Kamis, 18 Januari 2018

MENINGKATKAN KESETIAAN TERHADAP NKRI



Meningkatkan Kesetiaan terhadap NKRI
melalui Integrasi Pendidikan Multikultural
 (Kasus Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah)

Hari Karyono*)



Abstrat: the reformation era and the local autonomous discourses as  well as many proposals of the territorial expansion give the impact toward the conflict among communities and ethnic in this Indonesia territory which is multiethnic, religion and culture. This problem becomes a concern of Indonesian nation nowadays. A small problem is able to develop to be an inter group, inter territorial even inter ethnical conflict. This phenomenon is clearly threatening the unity of Republic on Indonesia. If this problem is not paid attention, it will result in disintegrated nation and will descrease the loyalty towards the unity of Republic Indonesia. Beside that, this problem will become not proper teaching for young generation. The history education is an effective media to educate the loyalty of young generation toward the unity of Republic of Indonesia through education institution. In other this media to be effective, the role of teacher is needed as the tutor of history education to provide the pleasant teaching and is able to integrate the loyalty messages  toward the unity of Republic of Indonesia.
 
 



















              Kata-kata kunci:  kesetiaan terhadap NKRI, integrasi pendidikan
                                             multikultural, mata pelajaran sejarah


            Peran pendidikan mesti dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya. Brubacher (dalam Jalal & Supriadi, 2001) memulai pembahasannnya tentang hubungan pendidikan dan masyarakat yang mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara. Oleh karena pendidikan  itu  terjadi  di  masyarakat,  dengan  sumber  daya  masyarakat, dan untuk
Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah dosen Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
 
--------------------

masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melaku-kan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Di samping itu, acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.
           
Merebaknya Konflik Sosial dan Munculnya Gejala Disintegrasi Bangsa         
Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tetap eksis, namun kenyataan di lapangan masih terdapat ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan NKRI.
Konflik horisontal di beberapa wilayah Indonesia seperti Maluku dan Poso secara signifikan telah dapat diredam. Pihak-pihak yang terlibat konflik, baik secara sukarela maupun difasilitasi oleh pemerintah telah beritikad untuk menciptakan perdamaian di wilayah mereka. Meskipun demikian, pada beberapa daerah terdapat potensi dan aksi separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Potensi dan aksi ini perlu ditangani secara baik, agar terjaga keutuhan yang makin kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP No. 7 Tahun 2005).
Pada masa silam, kekuasaan, kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kendali lembaga kepresidenan telah menyebabkan tidak berkembangnya fungsi berbagai kelembagaan, terutama kelembagaan dalam masyarakat, dan mendo-rong terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan. Mekanisme hubungan pusat dan daerah pun cenderung menganut sentralisasi kekuasaan yang menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.
Disamping itu,  terdapat permasalahan mengenai kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terkesan masih terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional yang dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Munculnya gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya berbagai konflik sosial di berbagai daerah, dapat menjadi gangguan bagi keutuhan NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sementara itu, di Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu dikoreksi dengan cepat dan tepat.
Meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkelai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, misalnya, dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Tragedi kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis diakhir tahun 1990-an, misalnya, kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah, merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya.
Fakta paling mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa agama di Ambon. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus.
Adanya potensi separatisme di atas, membuktikan masih lemahnya pemaham-an konsepsi dan pengamalan prinsip mutlikulturalisme di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Masih rentannya pemahaman multikulturalisme dan pengamalannya sangat mengkhawatirkan, mengingat mudah-nya/perbedaan etnis, budaya dan ideologi digunakan sebagai isu untuk memisahkan diri dari NKRI (PP No. 7 Tahun 2005).
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim orde baru, mendorong terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, dan peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik. Hal ini tercermin, antara lain, dengan terselengga-ranya Sidang Istimewa MPR 1998, Pemilu 1999 yang diikuti oleh banyak partai politik, pers yang bebas, serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, dalam kenyataannya perkembangannya faham demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.

Arti Pendidikan Mutikultural
Menurut Tilaar (2000) multikulturalisme adalah suatu pandangan yang multi-etnis di dalam kehidupan modern. Pandangan ini mengakui adanya berjenis-jenis budaya, oleh sebab itu sifatnya antirasisme, kesamaan budaya, partisipasi, dialog, semua budaya bersifat hibrida dan berdiferensiasi. Tidak ada budaya yang murni, semuanya bersifat hibrida. 
Sedangkan pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang.
Pendidikan multikultural (multicultural education) adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga
persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Menurut Mujiran (2007) pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan kultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang berbeda budaya (Hilliard, 1992 dalam Mujiran, 2007). Secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama. 
Dalam konteks yang luas, katanya, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, maupun kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. 
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Asy’arie (2004) Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Sunan Kalijaga mengemukakan bahwa dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

Munculnya Pendidikan Multikultural
Adanya ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap realitas kehidupan itulah yang menjadi kajian utama pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu.
Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial (Buchori, 2007).
Fenomena divergen-disintegratif di Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan otonomi daerah yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Jika kita menengok ke belakang sejarah bangsa Indonesia, tergambar realitas konflik sosial yang sering terjadi mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Menurut Mujiran (2007) pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Akibatnya bara dendam berlangsung turun-temurun dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal itu pulalah yang mewarnai bangsa ini pada permulaan reformasi ketika konflik sosial bernuansa etnis menggejala di mana-mana.

Tujuan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural pada dasarnya adalah sebuah upaya menerjemahkan pandangan dunia pluralistik dan multikultural ke dalam praktek dan teori pendidikan. Menurut Baidhawy, kurikulum multikultural, tidak sebagaimana kurikulum konvensional dan program tradisional, berupaya menyajikan lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah atau fenomena kultural. Merespon kritik bahwa pluralisme dalam pendidikan dapat memiskinkan kurikulum yang ada, para penganjur multikulturalis berpendapat bahwa pendidikan multikultural justru sesungguhnya memperkaya kurikulum yang sudah berjalan. Pengayaan ini dapat dilihat pada bagaimana pendidikan multikultural dapat dikembangkan. Oleh karena itu, titik berat pertama pendidikan multikultural sebenarnya terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusivisme kelompok agama atau budaya yang sempit. (Salas, 1996) Titik berat selanjutnya terletak pada pemahaman nilai-nilai bersama (common values) dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama: kejahatan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dengan kalimat lain, pendidikan multikulturalis tidak sekadar untuk memahami keragaman agama dan budaya, tetapi juga memahami nilai-nilai bersama yang bisa di-sharing sebagai dasar hidup bersama (vivre ensemble).
Tujuan pendidikan multikultural dengan demikian adalah untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleranan (I'intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Untuk itu dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi umat beragama pada zaman modern ini.

Manfaat Pendidikan Multikultural
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Menurut Tilaar (2006) pendidikan multkultural, tidak hanya memberi kesempatan anak didik memahami budaya, suku, agama lain, dan kemudian mampu merajut toleransi, tetapi lebih mendalam lagi, yakni anak didik mampu mengerti disparitas kesenjangan sosial seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan di sekitarnya, dan mampu melakukan aksi-aksi yang nyata.

Peran Mata Pelajaran Sejarah bagi Generasi Muda
            Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini. Adapun tujuan pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Diharapkan dengan melalui pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang.
Mata pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyadari adanya keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini memberikan pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.

Model Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah.
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) pelajar/mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan
menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multicultural,
diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus
mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Fenomena masyarakat yang multi etnis, multi budaya dan multi agama dan kepercayaan di Indonesia di era reformasi dan otoda ini sangat rawan konflik. Konflik antar etnis serta adanya tuntutan sebahagian masyarakat tentang pemekaran wilayah yang berkembang pada akhir-akhir ini mengakibatkan menurunnya kesetiaan terhadap NKRI. Oleh karena itu, solusi yang dianggap paling efektif adalah dengan menerapakan pendidikan multikultural dengan mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang relevan.
Di samping mata pelajaran PKn dan Agama, mata pelajaran lainnya yang dianggap relevan adalah sejarah. Oleh karena sejarah memberikan wacana kepada peserta didik perihal keragaman budaya dan pengalaman serta perjuangan untuk membentuk NKRI.
Lie (2006) mengidentifikasi tantangan mendasar yang dihadapi pendidikan multikultutal, yaitu: pertama,  fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka. Kedua, Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik (Lie, 2001 dan 2003).
Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.
Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
Dalam kaitannya dengan model pendidikan multikultural, Tilaar (2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.
Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.
Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat).
Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.
Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.
Guru harus belajar agar mampu belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para sisiwa yang memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Salah satu tujuan utama multicultural education adalah mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah kunseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai culture memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Yang disebut kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh bangku sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan dalam satu kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan khusus pendidikan (special education needs) setiap individu. Setiap peserta didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial, bangsa, etnis, agama, gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau menjadi anggota dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari tingkat identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar ia terlayani dengan baik di kelasnya.
Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya, memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior. Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500 kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.

Pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:            Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
            Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
            Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan: (1) pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrsme, etnosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu, (2) pendidikan multikultural harus dimulai sejak dini dengan mengenalkan perbedaan budaya, agama, bahasa dan etnis dari seluruh Indonesia, (3) pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina peserta didik agar tidak tercabut dari akar budaya yang miliki sebelumnya, ketika ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi, (4) spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia penddikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan, dan (5) pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam pelajaran sejarah, oleh karena mata pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyadari adanya keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini memberikan pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan sebagai berikut: (1) sekolah harus menanamkan nilai-nilai multikultural untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, (2) nilai-nilai multikultural dapat diintegrasikan dan diterapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Sejarah di sekolah, (3) guru pembina mata pelajaran sejarah dapat mengakomodasikan nilai-nilai multikulural dengan mengintegrasikan dalam pembelajaran di kelas dengan tidak hanya mengajarkan teori saja, tetapi harus mampu menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan, dan (4) untuk melaksanakan pendidikan multikultural, sejumlah pekerjaan rumah harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.

DAFTAR RUJUKAN

Assyaukanie, L. 2006. NKRI Sudah Final (NKRI Final). (Assyaukanie.com: NKRI Sudah Final diakses 28 Maret 2008).

Asy’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. KOMPAS, Jumat, 03 September 2004.

Buchori, M. 2007. Multikulti atawa Pluralismeu tea ?. (On line). [Baraya_Sunda] (Multikulti atawa pluralismeu tea.htm diakses 12 Januari 2007).

Center for Moderate Muslim Indonesia. 2 Maret 2007. Terapkan Pendidikan Multikultural.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Program Pembangunan Nasional & Rencana Strategis Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

el-Ma’hady, M. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah Kajian Awal). Pendidikan Network, diakses tanggal 7 Juni 2008.

Hartiningsih, M. 2004. Membicarakan Pendidikan Multikultural. Jakarta: Kompas.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan: dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Madrasah Aliyah/MA.

Lie, A. 2006. Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. Jakarta: Kompas.

Mulkhan, A.M. 2007. Pendidikan Monokultur versus Multikultural dalam Politik. (email: www.lkkassurabaya.blogspot.com) diakses tnggal 28 Maret 2008.

Muqtafa, M.K. 2004. Paradigma Multikultural. Jakarta: Sinar Harapan.

Peraturan Pemerintah RI tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 dilengkapi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama.

Semiawan, C. 12 September 2003. Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM Melalui Pendidikan Multikultural. (info@ham.go.id, diakses tanggal 7 Juni 2008).

Setyosari, P. 1995. Perspektif Pendidikan Multikultural-Global. Ilm Pendidikan, Nomor 2 Tahun 22, hlm. 139-147.

Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

*)  Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah alumni Program Studi Manajemen Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang (UM), saat ini sebagai dosen Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...