Kamis, 18 Januari 2018

MENINGKATKAN KESETIAAN TERHADAP NKRI



Meningkatkan Kesetiaan terhadap NKRI
melalui Integrasi Pendidikan Multikultural
 (Kasus Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah)

Hari Karyono*)



Abstrat: the reformation era and the local autonomous discourses as  well as many proposals of the territorial expansion give the impact toward the conflict among communities and ethnic in this Indonesia territory which is multiethnic, religion and culture. This problem becomes a concern of Indonesian nation nowadays. A small problem is able to develop to be an inter group, inter territorial even inter ethnical conflict. This phenomenon is clearly threatening the unity of Republic on Indonesia. If this problem is not paid attention, it will result in disintegrated nation and will descrease the loyalty towards the unity of Republic Indonesia. Beside that, this problem will become not proper teaching for young generation. The history education is an effective media to educate the loyalty of young generation toward the unity of Republic of Indonesia through education institution. In other this media to be effective, the role of teacher is needed as the tutor of history education to provide the pleasant teaching and is able to integrate the loyalty messages  toward the unity of Republic of Indonesia.
 
 



















              Kata-kata kunci:  kesetiaan terhadap NKRI, integrasi pendidikan
                                             multikultural, mata pelajaran sejarah


            Peran pendidikan mesti dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya. Brubacher (dalam Jalal & Supriadi, 2001) memulai pembahasannnya tentang hubungan pendidikan dan masyarakat yang mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara. Oleh karena pendidikan  itu  terjadi  di  masyarakat,  dengan  sumber  daya  masyarakat, dan untuk
Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah dosen Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
 
--------------------

masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melaku-kan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Di samping itu, acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.
           
Merebaknya Konflik Sosial dan Munculnya Gejala Disintegrasi Bangsa         
Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tetap eksis, namun kenyataan di lapangan masih terdapat ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan NKRI.
Konflik horisontal di beberapa wilayah Indonesia seperti Maluku dan Poso secara signifikan telah dapat diredam. Pihak-pihak yang terlibat konflik, baik secara sukarela maupun difasilitasi oleh pemerintah telah beritikad untuk menciptakan perdamaian di wilayah mereka. Meskipun demikian, pada beberapa daerah terdapat potensi dan aksi separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Potensi dan aksi ini perlu ditangani secara baik, agar terjaga keutuhan yang makin kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP No. 7 Tahun 2005).
Pada masa silam, kekuasaan, kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kendali lembaga kepresidenan telah menyebabkan tidak berkembangnya fungsi berbagai kelembagaan, terutama kelembagaan dalam masyarakat, dan mendo-rong terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan. Mekanisme hubungan pusat dan daerah pun cenderung menganut sentralisasi kekuasaan yang menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.
Disamping itu,  terdapat permasalahan mengenai kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terkesan masih terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional yang dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Munculnya gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya berbagai konflik sosial di berbagai daerah, dapat menjadi gangguan bagi keutuhan NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sementara itu, di Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu dikoreksi dengan cepat dan tepat.
Meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkelai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, misalnya, dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Tragedi kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis diakhir tahun 1990-an, misalnya, kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah, merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya.
Fakta paling mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa agama di Ambon. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus.
Adanya potensi separatisme di atas, membuktikan masih lemahnya pemaham-an konsepsi dan pengamalan prinsip mutlikulturalisme di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Masih rentannya pemahaman multikulturalisme dan pengamalannya sangat mengkhawatirkan, mengingat mudah-nya/perbedaan etnis, budaya dan ideologi digunakan sebagai isu untuk memisahkan diri dari NKRI (PP No. 7 Tahun 2005).
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim orde baru, mendorong terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, dan peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik. Hal ini tercermin, antara lain, dengan terselengga-ranya Sidang Istimewa MPR 1998, Pemilu 1999 yang diikuti oleh banyak partai politik, pers yang bebas, serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, dalam kenyataannya perkembangannya faham demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.

Arti Pendidikan Mutikultural
Menurut Tilaar (2000) multikulturalisme adalah suatu pandangan yang multi-etnis di dalam kehidupan modern. Pandangan ini mengakui adanya berjenis-jenis budaya, oleh sebab itu sifatnya antirasisme, kesamaan budaya, partisipasi, dialog, semua budaya bersifat hibrida dan berdiferensiasi. Tidak ada budaya yang murni, semuanya bersifat hibrida. 
Sedangkan pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang.
Pendidikan multikultural (multicultural education) adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga
persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Menurut Mujiran (2007) pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan kultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang berbeda budaya (Hilliard, 1992 dalam Mujiran, 2007). Secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama. 
Dalam konteks yang luas, katanya, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, maupun kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. 
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Asy’arie (2004) Guru Besar dan Direktur Pascasarjana Sunan Kalijaga mengemukakan bahwa dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

Munculnya Pendidikan Multikultural
Adanya ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap realitas kehidupan itulah yang menjadi kajian utama pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu.
Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki
identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan
watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk
menyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di
Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa
ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan
dalam kehidupan sosial (Buchori, 2007).
Fenomena divergen-disintegratif di Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan otonomi daerah yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Jika kita menengok ke belakang sejarah bangsa Indonesia, tergambar realitas konflik sosial yang sering terjadi mengambil bentuk kekerasan, sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Menurut Mujiran (2007) pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Akibatnya bara dendam berlangsung turun-temurun dengan intensitas yang semakin tinggi. Hal itu pulalah yang mewarnai bangsa ini pada permulaan reformasi ketika konflik sosial bernuansa etnis menggejala di mana-mana.

Tujuan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural pada dasarnya adalah sebuah upaya menerjemahkan pandangan dunia pluralistik dan multikultural ke dalam praktek dan teori pendidikan. Menurut Baidhawy, kurikulum multikultural, tidak sebagaimana kurikulum konvensional dan program tradisional, berupaya menyajikan lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah atau fenomena kultural. Merespon kritik bahwa pluralisme dalam pendidikan dapat memiskinkan kurikulum yang ada, para penganjur multikulturalis berpendapat bahwa pendidikan multikultural justru sesungguhnya memperkaya kurikulum yang sudah berjalan. Pengayaan ini dapat dilihat pada bagaimana pendidikan multikultural dapat dikembangkan. Oleh karena itu, titik berat pertama pendidikan multikultural sebenarnya terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusivisme kelompok agama atau budaya yang sempit. (Salas, 1996) Titik berat selanjutnya terletak pada pemahaman nilai-nilai bersama (common values) dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama: kejahatan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dengan kalimat lain, pendidikan multikulturalis tidak sekadar untuk memahami keragaman agama dan budaya, tetapi juga memahami nilai-nilai bersama yang bisa di-sharing sebagai dasar hidup bersama (vivre ensemble).
Tujuan pendidikan multikultural dengan demikian adalah untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleranan (I'intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Untuk itu dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi umat beragama pada zaman modern ini.

Manfaat Pendidikan Multikultural
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswa dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Menurut Tilaar (2006) pendidikan multkultural, tidak hanya memberi kesempatan anak didik memahami budaya, suku, agama lain, dan kemudian mampu merajut toleransi, tetapi lebih mendalam lagi, yakni anak didik mampu mengerti disparitas kesenjangan sosial seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan di sekitarnya, dan mampu melakukan aksi-aksi yang nyata.

Peran Mata Pelajaran Sejarah bagi Generasi Muda
            Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini. Adapun tujuan pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Diharapkan dengan melalui pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang.
Mata pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyadari adanya keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini memberikan pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.

Model Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah.
Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) pelajar/mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan
menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multicultural,
diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus
mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Fenomena masyarakat yang multi etnis, multi budaya dan multi agama dan kepercayaan di Indonesia di era reformasi dan otoda ini sangat rawan konflik. Konflik antar etnis serta adanya tuntutan sebahagian masyarakat tentang pemekaran wilayah yang berkembang pada akhir-akhir ini mengakibatkan menurunnya kesetiaan terhadap NKRI. Oleh karena itu, solusi yang dianggap paling efektif adalah dengan menerapakan pendidikan multikultural dengan mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang relevan.
Di samping mata pelajaran PKn dan Agama, mata pelajaran lainnya yang dianggap relevan adalah sejarah. Oleh karena sejarah memberikan wacana kepada peserta didik perihal keragaman budaya dan pengalaman serta perjuangan untuk membentuk NKRI.
Lie (2006) mengidentifikasi tantangan mendasar yang dihadapi pendidikan multikultutal, yaitu: pertama,  fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka. Kedua, Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik (Lie, 2001 dan 2003).
Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.
Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
Dalam kaitannya dengan model pendidikan multikultural, Tilaar (2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.
Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.
Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
Pengetahuan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti keluarga, lingkungan terdekat).
Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.
Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.
Guru harus belajar agar mampu belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para sisiwa yang memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Salah satu tujuan utama multicultural education adalah mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah kunseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai culture memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Yang disebut kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh bangku sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan dalam satu kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan khusus pendidikan (special education needs) setiap individu. Setiap peserta didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial, bangsa, etnis, agama, gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau menjadi anggota dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari tingkat identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar ia terlayani dengan baik di kelasnya.
Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya, memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior. Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500 kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.

Pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:            Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
            Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
            Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan: (1) pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrsme, etnosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu, (2) pendidikan multikultural harus dimulai sejak dini dengan mengenalkan perbedaan budaya, agama, bahasa dan etnis dari seluruh Indonesia, (3) pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina peserta didik agar tidak tercabut dari akar budaya yang miliki sebelumnya, ketika ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi, (4) spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia penddikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan, dan (5) pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam pelajaran sejarah, oleh karena mata pelajaran sejarah memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyadari adanya keragaman sosial budaya dan keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat. Sikap dan pola pikir yang menerima keragaman ini memberikan pemahaman pentingnya eksistensi NKRI.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan sebagai berikut: (1) sekolah harus menanamkan nilai-nilai multikultural untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, (2) nilai-nilai multikultural dapat diintegrasikan dan diterapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Sejarah di sekolah, (3) guru pembina mata pelajaran sejarah dapat mengakomodasikan nilai-nilai multikulural dengan mengintegrasikan dalam pembelajaran di kelas dengan tidak hanya mengajarkan teori saja, tetapi harus mampu menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan, dan (4) untuk melaksanakan pendidikan multikultural, sejumlah pekerjaan rumah harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.

DAFTAR RUJUKAN

Assyaukanie, L. 2006. NKRI Sudah Final (NKRI Final). (Assyaukanie.com: NKRI Sudah Final diakses 28 Maret 2008).

Asy’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. KOMPAS, Jumat, 03 September 2004.

Buchori, M. 2007. Multikulti atawa Pluralismeu tea ?. (On line). [Baraya_Sunda] (Multikulti atawa pluralismeu tea.htm diakses 12 Januari 2007).

Center for Moderate Muslim Indonesia. 2 Maret 2007. Terapkan Pendidikan Multikultural.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Program Pembangunan Nasional & Rencana Strategis Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

el-Ma’hady, M. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah Kajian Awal). Pendidikan Network, diakses tanggal 7 Juni 2008.

Hartiningsih, M. 2004. Membicarakan Pendidikan Multikultural. Jakarta: Kompas.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan: dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Madrasah Aliyah/MA.

Lie, A. 2006. Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. Jakarta: Kompas.

Mulkhan, A.M. 2007. Pendidikan Monokultur versus Multikultural dalam Politik. (email: www.lkkassurabaya.blogspot.com) diakses tnggal 28 Maret 2008.

Muqtafa, M.K. 2004. Paradigma Multikultural. Jakarta: Sinar Harapan.

Peraturan Pemerintah RI tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 dilengkapi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama.

Semiawan, C. 12 September 2003. Memelihara Integrasi Sosial dan Menegakkan HAM Melalui Pendidikan Multikultural. (info@ham.go.id, diakses tanggal 7 Juni 2008).

Setyosari, P. 1995. Perspektif Pendidikan Multikultural-Global. Ilm Pendidikan, Nomor 2 Tahun 22, hlm. 139-147.

Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

*)  Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah alumni Program Studi Manajemen Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang (UM), saat ini sebagai dosen Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa).

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN PERAN MASYARAKAT



OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH MELALUI BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT
DI ERA OTONOMI DAERAH

Hari Karyono*)



Hubungan antara sekolah dan masyarakat pada hakikatnya adalah suatu sarana yang cukup mempunyai peranan yang menentukan dalam rangka usaha mengadakan pembinaan pertumbuhan dan pengembangan murid-murid di sekolah. Wacana otonomi daerah memberikan peluang terhadap pelaksanaan otonomi pendidikan (sekolah) di daerah kabupaten/kota. Sekolah melalui Bidang Humas dapat memanfaatkan peluang ini dengan membangun relasi dengan masyarakat lingkungan sekitar yang peduli terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah. Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di era otonomi ini, disarankan kepada Kepala Sekolah untuk memfungsikan Bidang Humas serta Dewan Sekolah agar dapat memberdayakan warga sekolah dan terutama masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsbnya.) untuk terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.



 
 




           









     Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, humas sekolah, otonomi
                          daerah.
                          
            Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu anak didik merupakan pusat perhatian sekolah, orang tua/wali murid dan masyarakat. Namun kerjasama antar mereka belum optimal. Orang tua belum menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan dan perkem-bangan anak banyak sekali ditentukan dan diawali pendidikan di rumah. Orang tualah sebenarnya yang pertama-tama memperkenalkan tata nilai, aturan-aturan, keterampilan, norma dan tata tertib kepada anak-anaknya dalam lingkungan rumah tangga. Namun pada kenyataannya, para orang tua/wali murid bahkan beranggapan bahwa pendidikan itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab sekolah. Anggapan ini menyebabkan para orang tua pada waktu mengirimkan anak-anaknya ke sekolah seperti layaknya mendepositokan uang ke bank saja. Begitu uang dimasukkan ke bank, uang tersebut langsung berbunga atau berkembang sendiri.   
Hubungan antara sekolah dan masyarakat pada hakikatnya adalah suatu sara-na yang cukup mempunyai peranan yang menentukan dalam rangka usaha mengada-kan pembinaan pertumbuhan dan pengembangan murid-murid di sekolah.Elsbree da-lam Indrafacrudi, 1989) mengemukakan ada tiga faktor yang menyebabkan sekolah harus berhubungan dengan masyarakat: (1) faktor perubahan sifat, tujuan dan metode mengajar di sekolah, (2) faktor masyarakat, yang menuntut adanya perubahan-perubahan dalam pendidikan di sekolah dan perlunya bantuan masyarakat terhadap sekolah, dan (3) faktor perkembangan ide demokrasi bagi masyarakat terhadap pendidikan. Sementara itu, Hymes (1969) mengatakan bahwa sekolah merupakan ”supplement” dari rumah, oleh karena itu, perlu adanya hubungan antara sekolah dan rumah.
            Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah dilestarikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuh-kan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.(Depdikbud, 2002).
Masyarakat di sini meliputi masyarakat setempat dimana sekolah itu berada, orang tua murid, masyarakat pengguna dan alumnus. Alumnus sebagai masyarakat yang memiliki hubungan khusus dan ikatan batin yang istimewa terhadap sekolah, tentu memiliki peranan dan tanggungjawabnya yang khas dan istimewa pula. Mereka merasakan dan mengalami sekian tahun menjadi warga sekolah, mereka menikmati dan memperoleh layanan jasa dari sekolah. Mereka merasakan visi dan misi apa yang mereka alami selama sekian tahun, mereka mengalami kualitas macam apa, yang menjadikan diri mereka seperti sekarang ini. Memang hanya tiga tahun atau empat tahun, tidak seberapa banyak dibandingkan dengan tahun-tahun kehidupan para alumni dalam hidup, namun tetap saja yang sedikit tahun itu memberikan kontribusi yang tidak kecil selama pendidikan.
Dalam perkembangan penyelenggaraan pendidikan ada paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan sejak digulirkannya otonomi daerah. Undang-Undang  Otonomi Daerah meletakkan kewenangan sebagian besar pemerintahan bidang pen-didikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintah pusat kepada peme-rintah daerah (kabupaten/kota). Kewenangan yang tersisa pada pemerintah pusat dan propinsi hanya sebatas besarannya saja (PP No. 25 Tahun 2000).  Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan pendidikan di sekolah. Sebab pemba-ngunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terlihat dalam kenyataan bahwa berbagai program investasi akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan (Sidi, 2001). Oleh karena itu, otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan merupakan suatu keharusan. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola seko-lahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.
           
Kendala-kendala Pelaksanaan Humas di Sekolah
            Esensi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah atau desentralisasi adalah seberapa besar keterlibatan masyarakat terhadap penyelenggara-an pendidikan di sekolah. Instrumen sekolah, yaitu Bidang Humas di sekolah adalah media yang paling efektif untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat menjadi pe-duli terhadap pendidikan di sekolah. Namun demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi oleh sekolah dalam menerapkan bidang Humas. Sehingga dalam paraktik-nya program-program Humas tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan.
Beberapa hal yang menjadi kendala kurang harmonisnya hubungan sekolah dengan masyarakat diduga dikarenakan hal-hal sebagai berikut: (a) kepala sekolah cenderung ingin menjaga otoritasnya/kekuasaannya atas pengelolaan sekolah, (b) kepala sekolah beranggapan bahwa pengelolaan sekolah adalah wewenangnya, sedangkan para guru dan anggota Komite Sekolah tidak memenuhi syarat untuk ikut campur, (c) kepala sekolah takut jika pengelolaan keuangan sekolah tidak benar dan diketahui oleh guru dan pengurus Komite Sekolah,  sebagai konsekuensinya pengelolan keuangannya hampir sama sekali tidak transpran, (d) para guru tidak berani menentang, karena takut akan tindakan balasan oleh kepala sekolah (didendam), (e) kebanyakan orang tua murid bersikap pasif terhadap sekolah, walaupun kegiatan sekolah tidak memenuhi keinginan mereka. Dan hal itu mereka lakukan karena takut akan tindakan yang tidak fair oleh guru dan kepala sekolah terhadap anaknya, dan (f) pada sebahagian sekolah, pengurus Komite Sekolah bahkan bukan mewakili benar-benar orang tua murid. Komite pengarahnya terdiri dari kepala sekolah dan penguasa setempat yang dalam kenyataannya adalah “orang-orang”nya kepala sekolah yang diandalkan untuk berdiri dibelakangnya (mem-back up-nya).(Depdikbud, 2000).
Disamping hal-hal tersebut di atas, kendala-kendala pelaksanaan Humas di se-kolah juga dikarenakan bahwa orang tua siswa dan masyarakat setempat seringkali tidak dilihat sebagai aset yang berharga dalam peningkatan mutu pendidikan.(httpwww.ssep.netchangei.html, diakses tanggal 11 Januari 2006).   

Pengelolaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
            Pada era globalisasi, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti persa-ingan ketat dalam perdagangan internasional sebagai konsekuensi dari berlakunya pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik,  tuntutan yang lebih besar pada penerapan demokrasi, penegakan hukum, desakan atas perwujudan nilai-nilai persamaan dan keadilan, serta pemenuhan rasa ketentraman dan keamanan masyarakat. Sehubungan dengan itu, bangsa Indonesia sedang melaksanakan reformasi secara bertahap di segala bidang, antara lain reformasi dalam penyelengga-raan otonomi daerah yang mengatur kembali pola hubungan pemerintah Pusat dan Daerah.
Di sektor pendidikan, tuntutan reformasi pendidikan juga bergulir seiring de-ngan arus reformasi di sektor-sektor lainnya. Salah satu reformasi pendidikan adalah tentang desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Konsep desentralisasi dan implikasinya dikemukakan oleh Tim Teknis Bappenas bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) sebagai berikut: (1) implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat, (2) implikasi kelembagaan, yakni kebutuhan anak untuk meningkatkan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah, (3) implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan (4) implikasi pendekatan perencanaan pendidikan, yakni kebutuhan untuk memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah, dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin.
            Pengertian desentralisasi pendidikan adalah sistem manajemen untuk mewu-judkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang dilatarbelakangi oleh setiap daerah memiliki sejarah-nya sendiri, kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda dengan daerah lain. Untuk itu daerahlah yang lebih banyak tahu tentang keadaan dirinya, permasalahannya dan aspirasinya. Daerah berfungsi untuk menyusun rencana, merumuskan kebijaksanaan, mengambil keputusan, dan menentukan langkah-langkah pelaksanaan pendidikan di daerah.(Sufyarma, 2003).
            Dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi substansi yang bersifat lokal dan sempit, serta berorientasi pendidikan yang bersifat primordial yang dapat menumbuhkan sentimen kedaerahan. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional.(Tim Teknis Bappenas dan Bank Dunia, 1999).
            Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan diartikan sebagai pelimpahan we-wenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya di bidang pendidikan, dengan tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasioanal sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dalam pengertian ini, desentralisasi pendidikan akan mendorong terciptanya kemandirian dan rasa percaya diri yang tinggi pemerintah daerah yang pada gilirannya mereka akan berlomba me-ningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Persaingan yang sehat dan kerja sama antardaerah diharapkan akan terus tumbuh dalam suasana keterbukaan komunikasi antardaerah yang dijiwai semangat persatuan dan kesatuan dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bercirikan keragamaan daerah. Sementara itu, pemerintah pusat memainkan peranan yang sangat menentu-kan untuk memberikan perimbangan kepada daerah yang memiliki sumber daya terbatas. Dengan mekanisme penyelenggaraan pendidikan yang sedemikian, pelayanan pendidikan diharapkan lebih efisien dan efektif, karena daerah tidak tergantung atau menunggu kebijakan pusat untuk keperluan daerahnya.

Kualifikasi Praktisi Humas di Sekolah  
            Masalah yang tidak kalah pentingnya dalam kaitannya peningkatan peran bidang Humas di sekolah adalah perihal figur petugas humas di sekolah. Menurut Anggoro (2001) apabila dirangkum ada enam kriteria kualifikasi dari seorang praktisi humas yang baik, terlepas dari jenis latar belakang pribadinya: (1) mampu menghadapi semua orang yang memiliki anera ragam karakter dengan baik. Itu berarti ia harus mampu dan mau berusaha memahami serta terkadang berusaha untuk bersikap setoleran mungkin kepada setiap orang yang dihadapinya tanpa harus menjadi seorang penakut atau penjilat; (2) mampu berkomunikasi dengan baik. Artinya, ia mampu menjelaskan segala sesuatu dengan jelas dan lugas, baik secara lisan maupun tertulis, atau bahkan secara visual (misalnya melalui gambar-gambar atau foto-foto); (3) pandai mengorganisir segala sesuatu. Hal ini pada gilirannya menuntut kemampuan perencanaan yang prima; (4) memiliki integritas personal, baik dalam profesi maupun dalam kehidupan pribadinya; (5) punya imajinasi. Artinya, daya kreatifnya cukup baik sehingga ia mampu membuat jurnal internal, menulis naskah untuk film atau video, menyusun rencana kampanye humas yang rinci dan jelas, serta mampu mencari dan menemukan cara-cara yang semula tak terbayangkan guna memecahkan berbagai masalah, dan (6) serta tahu. Seorang praktisi humas dituntut untuk memiliki akses informasi yang seluas-luasnya. Dalam hal ini, mau tidak mau ia memang dituntut untuk menjadi “manusia super.”

Peran Masyarakat dalam Kegiatan Pendidikan di Sekolah dalam Konteks Otonomi Daerah
            Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk memperecepat terwu-judnya kesejahteraan masyarakat  melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Didalam penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dijelaskan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Daerah kabupaten dan daerah kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk membentuk dan melaksana-kan kebijakan menurut prakarsa dan inspirasi masyarakat. Dari kutipan penjelasan Undang-Undang RI No. 32 tahun 200 tersebut di atas, jelaskan bagi kita betapa pen-tingnya peranan masyarakat di era tonomi daerah, termasuknya perannya dalam bidang pendidikan.
Perihal peran masyarakat dalam bidang pendidikan, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) mengemukakan banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk mempercepat proses reformasi di bidang pendidikan, antara lain: (1) bersama sekolah ikut memikirkan strategi untuk meningkatkan mutu; (2) membeli buku-buku dan peralatan pendidikan; (3) komunitas orang-orang terdidik juga dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran serta memberi berbagai pelatihan kepada guru; (4) masyarakat dapat memfasilitasi sekolah untuk melakukan kunjungan ke sekolah yang maju; (5) masyarakat bisa membantu di luar dana dengan memberikan peluang, sehingga sekolah berkembang, misalnya; menjodohkan sekolah dengan industri sebagai tempat latihan nyata; (6) masyarakat bisa membantu sekolah dengan bersikap antusias terhadap pendidikan, karena sikap masyarakat mempengaruhi peserta didik dan berkaitan dengan budi pekerti; (7) keluarga dan masyarakat juga berperan dalam membentuk perilaku anak, misalnya: orang tua tidak mengeluarkan kata-kata kotor atau sembarangan, membudayakan antri, menjaga kebersihan dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut akan secara otomatis anak mengikuti perilaku itu; dan (8) pemeliharaan dan pengembangan seni budaya.

Hal-hal Potensial yang Menimbulkan Konflik antara Sekolah dengan Masyarakat
            Seperti dimaklumi, human relatrion amat penting bahkan merupakan suatu syarat bagi seseorang dalam berkomunikasi. Human relation adalah interaksi antara seseorang dengan orang lain yang menghasilkan kepuasan. Bagaiamana upaya Bidang Humas memuaskan sekian banyak orang, itulah masalahnya, apalagi dalam situasi yang cepat berubah. Perubahan kebijakan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, kemajuan iptek yang akan berdampak kepada kurikulum, perkembangan demokrasi yang harus diterapkan dalam pengelolaan pendidikan dan sebagainya.
            Betapapun juga ada beberapa ”simpul” yang mungkin menimbulkan konflik antara Sekolah dengan masyarakat yaitu : (1) masalah perubahan, (2) pandangan sem-pit, (3) tekanan dari luar, (4) persaingan antar kelompok dalam masyarakat, (5) latar belakang guru, (6) hak-hak guru, (7) krisis kepercayaan, (8) pelaksanaan yang kurang wajar dari sekolah terhadap siswa (guru menempeleng siswa).(Depdikbud, 2001).

Meningkatkan Hubungan yang baik antara Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat mengandung pengertian hubungan tim-bal balik yang harmonis antara keduanya. Hubungan yang harmonis itu hanya dapat dicapai apabila masing-masing bermanfaat bagi yang lain. Sebagai contoh, sekolah dapat meminta bantuan masyarakat sekitar untuk pengamanan sekolah dari gangguan remaja-remaja tanggung yang terbiasa ”mematok” atau memeras murid-muridnya.
Sebaliknya, masyarakatpun pada saat-saat tertentu diperkenankan untuk me-manfaatkan fasilitas sekolah, seperti: aula, lapangan olahraga dan sebagainya. Hubungan yang baik ini perlu ditingkatkan. Ada beberapa gagasan untuk meningkat-kan hubungan baik antara sekolah dengan masyarakat, yaitu menerapkan konsep Wa-wasan Wiyata Mandala, antara lain: (1) mendorong murid-murid berperan/ berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat; (2) mengatur begitu rupa, sehingga fasilitas sekolah juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat; (3) selalu menyampaikan informasi-informasi penting tentang sekolah kepada masyarakat (umpamanya: tentang bazar amal, bakti sosial, idul korban, zakat fitrah dan lains sebagainya); (4) memelihara hubungan baik dan teratur dengan lembaga/badan pendidikan lain yang barangkali saling menguntungkan; (5) buktikan/pastikan bahwa kepala sekolah dan stafnya penuh perhatian, lebih bijaksana, simpatik dan jujur tentang apa saja yang dapat mereka lakukan terhadap permintaan masyarakat; (6) menyarankan agar kepala sekolah khususnya Wakasek Bidang Humas, staf dan murid-murid menerima dan melayani tamu dengan sopan, ramah dan siap membantu. Upayakan agar tamu terlayani dengan hati yang sejuk; (7) sesekali undanglah orang-orang yang terkemuka dari tiap kelompok penting untuk ikut serta dalam kehidupan sekolah, umpamanya dalam kegiatan olah raga, pembagian hadiah, pesta sekolah dan sebagainya; (8) harus dapat diyakini bahwa kepala sekolah tidak melibatkan diri dalam politik, selalu netral, tidak memihak serta teguh pendiriannya dalam mengikuti peraturan dinas dan hukum, (9) hendaknya hubungan itu dilandasi dengan cinta kasih dan ikhlas.    

Penyampaian Informasi tentang Kegiatan Sekolah kepada Masyarakat
            Penggalangan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat hanya mungkin dilakukan apabila sekolah dan kegiatannya tersebut dimengerti dan dipahami oleh masyarakat. Dengan demikian, maka informasi tentang kegiatan sekolah harus dike-mas dan disampaikan dengan baik kepada masyarakat. Sebaliknya, jika rencana dan kegiatan sekolah tidak tersusun dengan baik, maka informasi tersebut tidak akan efektif. Rencana kegiatan yang lengkap dengan strategi penyampaikan yang tertata rapih akan mendorong kerjasama sekolah dengan masyarakat seperti yang diharapkan.
            Masyarakat dalam konteks pembahasan ini diartikan sebagai sejumlah manu-sia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya di sini, dimaksudkan adalah ada-nya orang dan tempat untuk saling berinteraksi dan saling membutuhkan untuk men-capai tujuan yang sama dan bersama. Sebagai contoh, masyarakat sekolah dalam hal terdiri dari kepala sekolah, guru, karyawan, murid dan orang tua, sedangkan masya-rakat luar sekolah adalah yang di luar itu. Namun ada juga yang beranggapan (seperti di Australia), masyarakat sekitar sekolah termasuk masyarakat sekolah (catchment area). Wilayah jangkauan (catchment area) ini, dapat kecil dapat pula besar.
            Yang termasuk masyarakat sekolah tersebut di atas antara lain: (1) Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3); (2) Komite Sekolah (School Council) yang terdiri atas: Kepala Sekolah, Guru Senior, OSIS, BP3, dan Tokoh Masyarakat; (3) Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS); (3) Perkumpulan Alumni Siswa, (4) Organisasi Profesi (PGRI); dan (5) Kelompok Profesi, seperti: Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) atau Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Guru Pembimbing (MGP), dan Kelompok Kerja Kepala Madrasah (K3M). Adapun masyarakat luar sekolah adalah: Masyarakat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) di bawah pimpinan Kelurahan, Karang Taruna, Instansi-instansi yang kantornya berdekatan dengan sekolah, dan para pengusaha. 
            Sementara itu, masyarakat (khususnya orangtua) berhak untuk memperoleh informasi tentang perkembangan anaknya di sekolah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 7 ayat (1) orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
            Selanjutnya, bagaimana kita dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab ma-syarakat terhadap pendidikan jika masyarakat tidak diberitahu dan tidak diberi informasi. Apalagi setiap anggota masyarakat punya hak untuk memperoleh informasi tentang pendidikan. Di samping itu, sesuai tuntutan pelaksanaan school-based management, masyarakat sebagai konsumen harus diberi informasi yang benar. Lebih-lebih sebagai konsumen yanag akan menggunakan produk pendidikan sekolah tersebut.
            Adapun informasi utama yang perlu disampaikan sekolah melalui bidang Humas kepada masyarakat, antara lain meliputi informasi-informasi sebagai berikut : (1) Visi dan Misi Sekolah: pada umumnya sekolah mempunyai Visi dan Misi. Visi adalah suatu pandangan yang jauh ke depan, cita-cita yang ideal, bisa dipercaya dan lebih baik dibandingkan kondisi saat ini. Sedangkan Misi adalah tugas-tugas yang harus dilakukan oleh sekolah untuk mencapai visi tersebut. Dengan penyampaian informasi tentang visi dan misi ini, masyarakat juga diajak untuk tidak saja memahaminya, tetapi juga memberikan masukan dalam proses pembinaan peserta didik; (2) Program Kerja Sekolah: dengan visi dan misi di atas, melalui program kerja sekolah tahunan atau lima tahunan atau lima tahunan, maka ditentukan: sasarannya (bagian dari tujuan), strateginya atau cara untuk mencapai sasaran, rencana tindakan (pedoman kerja untuk periode waktu tertentu), dan pelaksanaan yaitu realisasi rencana tindakan dengan mengikuti seluruh rencana tersebut. Di samping buku Pedoman Kerja, disusun pula buku informasi Pendidikan Seko-lah yang memuat data dan kegiatan lebih rinci, antara lain: data sekolah, sejarah singkat sekolah, daftar pengurus yayasan (khusus sekolah swasta), bangunan dan ruang belajar, daftar dewan guru dan pegawai, keadaan siswa, pengurus BP3, perpustakaan, norma kenaikan kelas dan kelulusan, program kegiatan tahun pelajaran, jadwal pelajaran, kalender pendidikan. Dengan demikian langkah-langkah konkrit yang disusun serta partisipasi yang diharapkan akan tergambar dengan jelas. Diharapkan orang tua murid tertarik dengan data dan kegiatan yang dibagikan, sehingga terjadi interaksi yang baik dengan sekolah, dan (3) Produk (hasil) serta prestasi yang telah dicapai oleh sekolah: produk sekolah yang perlu diinformasikan kepada orang tua murid dan masyarakat adalah antara lain; siswa tamatan dari sekolah tersebut mempunyai mutu yang baik, misalnya siswa tamatan sekolah tersebut banyak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah yang bermutu. Di samping itu, prestasi sekolah yang telah dicapai yang perlu diinformasikan antara lain hasil-hasil lomba yang telah diikuti baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional, misalnya: Juara I Drumband tingkat Kabupaten, dsbnya.

Berbagai Cara Penyampaian Informasi kepada Masyarakat melalui Bidang Humas Sekolah
            Bidang Humas di Sekolah hendaknya memiliki keterampilan atau mengetahui  berbagai cara dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai berikut : (1) melalui selebaran (leaflet) yang biasanya berisikan SK berdirinya sekolah, lokasi sekolah, fasilitas yang dimiliki, tenaga pendukung, program sekolah, prestasi yang pernah dicapai dan foto-foto kegiatan; (2) buletin yang isi/materinya antara lain: kegiatan belajar siswa (intra dan ekstra kurikuler), kegiatan belajar mengajar, struktur organisasi sekolah, pengurus Komite Sekolah, prestasi yang pernah dicapai (akademik dan non akademik), karangan ilmiah, pengembangan sekolah, peratuaran tata tertib, alumni, dll.; (3) melalui rapat, seminar, lokakarya, sarasehan, penyuluhan, dll.; (4) kontak pribadi dengan semua pihak (wawancara, surat menyurat); (5) kegiatan publikasi melalui radio, televisi dan surat kabar; (6) melalui pidato dalam setiap kegiatan dalam upaya menggerakkan kerjasama dengan masyarakat; (7) mengadakan kegiatan pameran seni yang menampilkan karya murid; (8) open day, ditambah  publikasi dalam bentuk baliho (gambar besar di tempat ramai, spanduk dan poster); (9) menggunakan media internet-homepage. Walapun harus diakui bahwa  internet-homepage ini masih terbatas sekali penggunaannya oleh sekolah, namun bagaimanapun juga sekolah sudah harus mengantisipasinya bagi tuntutan sekolah masa depan; (10) karya wisata dengan melibatkan/mengikutsertakan langsung orangtua; (11) melalui siswa, guru dan pegawai; dan (12) olah raga bersama seperti: gerak jalan/sepeda santai bersama (guru, pegawai, murid dan orang tua murid), misalnya dilaksanakan pada hari ulang tahun sekolah.

Strategi Melibatkan Masyarakat dalam Kegiatan Pendidikan melalui Bidang Humas Sekolah
Dalam konteks otonomi daerah di bidang pendidikan, bagi sekolah permasalahannya adalah bukannya bagaimana membangun relasi, tetapi bagaimana sekolah mampu memanfaatkan relasi tersebut. Tidak semua sekolah, khususnya bi-dang Humas mencermati masalah ini.
Sekolah pada hakikatnya mempunyai banyak relasi. Puluhan, ratusan bahkan ribuan orang tua murid adalah relasinya. Begitu pula dengan orang tua murid, para alumni dan tokoh masyarakat. Oleh karena itu, seyogyanya potensi inilah yang pertama-tama harus disadari dan dilihat bidang Humas di sekolah. Oleh karena itu, Kepala Sekolah melalui Bidang Humas dengan bantuan guru Bimbingan dan Konse-ling mengklasifikasi pekerjaan orang tua murid. Kelompok-kelompok inilah yang perlu dilibatkan untuk mendukung program sekolah melalui Komite Sekolah.
Pelibatan masyarakat terhadap kegiatan pendidikan di sekolah dapat dilaku-kan dengan cara individu/perorangan dan organisatoris. Adapun bentuk-bentuk peli-batan masyarakat tersebut antara lain sebagai berikut ini.
1.   Melibatkan individu masyarakat.
   Mempersiapkan orang tua murid untuk datang ke sekolah berkonsultasi/ber-diskusi bagi kemajuan anaknya. 
   Menerima orang tua murid yang secara sukarela datang ke sekolah menyam-paikan saran-saran atau bahkan sumbangan untuk kemajuan sekolah. Misal-nya: seorang pustakawan datang secara sukarela dan berkala ke sekolah untuk membantu membenahi perpustakaan sekolah. Namun bagaimanapun juga se-muanya tergantung kepada kepiawaian Kepala Sekolah melalui bidang Humas.
2.   Melibatkan secara organisatoris.
   Melalui Komite Sekolah.
- Untuk perluasan gedung sekolah, orang tua murid yang arsitektur dan ahli teknik dapat kita minta bantuannya untuk membuat design bangunan mau-pun perbaikan sekolah.
-  Begitu juga untuk menata taman sekolah.
-  Peningkatan atau pemeliharaan kesehatan penting sekali apalagi akhir-akhir ini bertambah maraknya masalah narkoba. Kenapa kita tidak libatkan saja orang tua murid yang berprofesi dalam bidang kesehatan.
- Tawuran pelajar yang sangat memusingkan itu kenapa tidak melibatkan orang tua murid yang berprofesi dalam bidang keamanan.
-  Pemusik, pelukis, dramawan, sastrawan dan lain-lain dilibatkan dalam kegi-atan ekstra kurikuler sekolah.
-  Para praktisi hukum untuk masalah hukum dan tata tertib.
- Tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat lainnya untuk peningkatan hasil pendidikan dan atau memberikan keterampilan khusus.
- Penyuluh pertanian, perikanan dan peternakan yang diperlukan untuk daerah-daerah tertentu.
-  Berbagai profesi lain yang dapat menunjang program sekolah.
    Melalui organisasi alumni.
Dari para alumni, sekolah dapat meminta saran tentang kekurangan sekolah yang perlu dibenahi, upaya yang perlu dilakukan untuk perbaikan.
Dari para alumni pula dapat dihimpun dana baik untuk peningkatan kesejahte-raan personil sekolah maupun perbaikan bangunan. Dapat juga mengundang mereka untuk menyampaikan pengalaman keberhasilannya. Dengan demikian mereka dapat menularkan pengalamannya kepada adik-adik mereka, bahkan mungkin dapat mengajarkan atau menambah wawasan para guru dan warga sekolah lainnya.
    Melalui dunia usaha/dunia kerja.
Dengan dibantu oleh guru Bimbingan dan Konseling, diusahakan mengun-dang tokoh yang berhasil untuk datang ke sekolah. Keberhasilan tokoh terse-but diharapkan akan memotivasi murid dan seluruh warga sekolah untuk bet-buat yang serupa.
    Melalui hubungan dengan instansi lain.
- Hubungan dengan sekolah lain. Hubungan kerjasama ini dapat dibina mela-lui MGMP, MGP, MKS, K3S dan K3M (Kelompok Kerja Kepala  Madrasah).
- Hubungan dengan lembaga pemerintahan dan swasta. Misalnya kerjasama dengan bank dalam rangka gerakan menabung, demikian juga dengan perta-manan dalam rangka penghijauan dan sebagainya.
  Berbagai bentuk peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan sistem pen-didikan nasional, dikemukakan oleh Soedijarto (1997) bahwa berbagai bentuk peranserta masyarakat adalah sebagai berikut: (1) pendirian dan penyelenggaraan sa-tuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah, atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah; (2) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan pengajaran, pembimbingan, dan/atau pelatihan pe-serta didik; (3) pengadaan atau pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pe-laksanaan kegiatan belajar mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan, (4) pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/ atau diselenggarakan oleh Pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional, (5) pengadaan dana dan pemberian bantuan yang berupa wakaf, hibah, sumbangan, pin-jaman, beasiswa, dan bentuk yang sejenis; (6) pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar; (7) peng-adaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melak-sanakan kegiatan belajar-mengajar; (8) pemberian kesempatan untuk magang dan/ atau latihan kerja; (9) pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan; (10) pemberian pemikiran dan pertim-bangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan; (11) pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (12) keikutsertaan dalam program pendidikan dan/ atau penelitian yang diselenggarakan di dalam dan/atau di luar negeri.
Strategi pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah dalam rangka untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberi-kan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyara-kat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkat-kan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Depdiknas, 2002).  
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dengan partisipasi/pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggungjawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Salah satu contoh soal yang baik dan layak dikemukakan disini dalam konteks pendidikan mutu pendidikan di era desentralisasi, sebagaimana laporan yang dikemujkakan oleh USAID Indonesia. Dalam laporannya tentang ”Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi”, dikemukakan beberapa keberhasilan pro-gram, antara lain salah satunya adalah ”keterlibatan masyarakat dan orang tua me-ningkat. Orang tua murid yang menjadi relawan berada dalam kelas dan membantu dalam perbaikan fisik sekolah. Komite sekolah secara aktif mengelola sekolah di 80% sekolah yang terlibat program MBE.”(www.mbeproject.net, diakses 11 Januari 2008) 


Simpulan dan Saran
Simpulan
            Hubungan antara sekolah dan masyarakat pada hakikatnya adalah suatu sara-na yang cukup mempunyai peranan yang menentukan dalam rangka usaha mengada-kan pembinaan pertumbuhan dan pengembangan murid-murid di sekolah. Wacana otonomi daerah memberikan peluang terhadap pelaksanaan otonomi pendidikan di sekolah. Sekolah melalui Bidang Humas dapat memanfaatkan peluang ini dengan membangun relasi dengan masyarakat lingkungan sekitar yang peduli terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah. Melalui Humas Sekolah partisipasi/pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan.

Saran-saran
            Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di era otonomi ini, disarankan kepada Kepala Sekolah untuk memfungsi-kan Bidang Humas serta Dewan Sekolah agar dapat memberdayakan warga sekolah dan terutama masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsbnya) untuk terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN

Anggoro, M.L. 2001. Teori dan Profesi Kehumasan, Serta Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Danim, S. 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar, Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran. Jakarta; Bumi Aksara.

Depdikbud. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Edisi 2: Revisi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdikbud. 2001. Bekerjasama dengan Masyarakat. Buku Utama. Surabaya: Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar, Buku 1. Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar, Buku 1. Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Fattah, H.N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

Hymes, J.I. 1969. Effective Home School Relations. New York: Prentice Hall, Inc.

Indrafachrudi, S. 1989. Hubungan antara Sekolah dengan Masyarakat. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Jalal, F. dan Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Perkembangan Sekolah: Model Pembaharuan pada Sekolah Menengah Umum. (http.www.ssep.netcgangei.htm1, diakses tanggal 11 Januari 2006).

Moore, H.F. 2000. Hubungan Masyarakat: Prinsip, Kasus, dan Masalah Jilid 2. Terjemahan oleh Lilawati Trimo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasution, Z. 2006. Manajemen Humas di Lembaga Pendidikan, Konsep, Fenomena dan Aplikasinya. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Sidi, I.D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Soedijarto. 1997. Meningkatkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Kumpulan Makalah. Jakarta. 

Soemirat, S. & Ardianto, E. 2005. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sufyarma M., H. 2003. Kapita Selekta, Manajemen Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sutisna, O. 1983. Administrasi Pendidikan, Dasar Teori untuk Praktek Profesional. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tim Teknis Bappenas bekerjasama dengan Bank Dunia. 1999. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Bappenas bekerjasama dengan Bank Dunia.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

USAID Indonesia. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar yang Terdesentrali-sasi. Jakarta: USAID Indonesia (www.mbeproject.net, diakses tanggal 11 Januari 2006).


*)   Dr. Hari Karyono, M.Pd., alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, saat ini sebagai dosen pada Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
 
 

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...