Meningkatkan Kesetiaan terhadap NKRI
melalui Integrasi Pendidikan Multikultural
(Kasus Mata Pelajaran
Sejarah di Sekolah)
Hari
Karyono*)
|
Kata-kata kunci: kesetiaan terhadap NKRI, integrasi
pendidikan
multikultural, mata pelajaran sejarah
Peran pendidikan
mesti dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang
dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga dalam konteks
makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat
bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya. Brubacher (dalam Jalal
& Supriadi, 2001) memulai pembahasannnya tentang hubungan pendidikan dan
masyarakat yang mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan
ekonomi, politik dan negara. Oleh karena pendidikan itu terjadi
di masyarakat, dengan sumber
daya masyarakat, dan untuk
|
masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan
melaku-kan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan
kenegaraan secara simultan. Di samping itu, acuan pemikiran dalam penataan dan
pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai
pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.
Merebaknya Konflik Sosial dan Munculnya Gejala Disintegrasi Bangsa
Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta
segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tetap eksis, namun kenyataan di
lapangan masih terdapat ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan NKRI.
Konflik horisontal di beberapa wilayah Indonesia seperti
Maluku dan Poso secara signifikan telah dapat diredam. Pihak-pihak yang
terlibat konflik, baik secara sukarela maupun difasilitasi oleh pemerintah
telah beritikad untuk menciptakan perdamaian di wilayah mereka. Meskipun
demikian, pada beberapa daerah terdapat potensi dan aksi separatisme yang ingin
memisahkan diri dari NKRI. Potensi dan aksi ini perlu ditangani secara baik,
agar terjaga keutuhan yang makin kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(PP No. 7 Tahun 2005).
Pada masa silam, kekuasaan, kekuasaan eksekutif yang
terpusat dan tertutup di bawah kendali lembaga kepresidenan telah menyebabkan
tidak berkembangnya fungsi berbagai kelembagaan, terutama kelembagaan dalam masyarakat,
dan mendo-rong terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan. Mekanisme
hubungan pusat dan daerah pun cenderung menganut sentralisasi kekuasaan yang
menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.
Disamping itu, terdapat
permasalahan mengenai kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang
belum terwujud, kebijakan yang terkesan masih terpusat, otoriter, serta
tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh
gejolak politik internasional yang dapat mendorong terjadinya disintegrasi
bangsa.
Munculnya gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya
berbagai konflik sosial di berbagai daerah, dapat menjadi gangguan bagi
keutuhan NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sementara itu, di Daerah
Istimewa Aceh dan Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan ketidakpuasan
terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu dikoreksi dengan cepat dan
tepat.
Meluasnya
disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat
negeri ini terbengkelai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, misalnya,
dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Tragedi kekerasan
antarkelompok yang meledak secara sporadis diakhir tahun 1990-an, misalnya,
kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang
terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah,
merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial
bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya.
Fakta paling
mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik
bernuansa agama di Ambon. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi
kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran
kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai
kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus.
Adanya potensi
separatisme di atas, membuktikan masih lemahnya pemaham-an konsepsi dan
pengamalan prinsip mutlikulturalisme di tengah-tengah masyarakat dewasa ini.
Masih rentannya pemahaman multikulturalisme dan pengamalannya sangat
mengkhawatirkan, mengingat mudah-nya/perbedaan etnis, budaya dan ideologi
digunakan sebagai isu untuk memisahkan diri dari NKRI (PP No. 7 Tahun 2005).
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim orde baru,
mendorong terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan
kedaulatan rakyat, dan peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan
dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik. Hal ini tercermin, antara
lain, dengan terselengga-ranya Sidang Istimewa MPR 1998, Pemilu 1999 yang
diikuti oleh banyak partai politik, pers yang bebas, serta Sidang Umum MPR
1999. Namun, dalam kenyataannya perkembangannya faham demokrasi belum terarah
secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.
Arti Pendidikan
Mutikultural
Menurut Tilaar (2000) multikulturalisme adalah suatu
pandangan yang multi-etnis di dalam kehidupan modern. Pandangan ini mengakui
adanya berjenis-jenis budaya, oleh sebab itu sifatnya antirasisme, kesamaan
budaya, partisipasi, dialog, semua budaya bersifat hibrida dan berdiferensiasi.
Tidak ada budaya yang murni, semuanya bersifat hibrida.
Sedangkan pendidikan multikultural adalah suatu sikap
dalam memandang keunikan manusia tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin,
seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang.
Pendidikan multikultural (multicultural education)
adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga
persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga
persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Menurut Mujiran (2007) pendidikan multikultural
merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
kultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
orang-orang berbeda budaya (Hilliard, 1992 dalam Mujiran, 2007). Secara luas,
pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Dalam konteks yang luas, katanya, pendidikan
multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan
menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik,
maupun kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk
mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara
hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan
adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Asy’arie (2004) Guru Besar dan Direktur Pascasarjana
Sunan Kalijaga mengemukakan bahwa dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan
muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat
strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik
yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat
dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke
depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas
konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan, sehingga
mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara
kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang
kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali
bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk
melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih
terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan
multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu
ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Munculnya Pendidikan Multikultural
Adanya ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap
realitas kehidupan itulah yang menjadi kajian utama pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang
semakin kompleks, di mana egosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya
memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada
masing-masing individu.
Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural
biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat
seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda
secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini sering disebut
masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat
homogen—masyarakat yang memiliki
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial (Buchori, 2007).
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial (Buchori, 2007).
Fenomena divergen-disintegratif di Indonesia berjalan
seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan otonomi daerah
yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 mengenai
Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah.
Jika kita menengok ke belakang sejarah bangsa Indonesia,
tergambar realitas konflik sosial yang sering terjadi mengambil bentuk
kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Menurut Mujiran
(2007) pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah
membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Akibatnya bara dendam berlangsung
turun-temurun dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal itu pulalah yang
mewarnai bangsa ini pada permulaan reformasi ketika konflik sosial bernuansa etnis
menggejala di mana-mana.
Tujuan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural pada dasarnya adalah sebuah
upaya menerjemahkan pandangan dunia pluralistik dan multikultural ke dalam
praktek dan teori pendidikan. Menurut Baidhawy, kurikulum multikultural, tidak
sebagaimana kurikulum konvensional dan program tradisional, berupaya menyajikan
lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah atau fenomena
kultural. Merespon kritik bahwa pluralisme dalam pendidikan dapat memiskinkan
kurikulum yang ada, para penganjur multikulturalis berpendapat bahwa pendidikan
multikultural justru sesungguhnya memperkaya kurikulum yang sudah berjalan. Pengayaan
ini dapat dilihat pada bagaimana pendidikan multikultural dapat dikembangkan.
Oleh karena itu, titik berat pertama pendidikan multikultural sebenarnya
terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan
budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada
primordialisme dan eksklusivisme kelompok agama atau budaya yang sempit.
(Salas, 1996) Titik berat selanjutnya terletak pada pemahaman nilai-nilai
bersama (common values) dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah
bersama: kejahatan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dengan kalimat lain, pendidikan
multikulturalis tidak sekadar untuk memahami keragaman agama dan budaya, tetapi
juga memahami nilai-nilai bersama yang bisa di-sharing sebagai dasar
hidup bersama (vivre ensemble).
Tujuan pendidikan multikultural dengan demikian adalah
untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan
budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda
dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan
ketidaktoleranan (I'intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara
atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan
hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Untuk itu dalam upaya membangun hubungan sinergi antara
multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama,
penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini
dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif
terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk
mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua,
mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama
memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan
peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur
Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler.
Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu
merupakan tugas paling menantang yang dihadapi umat beragama pada zaman modern
ini.
Manfaat
Pendidikan Multikultural
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai
keberagaman. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural
diharapkan
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai
golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat,
kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan
menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara
masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan
multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal
Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Menurut Tilaar (2006) pendidikan multkultural, tidak
hanya memberi kesempatan anak didik memahami budaya, suku, agama lain, dan
kemudian mampu merajut toleransi, tetapi lebih mendalam lagi, yakni anak didik
mampu mengerti disparitas kesenjangan sosial seperti ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan di sekitarnya, dan mampu melakukan aksi-aksi yang nyata.
Peran Mata Pelajaran Sejarah bagi Generasi Muda
Sejarah adalah mata
pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan
dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini.
Adapun tujuan pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh
kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Diharapkan dengan melalui
pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara
kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan
untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat
serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri
bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga
bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada
masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa
lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk
menghadapi masa yang akan datang.
Mata pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa
untuk menyadari adanya keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup
pada masing-masing masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini
memberikan pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.
Model Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah.
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) pelajar/mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan
menghargai keberagaman.
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah.
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) pelajar/mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan
menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis
multicultural,
diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus
mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus
mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Fenomena masyarakat yang multi etnis, multi budaya dan
multi agama dan kepercayaan di Indonesia di era reformasi dan otoda ini sangat
rawan konflik. Konflik antar etnis serta adanya tuntutan sebahagian masyarakat
tentang pemekaran wilayah yang berkembang pada akhir-akhir ini mengakibatkan
menurunnya kesetiaan terhadap NKRI. Oleh karena itu, solusi yang dianggap
paling efektif adalah dengan menerapakan pendidikan multikultural dengan
mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang relevan.
Di samping mata pelajaran PKn dan Agama, mata pelajaran
lainnya yang dianggap relevan adalah sejarah. Oleh karena sejarah memberikan
wacana kepada peserta didik perihal keragaman budaya dan pengalaman serta
perjuangan untuk membentuk NKRI.
Lie (2006) mengidentifikasi tantangan mendasar yang
dihadapi pendidikan multikultutal, yaitu: pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia
pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa
tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama,
dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003
membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama.
Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan
suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman
segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak
untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka. Kedua,
Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian
atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa
Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur
lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan
ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta
didik (Lie, 2001 dan 2003).
Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk
oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa
disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis,
agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka
negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya
Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya
seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.
Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan
dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk
mengelola pembelajaran multikulturalisme.
Dalam kaitannya dengan model pendidikan multikultural, Tilaar
(2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada
satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau
komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila
yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.
Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia
Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral,
bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai
diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi
serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi
proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di
kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural
sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum.
Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan
sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat
oleh guru dan peserta didik.
Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses
pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang
multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini
bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan.
Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses
pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan,
penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang
membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat).
Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan,
pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan
menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan
tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu
daerah, di Indonesia, dan di dunia.
Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang
multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi
perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem
solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan proses pembelajaran anak baik
melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.
Guru harus belajar agar mampu
belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative
teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para sisiwa yang
memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat
menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari
temannya. Salah satu tujuan utama multicultural education adalah
mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah
kunseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai culture
memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan.
Yang disebut kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh bangku
sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan dalam satu
kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan khusus
pendidikan (special education needs) setiap individu. Setiap peserta
didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial, bangsa, etnis, agama,
gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau menjadi anggota
dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari tingkat
identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh
terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan
perilakunya agar ia terlayani dengan baik di kelasnya.
Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya, memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior. Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500 kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.
Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya, memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior. Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500 kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.
Pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan
multikultural, yaitu: Pertama, tidak lagi terbatas
pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling)
atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan
yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan
pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan
justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional,
para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial
yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus
menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih
kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan
dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk
melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut
identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih
besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai
kelompok etnik.
Ketiga, karena
pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan
besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga
individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial.
Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir
yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi
komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti
interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan
pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain
masyarakat pendidik.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
(1) pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan
perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrsme, etnosentrisme,
dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth
claim) terus menggejala pada masing-masing individu, (2) pendidikan
multikultural harus dimulai sejak dini dengan mengenalkan perbedaan budaya,
agama, bahasa dan etnis dari seluruh Indonesia, (3) pendidikan multikultural
juga signifikan dalam membina peserta didik agar tidak tercabut dari akar
budaya yang miliki sebelumnya, ketika ia berhadapan dengan realitas
sosial-budaya di era globalisasi, (4) spektrum kultur masyarakat Indonesia yang
amat beragam menjadi tantangan bagi dunia penddikan guna mengolah perbedaan
tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan, dan (5) pendidikan
multikultural dapat diintegrasikan dalam pelajaran sejarah, oleh karena mata
pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyadari adanya
keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup pada masing-masing
masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini memberikan
pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan sebagai
berikut: (1) sekolah harus menanamkan nilai-nilai multikultural untuk kehidupan
berbangsa dan bernegara, (2) nilai-nilai multikultural dapat diintegrasikan dan
diterapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Sejarah di sekolah, (3) guru pembina
mata pelajaran sejarah dapat mengakomodasikan nilai-nilai multikulural dengan
mengintegrasikan dalam pembelajaran di kelas dengan tidak hanya mengajarkan
teori saja, tetapi harus mampu menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam
kehidupan, dan (4) untuk melaksanakan pendidikan multikultural, sejumlah
pekerjaan rumah harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum,
standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan
profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring
dan evaluasi.
DAFTAR RUJUKAN
Assyaukanie, L. 2006. NKRI Sudah Final (NKRI
Final). (Assyaukanie.com: NKRI Sudah Final diakses 28 Maret 2008).
Asy’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan
Konflik Bangsa. KOMPAS, Jumat, 03 September 2004.
Buchori, M. 2007. Multikulti atawa Pluralismeu tea
?. (On line). [Baraya_Sunda] (Multikulti atawa pluralismeu tea.htm diakses
12 Januari 2007).
Center for Moderate Muslim Indonesia. 2 Maret 2007. Terapkan
Pendidikan Multikultural.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Program
Pembangunan Nasional & Rencana Strategis Pendidikan Nasional. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional.
el-Ma’hady, M. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural (Sebuah Kajian Awal). Pendidikan Network, diakses tanggal 7 Juni
2008.
Hartiningsih, M. 2004. Membicarakan Pendidikan
Multikultural. Jakarta: Kompas.
Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi
Pendidikan: dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta:
Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.
Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas
(SMA) Madrasah Aliyah/MA.
Lie, A. 2006. Mengembangkan Model Pendidikan
Multikultural. Jakarta: Kompas.
Mulkhan, A.M. 2007. Pendidikan Monokultur versus
Multikultural dalam Politik. (email: www.lkkassurabaya.blogspot.com) diakses tnggal 28
Maret 2008.
Muqtafa, M.K. 2004. Paradigma Multikultural.
Jakarta: Sinar Harapan.
Peraturan Pemerintah RI tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 dilengkapi Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama.
Semiawan, C. 12 September 2003. Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM Melalui
Pendidikan Multikultural. (info@ham.go.id,
diakses tanggal 7 Juni 2008).
Setyosari, P. 1995. Perspektif Pendidikan
Multikultural-Global. Ilm Pendidikan, Nomor 2 Tahun 22, hlm. 139-147.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan
Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
*) Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah alumni Program
Studi Manajemen Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang (UM), saat
ini sebagai dosen Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana,
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa).