengertian kualitas, yaitu sesuai standar (fitness
to standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan terakhir (fitness to latest requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental
requirements).
Manajemen Mutu Terpadu dalam Bidang Pendidikan
Syamsudin (1999)
mengemukakan bahwa manajemen mutu mengandung empat hal pokok, yaitu (a) school review, (b) benchmarking, (c) quality
assurance, dan (d) quality control.
Dalam
dunia bisnis, sebagai sebuah konsep dan filosofi manajemen, Manajemen Mutu
Terpadu (MMT) sudah diterima sebagai sistem manajemen kualitas kelas dunia. Hal
tersebut membawa perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai organisasi.
Aplikasi MMT berpijak pada empat prinsip utama, yaitu (1) kepuasan pelanggan,
(2) respek terhadap setiap orang, (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4)
perbaikan secara terus-menerus (Danim, 2002).
Mengadopsi pengalaman di
dunia bisnis, hasil riset membuktikan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh
keterpaduan faktor internal dan eksternal (Hunger & Wheelen, 1993).
Berdasarkan pendapat ini, pengkajian mengenai kinerja setiap model kelembagaan
pendidikan tenaga kependidikan (PTK) dan prakarsa pengembangannya secara
terpadu meniscayakan analisis menyeluruh terhadap situasi internal dan
eksternalnya, yang dalam terminologi pengelolaan strategik disebut analisis
SWOT.
Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu
organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan jika tidak
didukung dengan tersedianya sumber – sumber untuk mewujudkan kualitas proses
dan hasil yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat,
terdapat berbagai sumber kualitas yang dapat mendukung pengimplementasian TQM
secara maksimal. Menurut Nawawi (2005), beberapa di antara sumber–sumber
kualitas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komitmen
Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap Kualitas.
Komitmen
ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan
dan kebijakan, pemilihan dan pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM,
dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini tidak mungkin diciptakan dan
dikembangkan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen yang berorentasi pada
kualitas produk dan pelayanan umum.
2. Sistem
Informasi Manajemen.
Sumber
ini sangat penting karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang
berkualitas, sangat tergantung pada ketersediaan informasi dan data yang
akurat, cukup/lengkap dan terjamin kekiniannya sesuai dengan kebutuhan dalam
melaksanakan tugas pokok organiasi.
3. Sumberdaya
Manusia yang Potensial.
SDM
di lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif dalam arti dapat
dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM juga merupakan potensi yang berkewajiban
melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) untuk mewujudkan eksistensinya.
Kualitas pelaksanaan tugas pokok sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki
oleh SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yang masih
bersifat potensial dan dapat dikembangkan.
4. Keterlibatan
semua Fungsi.
Semua
fungsi dalam organisasi sebagai sumber kualitas, sama pentingnya satu dengan
yang lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk
itu semua fungsi harus dilibatkan secara maksimal, sehingga saling menunjang
satu dengan yang lainnya.
5. Filsafat
Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber–sumber
kualitas yang ada bersifat sangat mendasar, karena tergantung pada kondisi
pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan
dipindahkan, atau dapat memohon untuk dipindahkan. Sehubungan dengan itu,
realiasi TQM tidak boleh digantungkan pada individu kepala sekolah sebagai
sumber kualitas, karena sikap dan perilaku individu terhadap kualitas dapat
berbeda. Dengan kata lain sumber kualitas ini harus ditransformasikan pada
filsafat kualitas yang berkesinambungan dalam merealisasikan TQM.
Implementasi MMT: Solusi Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah
Pendidikan memegang peran
yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas
pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan
SDM itu sendiri. Dengan proses yang terintegrasi (terpadu) akan dapat menunjang
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Pramoetadi (1991)
ada dua faktor utama yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan,
yaitu penciptakan iklim akademik dan proses pembelajaran. Tidak kalah
pentingnya dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
adalah peran Kepala Sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan
sekolah dalam meningkatkan mutu lulusan banyak ditenukan oleh kapasitas
kepalanya, disamping adanya guru-guru yang kompeten di skolah itu (Gibson dalam
Danim, 2002).
Di sekolah, Kepala
Sekolah mempunyai peran yang sangat menentukan dalam capaian mutu sekolah. Dikemukakan
oleh Danim (2003) bahwa faktor kunci kepala sekolah memainkan peranan yang
sangat penting pada keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Sebagai manajer
pendidikan yang profesional, kepala sekolah bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap sukses atau tidaknya sekolah yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Keller (dalam Danim, 2003) sebagai berikut “the key to the educational cookie is the principal. The principal is
the motivational yeast: how high the students and the teachers rise to their
challenge is the principal’s responsibility. If some of the educational
ingredients in our recipe are missing, it’s the responsibility of the principal
to compensate by invention or inovation or substitution or, if nothing else, by
raising hell with the people who stock his pantry. Menurut Fattah (2013)
konsep sekolah yang efektif menekankan pentingnya pemimpin yang tangguh dalam
mengelola sekolah.
Masalah yang muncul di
lembaga pendidikan kita saat ini adalah pengadaan tenaga administrator
pendidikan yang tampaknya masih didasarkan atas proses pembiakan (embreeding process), belum didasarkan
atas pendekatan karir administrator (Sutisna, 1985; Beeby, 1981).
Peran pemimpin dalam
mengembangkan budaya mutu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Memiliki
visi mutu terpadu bagi institusi,
- Memiliki
komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu,
- Mengkomunikasikan
pesan mutu,
- Memastikan
kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktek institusi,
- engarahkan
perkembangan karyawan,
- Berhati-hati
dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul tanpa bukti-bukti
yang nyata. Kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan
institusi dan bukan kesalahan staf,
- Memimpin
inovasi dalam institusi,
- Mampu
memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas telah mendefinisikan
tanggungjawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat,
- Memiliki
komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik yang bersifat organisasional
maupun kultural,
- Membangun
tim yang efekif, dan
- Mengembangkan
mekanisme yang tepat untuk mengawasi dan mengevaluasi kesuksesan.
Sekolah bermutu terpadu
merupakan sekolah yang bekerja bersama kostumer dan pemasoknya untuk memastikan
siswa-siswanya dipersiapkan secara lebih baik untuk memenuhi tantangan bisnis
dan akademik masa depan. Menurut Arcaro (2005) dalam sekolah bermutu terpadu
terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
- Setiap
proses pendidikan dapat diperbaiki,
- Setiap
perbaikan, besar atau kecil, berharga,
- Mutu
terdiri atas langkah-langkah kecil menuju perbaikan dan setiap upaya diakui
nilainya,
- Setiap
orang bertanggung jawab untuk menjaga dan menyelesaikan masalah begitu masalah
tersebut muncul, dan
- Setiap
orang diharapkan memberikan sumbangan untuk proses perbaikan.
Sementara itu dalam
prakteknya, dikemukakan oleh Fattah (2013) bahwa penyebab utama kegagalan MMT
yaitu pengelolaan (kepala sekolah dan guru), kurang fokus terhadap kebutuhan
siswa. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan umum bahwa guru
dalam mengajar belum berorientasi kepada siswa. Demikian pula program-progran
yang disiapkan belum memungkinkan bagi siswa melakukan pilihan sesuai dengan
minat dan bakat masing-masing murid (belum fokus pada customer).
Oleh karena itu, dalam
implementasi MMT di sekolah, fokus perhatian kita sebaiknya diawali dari kepala
sekolah dan guru. Dengan kata lain, peningkatan komponen-komponen sistem
pendidikan harus dimulai dari bagaimana meningkatkan kualitas kepala sekolah
dan guru. Miarso (2008) mengemukakan bahwa peranan guru sangat menentukan dalam
usaha peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, guru sebagai agen
pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan
sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi
dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh
karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
Diskusi tentang MMT dalam
bidang pendidikan, sama dengan kualitas pendidikan dalam suatu sistem
pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung
pada kualitas komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung
sehingga membuahkan hasil. Secara umum dapat dikatakan kualitas pendidikan
adalah kesesuaian dengan standar yang ditentukan.
Kajian tentang
peningkatan mutu pendidikan berdasarkan referensi ada beberapa model yang dapat
dijadikan rujukan, yaitu (1) model Bank Dunia, pendekatan ini berasumsi bahwa
aspek proses merupakan kotak hitam (balck-out) yang tidak teridentifikasi,
sehingga mutu output diasumsikan sebagai fungsi langsung dan linier dari
kualitas input, (2) model Orde Baru, cenderung patuh dan mengikuti model Bank
Dunia, yaitu melalui pendekatan fungsi produksi, (3) model Unesco, bahwa hasil/output
pendidikan harus memenuhi empat pilar, yaitu: (a) learnng to do, (b) learning
to know, (3) learning to be, dan
(d) learning to live together, dan (4) model Reformasi, kebijakan
demokratisasi pendidikan, yang diimplementasikan melalui desentralisasi
kewenangan pengelolaan pendidikan kepada daerah, dan sekolah atau satuan
pendidikan. Kebijakan desentralisasi diwujudkan dalam bentuk: (a) manajemen
berbasis sekolah dan MPMBS, (b) sistem bantuan model block grant, dan (c) pengembangan kurikulum KBK, yang kemudian
berkembang menjadi KTSP.
Masing-masing model di
atas mungkin memiliki nilai plus dan minus. Namun demikian, berdasarkan kajian
model ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu (1) model Bank
Dunia, dan (2) model Unesco.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) mutu
merupakan hasil kerja keras. Mutu mempersyaratkan komitmen pada keunggulan,
dedikasi pada kepemimpinan dan keinginan untuk berubah, (2) sekolah berada pada
garda paling terdepan dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus
menjadi bagian utama dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan, (3) dalam rangka mewujudkan MMT di sekolah (pendidikan dasar
dan menengah, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya mutu
di sekolah. Sedangkan untuk mewujudkan budaya mutu di sekolah, di samping peran
Kepala Sekolah yang sangat menentukan tentunya adalah tanggung semua warga
sekolah dan peran stake holder serta
pemerintah sebagai supervisor, kesemuanya komponen tersebut yang secara
sinergis menjadi instrumen keberhasilan MMT, (4) ada empat hal prinsip
pengelolaan kualitas total, yaitu: (a) perhatian harus ditetankan kepada proses
dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (b) kualitas/mutu harus
ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (c) prestasi harus diperoleh melalui
pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, dan (d) sekolah harus
menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief
bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional, dan (5) MMT adalah
instrumen yang efektif untuk meningkatkan SDM agar dapat bersaing di era
global.
Saran
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1)
keberhasilan penerapan MMT perlu peran serta semua komponen sekolah dan stake holder yang peduli pendidikan
untuk membangun kekuatan yang sinergis dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan, (2) perlu dicari model peningkatan mutu pendidikan yang sesuai
dengan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang bisa diterapkan di semua
jenjang pendidikan mulai dari TK sampai PT, (3) di sekolah perlu diciptakan
budaya mutu, karena dengan budaya mutu semua warga sekolah mempunyai misi yang
sama dalam menciptakan mutu pendidikan, dan (4) untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di sekolah, diperlukan kepala sekolah dan guru yang profesional
untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar