Jumat, 05 Januari 2018

MANAJEMEN KUALITAS SEKOLAH TERINTEGRASI



MANAJEMEN KUALITAS SEKOLAH TERINTEGRASI:
SOLUSI MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN
DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

Hari Karyono
(today.karyono@gmail.com)


Pendahuluan
Salah satu permasalahan pendidikan yang sampai saat ini menjadi masalah yang aktual adalah masalah mutu pendidikan. Masalah mutu pendidikan menjadi hal yang sangat urgen karena adanya kebutuhan untuk menghadapi  tantangan persaingan global. Sementara, kemampuan bersaing tersebut  sangat ditentukan oleh pendidikan yang bermutu.
Kemampuan bersaing menjadi instrumen yang sangat strategis, manakalah bangsa Indonesia dihadapkan oleh fenomena regional dan internasional yang menuntut adalah pengembangan SDM yang bermutu dan memiliki daya saing yang kuat. Sebagaimana kita ketahui, beberapa bulan lagi Indonesia dan negara-negara ASEAN akan mulai membuka pasar bebas regional antar negara-negara ASEAN. ASEAN Economic Community (AEC) atau yang disebut dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015 nanti. Program ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan stabilitas perekonomian masyarakat di Negara Asean. Tujuan AEC tertuang dalam 5 bagian yaitu untuk mewujudkan adanya aliran bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.
Dua sektor yang menjadi prioritas dalam MEA adalah sektor industri dan jasa. Terdapat tujuh sektor barang industri yang terdiri dari atas produk pertanian, perikanan, elektronik, tekstil, perkebunan kaet, otomotif dan kayu. Sedangkan untuk sektor jasa terdapat lima sektor yaitu transportasi udara, pariwisata, jasa logistik, pelayanan kesehatan, dan e-commerce. Kelima sektor tersebut pada tahun 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara. Perdagangan jasa mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional dan buruh manufaktur. Untuk profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai beroperasi bebas 2015, yaitu perawat, dokter umum, dokter gigi, akuntan, dan insinyur. Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN. AEC diharapkan dapat meningkatkan daya saing masyarakat Asia Tenggara melalui pembangunan pasar regional dan berbasis produksi tunggal.  
Menghadapi daya saing tersebut di atas, maka mau tidak mau Indonesia akan harus mempunyai agenda bagaimana meningkatkan kualitas SDM agar menjadi SDM yang kompetitif.
Disisi lain, beberapa indikasi menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan kualitasnya. Salah satu indikasi tersebut adalah pada hasil survey Program for International Student Assesment (PISA), Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara soal pendidikan. Sementara itu, melihat profil SDM Indonesia per Februari 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebanyak 55,3 juta orang (46,80%) dan Sekolah Menengah Pertama sebanyak 21,1 juta (17,82%). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12,0 juta orang, mencakup 3,1 juta orang (2,65%) berpendidikan Diploma dan sebanyak 8,8 juta orang (7,49%) berpendidikan sarjana.  
Mengkaji profil SDM di Indonesia sebagaimana digambarkan sepintas kilas tersebut di atas serta memperhatikan dinamika tuntutan kualitas di tingkat regional dan internasional yang berkembang pada dasa warsa terakhir ini, maka kebutuhan untuk meningkatkan kualitas SDM adalah suatu upaya yang cukup rasional. Sedangkan kualitas SDM dapat tercapai apabila pendidikan juga bermutu.
Mutu yang dimaksud bukan hanya dapat memenuhi standar nasional, melainkan juga untuk memenuhi standar internasional agar sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain, selain mampu menjadi “tuan” di negara sendiri (Jalal & Supriadi, 2001). 
Gerakan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) dalam bidang pendidikan masih tergolong baru. Hanya sedikit literatur yang memuat referensi tentang hal ini sebelum 1980-an. Beberapa upaya reorganisasi terhadap praktek kerja dengan konsep Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) telah dilaksanakan oleh beberapa universitas di Amerika Serikat dan beberapa pendidikan tinggi lainnya di Inggris. Inisiatif untuk menerapkan metode tersebut berkembang lebih dahulu di Amerika Serikat baru kemudian di Inggris, namun baru di awal 1990-an, kedua negara tersebut benar-benar dilanda gelombang metode tersebut. Demikian pula di Indonesia, penerapan MMT telah diterapkan dengan berbagai pendekatan.
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT) di bidang pendidikan merupakan konsep yang relatif baru diperkenalkan dalam meningkatkan mutu sekolah. Paradigma MMT beranggapan bahwa upaya peningkatan mutu secara total dapat diterapkan di segala bidang termasuk di bidang pendidikan. MMT sebagai suatu konsep memasukkan rencana atau perencanaan, pelaksanaan, koreksi, dan tindakan atas kekeliruan atau penyimpangan. Penerapan MMT dalam pendidikan sangat relevan dengan model SBM yang menghendaki perubahan budaya, pola pikir dan tindakan yang dinamis dari setiap pelaku sistem pendidikan di setiap unsur kelembagaan, mulai dari pembina, pengelola, pelaksana, dan orang tua atau komite sekolah.
MMT sebenarnya sudah cukup lama diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia. Berbagai pendekatan MMT yang telah diimplementasikan di sekolah. Misalnya seperti penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), penerapan RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) dan RSI (Sekolah Bertaraf Internasional), dsbnya. Tetapi dalam implementasinya masih belum memperoleh hasil yang optimal.  Guna memperoleh block grant untuk peningkatan mutu, maka sekolah tersebut umumnya memaksakan diri untuk mengimplementasikan program pembelajaran sesuai RSBI tersebut, meskipun terkesan asal jalan (Jaedun, 2009).


Konsep Mutu
Mutu memiliki pengertian yang bervariasi. Menurut Sallis (2012) mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Tenner & DeToro (1992) mengungkapkkan konsep mutu sebagai (1) konsep konvensional, menunjukkan bahwa mutu merupakan sesuatu yang nampak baik, dibuat dengan baik dan bertahan lama; sesuatu yang pertama atau terbaik, dan (2) konsep strategis, menunjukkan bahwa mutu memenuhi kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). 
Sementara itu, Sallis (1993) mengemukakan bahwa konsep mutu sebagai (1) konsep absolut menunjukkan bahwa mutu serupa dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran; sesuatu yang ideal dan tidak dapat ditawar, yakni standard, sesuatu yang masih mungkin tercapai tetapi tidak mungkin dapat diungguli oleh yang lain; sesuatu yang sempurna, langka dan mahal harganya, dan (2) konsep relatif menunjukkan bahwa mutu (a) memiliki sifat-sifat yang dikehendaki sesuai dengan spesifikasinya (guna dan fungsinya), dan (b) memenuhi tuntutan pelanggan.
Sedangkan mutu dalam konteks ‘hasil pendidikan’ mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah setiap akhir semester, akhir tahun, dua tahun atau lima tahun bahkan sepuluh tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan dapat berupa hasil test kemampuan akademis (student achievement, misalnya ulangan umum, EBTA atau EBTANAS).
Konsep tentang mutu pendidikan dengan demikian diartikan secara berbeda-beda, tergantung pada situasi, kondisi dan sudut pandang. Pada awal kemerdekaan dahulu, adanya kesempatan satuan pendidikan bagi kebanyakan warga sudah dianggap sesuatu yang bermutu, karena sebelumnya kesempatan itu tidak ada atau sangat terbatas. Sekarang ini, sesuai dengan perkembangan budaya dan teknologi, pendidikan atau pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan menenal dan memanfaatkan teknologi informasi, dianggap kurang bermutu.
Menurut Miarso (2008) ditinjau dari sudut pandang proses pendidikan, yang dimaksud dengan kualitas memiliki pengertian sesuai dengan makna yang terkandung dalam siklus proses pendidikan tersebut. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa kata kunci pengertian kualitas, yaitu sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan terakhir (fitness to latest requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements).   

Manajemen Mutu Terpadu dalam Bidang Pendidikan
Syamsudin (1999) mengemukakan bahwa manajemen mutu mengandung empat hal pokok, yaitu (a) school review, (b) benchmarking, (c) quality assurance, dan (d) quality control.
            Dalam dunia bisnis, sebagai sebuah konsep dan filosofi manajemen, Manajemen Mutu Terpadu (MMT) sudah diterima sebagai sistem manajemen kualitas kelas dunia. Hal tersebut membawa perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai organisasi. Aplikasi MMT berpijak pada empat prinsip utama, yaitu (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang, (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus-menerus (Danim, 2002).
Mengadopsi pengalaman di dunia bisnis, hasil riset membuktikan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh keterpaduan faktor internal dan eksternal (Hunger & Wheelen, 1993). Berdasarkan pendapat ini, pengkajian mengenai kinerja setiap model kelembagaan pendidikan tenaga kependidikan (PTK) dan prakarsa pengembangannya secara terpadu meniscayakan analisis menyeluruh terhadap situasi internal dan eksternalnya, yang dalam terminologi pengelolaan strategik disebut analisis SWOT.
Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan jika tidak didukung dengan tersedianya sumber – sumber untuk mewujudkan kualitas proses dan hasil yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat berbagai sumber kualitas yang dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal. Menurut Nawawi (2005), beberapa di antara sumber–sumber kualitas tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap Kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini tidak mungkin diciptakan dan dikembangkan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen yang berorentasi pada kualitas produk dan pelayanan umum.
2.    Sistem Informasi Manajemen.
Sumber ini sangat penting karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung pada ketersediaan informasi dan data yang akurat, cukup/lengkap dan terjamin kekiniannya sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas pokok organiasi.
3.    Sumberdaya Manusia yang Potensial.
SDM di lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif dalam arti dapat dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM juga merupakan potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) untuk mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas pokok sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yang masih bersifat potensial dan dapat dikembangkan.
4.    Keterlibatan semua Fungsi.
Semua fungsi dalam organisasi sebagai sumber kualitas, sama pentingnya satu dengan yang lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi harus dilibatkan secara maksimal, sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya.
5.    Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber–sumber kualitas yang ada bersifat sangat mendasar, karena tergantung pada kondisi pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon untuk dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan pada individu kepala sekolah sebagai sumber kualitas, karena sikap dan perilaku individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan kata lain sumber kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yang berkesinambungan dalam merealisasikan TQM.


Implementasi MMT: Solusi Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah

Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan SDM itu sendiri. Dengan proses yang terintegrasi (terpadu) akan dapat menunjang keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Pramoetadi (1991) ada dua faktor utama yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan, yaitu penciptakan iklim akademik dan proses pembelajaran. Tidak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah peran Kepala Sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu lulusan banyak ditenukan oleh kapasitas kepalanya, disamping adanya guru-guru yang kompeten di skolah itu (Gibson dalam Danim, 2002).
Di sekolah, Kepala Sekolah mempunyai peran yang sangat menentukan dalam capaian mutu sekolah. Dikemukakan oleh Danim (2003) bahwa faktor kunci kepala sekolah memainkan peranan yang sangat penting pada keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Sebagai manajer pendidikan yang profesional, kepala sekolah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap sukses atau tidaknya sekolah yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Keller (dalam Danim, 2003) sebagai berikut “the key to the educational cookie is the principal. The principal is the motivational yeast: how high the students and the teachers rise to their challenge is the principal’s responsibility. If some of the educational ingredients in our recipe are missing, it’s the responsibility of the principal to compensate by invention or inovation or substitution or, if nothing else, by raising hell with the people who stock his pantry. Menurut Fattah (2013) konsep sekolah yang efektif menekankan pentingnya pemimpin yang tangguh dalam mengelola sekolah.
Masalah yang muncul di lembaga pendidikan kita saat ini adalah pengadaan tenaga administrator pendidikan yang tampaknya masih didasarkan atas proses pembiakan (embreeding process), belum didasarkan atas pendekatan karir administrator (Sutisna, 1985; Beeby, 1981).
Peran pemimpin dalam mengembangkan budaya mutu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
-       Memiliki visi mutu terpadu bagi institusi,
-       Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu,
-       Mengkomunikasikan pesan mutu,
-       Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktek institusi,
-       engarahkan perkembangan karyawan,
-       Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul tanpa bukti-bukti yang nyata. Kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan institusi dan bukan kesalahan staf,
-       Memimpin inovasi dalam institusi,
-       Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas telah mendefinisikan tanggungjawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat,
-       Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik yang bersifat organisasional maupun kultural,
-       Membangun tim yang efekif, dan
-       Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi dan mengevaluasi kesuksesan.
Sekolah bermutu terpadu merupakan sekolah yang bekerja bersama kostumer dan pemasoknya untuk memastikan siswa-siswanya dipersiapkan secara lebih baik untuk memenuhi tantangan bisnis dan akademik masa depan. Menurut Arcaro (2005) dalam sekolah bermutu terpadu terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
-       Setiap proses pendidikan dapat diperbaiki,
-       Setiap perbaikan, besar atau kecil, berharga,
-       Mutu terdiri atas langkah-langkah kecil menuju perbaikan dan setiap upaya diakui nilainya,
-       Setiap orang bertanggung jawab untuk menjaga dan menyelesaikan masalah begitu masalah tersebut muncul, dan
-       Setiap orang diharapkan memberikan sumbangan untuk proses perbaikan.
Sementara itu dalam prakteknya, dikemukakan oleh Fattah (2013) bahwa penyebab utama kegagalan MMT yaitu pengelolaan (kepala sekolah dan guru), kurang fokus terhadap kebutuhan siswa. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan umum bahwa guru dalam mengajar belum berorientasi kepada siswa. Demikian pula program-progran yang disiapkan belum memungkinkan bagi siswa melakukan pilihan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing murid (belum fokus pada customer).  
Oleh karena itu, dalam implementasi MMT di sekolah, fokus perhatian kita sebaiknya diawali dari kepala sekolah dan guru. Dengan kata lain, peningkatan komponen-komponen sistem pendidikan harus dimulai dari bagaimana meningkatkan kualitas kepala sekolah dan guru. Miarso (2008) mengemukakan bahwa peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
Diskusi tentang MMT dalam bidang pendidikan, sama dengan kualitas pendidikan dalam suatu sistem pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada kualitas komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung sehingga membuahkan hasil. Secara umum dapat dikatakan kualitas pendidikan adalah kesesuaian dengan standar yang ditentukan.
Kajian tentang peningkatan mutu pendidikan berdasarkan referensi ada beberapa model yang dapat dijadikan rujukan, yaitu (1) model Bank Dunia, pendekatan ini berasumsi bahwa aspek proses merupakan  kotak hitam (balck-out) yang tidak teridentifikasi, sehingga mutu output diasumsikan sebagai fungsi langsung dan linier dari kualitas input, (2) model Orde Baru, cenderung patuh dan mengikuti model Bank Dunia, yaitu melalui pendekatan fungsi produksi, (3) model Unesco, bahwa hasil/output pendidikan harus memenuhi empat pilar, yaitu: (a) learnng to do, (b) learning to know, (3) learning to be, dan (d) learning to live together, dan (4) model Reformasi, kebijakan demokratisasi pendidikan, yang diimplementasikan melalui desentralisasi kewenangan pengelolaan pendidikan kepada daerah, dan sekolah atau satuan pendidikan. Kebijakan desentralisasi diwujudkan dalam bentuk: (a) manajemen berbasis sekolah dan MPMBS, (b) sistem bantuan model block grant, dan (c) pengembangan kurikulum KBK, yang kemudian berkembang menjadi KTSP.
Masing-masing model di atas mungkin memiliki nilai plus dan minus. Namun demikian, berdasarkan kajian model ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu (1) model Bank Dunia, dan (2) model Unesco.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) mutu merupakan hasil kerja keras. Mutu mempersyaratkan komitmen pada keunggulan, dedikasi pada kepemimpinan dan keinginan untuk berubah, (2) sekolah berada pada garda paling terdepan dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi bagian utama dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, (3) dalam rangka mewujudkan MMT di sekolah (pendidikan dasar dan menengah, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya mutu di sekolah. Sedangkan untuk mewujudkan budaya mutu di sekolah, di samping peran Kepala Sekolah yang sangat menentukan tentunya adalah tanggung semua warga sekolah dan peran stake holder serta pemerintah sebagai supervisor, kesemuanya komponen tersebut yang secara sinergis menjadi instrumen keberhasilan MMT, (4) ada empat hal prinsip pengelolaan kualitas total, yaitu: (a) perhatian harus ditetankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (b) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (c) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, dan (d) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional, dan (5) MMT adalah instrumen yang efektif untuk meningkatkan SDM agar dapat bersaing di era global.

Saran
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) keberhasilan penerapan MMT perlu peran serta semua komponen sekolah dan stake holder yang peduli pendidikan untuk membangun kekuatan yang sinergis dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, (2) perlu dicari model peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan mulai dari TK sampai PT, (3) di sekolah perlu diciptakan budaya mutu, karena dengan budaya mutu semua warga sekolah mempunyai misi yang sama dalam menciptakan mutu pendidikan, dan (4) untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, diperlukan kepala sekolah dan guru yang profesional untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...