Kamis, 15 Maret 2018

PELANGGARAN ETIKA TOKOH PUBLIK YANG TIDAK MENDIDIK MASYARAKAT



PELANGGARAN ETIKA TOKOH PUBLIK
YANG TIDAK MENDIDIK MASYARAKAT

Hari Karyono*)

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak contoh pelanggaran etika yang dilakukan oleh tokoh publik. Figur yang semestinya jadi panutan, justru melakukan hal-hal yang tidak etis. Pembahasan singkat ini bukannya ikut masuk dalam ranah “politis” atau keberpihakan pada kelompok tertentu. Tetapi hanya sekedar mengantarkan kepada bahasan singkat mengenai pelanggaran etika yang dilakukan olrh tokoh publik.
Tokoh publik sebagai figur yang sering muncul dalam berbagai event nasional dan diekspos di mass media. Semestinya memberikan teladan yang baik dan benar. Memang tidak semuanya melakukan pelanggaran etika. Tetapi tereksposnya tindakan mereka yang melanggar aturan yang seharusnya ditaati, menjadikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat luas. Alih-alih memberikan keteladanan, tetapi justru memberikan contoh yang tidak mendidik.
Sebagai contoh Setya Novanto yang sudah menjadi terdakwa dan saat ini masih terus dalam masa persidangan. Sebagai Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar (pada saat sebelum menjadi terdakwa) seharusnya melaksanakan amanah yang diamanatkan kepadanya. Tetapi, karena godaan memperoleh fee yang jelas-jelas melanggar aturan, maka yang bersangkutan dilengserkan dari Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar.
Dari sudut pandang pelanggaran etika anggota DPR. Sebenarnya Setya Novanto sudah pernah dipanggil MDK (Mahkamah Kehormatan Dewan) untuk mengklarifikasi ada tidaknya pelanggaran. Tetapi proses hukum akhirnya menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka dan mengikuti persidangan.
Pelanggaran kode etik lainnya yang menjadi viral di mass media adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua MK Arief Hidayat. Diduga pelanggaran Ketua MK ini sudah yang kedua kalinya. Cermati berita di bawah ini.
JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Ketua MK Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran ringan. Arief dilaporkan telah melakukan pelanggaran kode etik sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR, Rabu (6/12/2017). Atas putusan tersebut, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief. "Pada 11 Januari 2018 Dewan Etik menuntaskan pemeriksaan dan hasilnya menyatakan bahwa hakim terlapor terbukti melakukan pelanggar kode etik ringan. Oleh karena itu, Dewan Etik menjatuhkan sanksi teguran lisan," ujar juru bicara MK Fajar Laksono saat memberikan keterangan pers di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (16/1/2018).


 










Khusus untuk pelanggaran kode etik Ketua MK ini mendapatkan perhatian yang sangat serius dari kalangan akademik. Sebanyak 76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta samapai mengirim surat kepada Ketua MK Arief Hidayat,
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Selasa (20/2/2018). Surat itu juga ditujukan kepada delapan hakim konstitusi lain dan tiga orang anggota dewan etik MK. Surat tersebut disampaikan oleh dua orang akademisi yakni, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro. Menurut Bivitri, surat tersebut berisi pandangan para guru besar terkait penjatuhan dua sanksi etik yang diberikan Dewan Etik MK kepada Arief Hidayat. Kemudian, terkait upaya menjaga martabat dan kredibilitas MK di mata publik. "Ini bentuk kepedulian kami sebagai akademisi, mewakili guru-guru besar untuk menyampaikan surat kepada Ketua MK Arief Hidayat," ujar Bivitri Susanti di Gedung MK.


 












Tetapi lagi-lagi jabatan itu “enak”, karena selain memperoleh tunjangan juga prestise. Sehingga istilah mundur tidak mereka kenal. Seperti kasus mantan Ketua DPR dan mantan Ketua Partai Golkar Setya Novanto. Untuk menjadikan tersangka, prosesnya cukup panjang. Ada kesan rekayasa dan sandiwara, Bahkan pengacaranya dan dokter yang merawatnya ikut memberikan andil untuk melindungi Setya Novanto dari jeratan hukum.
Kedua contoh tersebut di atas adalah suatu pelajaran yang sangat berharga bagi kita orang awam yang mempelajari bagaimana etika, sebaiknya dijadikan tolok ukur mana yang baik dan mana yang tidak baik. Peristiwa ini (kedua publik figur) di atas adalah sebagaian kecil saja dari pelanggaan yang dilakukan oleh tokoh publik. Sampai hari ini, hampir setiap hari kita dengar dan baca OTT yang dilakukan oleh KPK di seluruh penjuru nusantara ini. Pilkada yang dilaksanakan secara serentak memberikan kesempatan pula untuk melanggar etika. Penggunaan dana untuk kampanye yang diambil dari dana yang bukan pada peruntukannya. Suap menjadi cara yang dihalalkan untuk memperoleh sesuatu kesempatan mengejar jabatan. Baik apakah calon Bupati/Walikota maupun calon Gubernur banyak yang kena OTT menjelang Pilkada dilakksanakan.
Mencermati kasus di atas dan masih banyak lagi kasus-kasus yang mungkin akan terjadi. Kasus-kasus tersebut dapat dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, tokoh publik/figur publik yang harus bersikap dan berperilaku yang benar sesuai dengan tata aturan yang berlaku bagaimana sebaiknya berperilaku. Namun demikian, semuanya tergantung pada pribadi masing-masing individu. Kembali ke niat awal menjadi pejabat/tokoh publik. Niat mengabdi atau prestise/gengsi saja. Atau memang benar-benar ingin menyejahterahkan masyarakat. Ini semua kembali ke hati nurani, yang sebenarnya membisikkan wujud yang “baik” dan “mulia”.

*)  Hari Karyono adalah dosen Pacsarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, pengampu matakuliah Etika Profesi Kependidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...