kemendikbud dan kebijakan “fullday school”
Hari Karyono*)
Gagasan
sekolah berbasis fullday saat ini menjadi
fenomena yang menarik bagi para
pemerhati pendidikan di tanah air. Gagasan yang dikemukakan Kemendikbud Prof.Dr.
H. Muhadjir Effendy, MAP tersebut mengundang pendapat pro dan kontra
sebagaimana yang diekspos di berbagai media sosial dan di mass media.
Layaknya kebijakan baru, terutama yang menyangkut hajat hidup orang
banyak di bidang pendidikan, maka begitu gagasan dilontarkan banyak memperoleh tanggapan.
Gagasan ini semakin menarik karena dilontarkan oleh Kemendikbud baru hasil reshuffle
II. Sudah menjadi rahasia umum, ada asumsi
bahwa ganti menteri dianalogkan dengan ganti kebijakan.
Sementara
itu, di bidang pendidikan bangsa Indonesia menghadapi masalah-masalah yang complicated. Di era global sekarang ini,
berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (BKE), yang mensyaratkan dukungan sumber
daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan mutlak diperlukan
guna menopang pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (education for the knowledge economy (EKE).
Berdasarkan
amanat undang-undang, pendidikan mempunyai posisi strategis untuk meningkatkan
kualitas, harkat dan martabat setiap warga Negara sebagai bangsa yang
bermartabat dan berdaulat. Dalam konteks tersebut pendidikan harus dilihat
sebagai human investment yang
mempunyai perspektif multidimensional. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan
yang dipandang sebagai kebijakan baru akan menghasilkan respon ganda. Kurt
Lewin menganggap bahwa pada satu kondisi tertentu terdapat dua kekuatan (force) yang berlawanan. Pada satu sisi
terdapat kekuatan yang mendorong terjadinya pembaharuan (driving force). Di sisi lain, terdapat kekuatan penolakan yang
mempertahankan status quo (restraining
force).
Pada hakikatnya, suatu kebijakan harus diawali
dengan kajian yang mendalam. Demikian pula dengan gagasan fullday school. Rencananya sistem ini akan diterapkan mulai dari
SD. Walaupun gagasan ini menurut Mendikbud telah mendapat restu dari istana
(Presiden dan Wakil Presiden), tetapi sebelum diterapkan perlu dilakukan kajian
yang mendalam.
Kebijakan
pendidikan pada hakikatnya adalah sinonim dengan pembaharuan pendidikan.
Sedangkan pembaharuan pendidikan muaranya pada masalah mutu pendidikan. Sementara
itu, hasil dari berbagai survey mutu pendidikan Indonesia masih dalam peringkat
yang memprihatinkan.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah
itu juga ditunjukkan oleh data dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program
(PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya
tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Mudah
diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas SDM juga akan rendah. Pada 15 September 2004, United Nations for Development Programme (UNDP)
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya
menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan negara-negara
tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini sungguh
memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla pernah mengatakan
bahwa kualitas
pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan
hasil survey The Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat
16 di tingkat Asia dan
berada di urutan 160 untuk tingkat dunia.
Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering
mengalami kekacauan politik dan peperangan itu.
Ada
beberapa pertimbangan yang strategis sebelum menerapkan fullday school. Belum siapnya infrastruktur di lembaga pendidikan
(sekolah). Belum siapnya guru dan tenaga kependidikan. Sekolah semakin mahal,
karena perlu tambahan anggaran belanja, sebagai akibat dari perpanjangan durasi
waktu operasional di sekolah. Masalah budaya membaca dan budaya belajar yang
masih relatif rendah. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah
karakteristik peserta didik. Penerapan fullday
school juga bertentangan dengan tugas-tugas
perkembangan peserta didik (development
task).
Banyak
temuan penelitian menunjukkan bahwa penerapan fullday school akan mengakibatkan berbagai dampak negative bagi
peserta didik, apabila tidak dipersiapkan dengan baik. Di samping itu, peserta
didik akan merasa jenuh, lelah dan kehilangan waktu bermain serta kurangnya
sosialisasi dengan lingkungan sekitar, terutama dengan teman sebaya.
Secara
psikologis, peserta didik di fullday
school, sebagian besar mengalami stres. Hasil penelitian Wulandari (2015)
menunjukkan bahwa hasil penelitian diketahui 25% responden tidak mengalami stres pada
penerapan konsep fullday school, 65%
responden mengalami stres dengan tingkat rendah dalam penerapan konsep fullday school, dan 10% responden
mengalami stres dengan tingkat tinggi pada penerapan konsep fullday school. Walaupun temuan ini belum bisa digeneralisasikan. Tetapi
paling tidak sebagai referensi bahwa kebijakan fullday school perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait
dengan penyelenggaraannya. Oleh karena itu, penulis setuju bahwa penerapannya
dirintis dengan model “piloct project”.
*) Hari Karyono, Dosen Pascasarjana, Unipa
Surabaya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar