Selasa, 09 Januari 2018

FULLDAY SCHOOL



kemendikbud dan kebijakan “fullday school”


Hari Karyono*)

Gagasan sekolah berbasis fullday saat ini menjadi  fenomena yang menarik bagi para pemerhati pendidikan di tanah air. Gagasan yang dikemukakan Kemendikbud Prof.Dr. H. Muhadjir Effendy, MAP tersebut mengundang pendapat pro dan kontra sebagaimana yang diekspos di berbagai media sosial dan di mass media.  
Layaknya kebijakan baru, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak di bidang pendidikan, maka begitu gagasan dilontarkan banyak memperoleh tanggapan. Gagasan ini semakin menarik karena dilontarkan oleh Kemendikbud baru hasil reshuffle II. Sudah menjadi rahasia umum, ada  asumsi bahwa ganti menteri dianalogkan dengan ganti kebijakan.
Sementara itu, di bidang pendidikan bangsa Indonesia menghadapi masalah-masalah yang complicated. Di era global sekarang ini, berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (BKE), yang mensyaratkan dukungan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (education for the knowledge economy (EKE).
Berdasarkan amanat undang-undang, pendidikan mempunyai posisi strategis untuk meningkatkan kualitas, harkat dan martabat setiap warga Negara sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dalam konteks tersebut pendidikan harus dilihat sebagai human investment yang mempunyai perspektif multidimensional. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang dipandang sebagai kebijakan baru akan menghasilkan respon ganda. Kurt Lewin menganggap bahwa pada satu kondisi tertentu terdapat dua kekuatan (force) yang berlawanan. Pada satu sisi terdapat kekuatan yang mendorong terjadinya pembaharuan (driving force). Di sisi lain, terdapat kekuatan penolakan yang mempertahankan status quo (restraining force).  
 Pada hakikatnya, suatu kebijakan harus diawali dengan kajian yang mendalam. Demikian pula dengan gagasan fullday school. Rencananya sistem ini akan diterapkan mulai dari SD. Walaupun gagasan ini menurut Mendikbud telah mendapat restu dari istana (Presiden dan Wakil Presiden), tetapi sebelum diterapkan perlu dilakukan kajian yang mendalam.
Kebijakan pendidikan pada hakikatnya adalah sinonim dengan pembaharuan pendidikan. Sedangkan pembaharuan pendidikan muaranya pada masalah mutu pendidikan. Sementara itu, hasil dari berbagai survey mutu pendidikan Indonesia masih dalam peringkat yang memprihatinkan.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan oleh data dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Mudah diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas SDM juga akan rendah. Pada 15 September 2004, United Nations for Development Programme (UNDP) mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini sungguh memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla  pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat 16 di tingkat Asia dan berada di urutan 160 untuk tingkat dunia.  Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering mengalami kekacauan politik dan peperangan itu.
Ada beberapa pertimbangan yang strategis sebelum menerapkan fullday school. Belum siapnya infrastruktur di lembaga pendidikan (sekolah). Belum siapnya guru dan tenaga kependidikan. Sekolah semakin mahal, karena perlu tambahan anggaran belanja, sebagai akibat dari perpanjangan durasi waktu operasional di sekolah. Masalah budaya membaca dan budaya belajar yang masih relatif rendah. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah karakteristik peserta didik. Penerapan fullday school  juga bertentangan dengan tugas-tugas perkembangan peserta didik (development task).
Banyak temuan penelitian menunjukkan bahwa penerapan fullday school akan mengakibatkan berbagai dampak negative bagi peserta didik, apabila tidak dipersiapkan dengan baik. Di samping itu, peserta didik akan merasa jenuh, lelah dan kehilangan waktu bermain serta kurangnya sosialisasi dengan lingkungan sekitar, terutama dengan teman sebaya.
Secara psikologis, peserta didik di fullday school, sebagian besar mengalami stres. Hasil penelitian Wulandari (2015) menunjukkan bahwa hasil penelitian diketahui 25% responden tidak mengalami stres pada penerapan konsep fullday school, 65% responden mengalami stres dengan tingkat rendah dalam penerapan konsep fullday school, dan 10% responden mengalami stres dengan tingkat tinggi pada penerapan konsep fullday school. Walaupun temuan ini belum bisa digeneralisasikan. Tetapi paling tidak sebagai referensi bahwa kebijakan fullday school perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraannya. Oleh karena itu, penulis setuju bahwa penerapannya dirintis dengan model “piloct project”.
  
*) Hari Karyono, Dosen Pascasarjana, Unipa Surabaya.
   ng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...