PELANGGARAN
ETIKA TOKOH PUBLIK
YANG TIDAK
MENDIDIK MASYARAKAT
Hari Karyono*)
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak
contoh pelanggaran etika yang dilakukan oleh tokoh publik. Figur yang
semestinya jadi panutan, justru melakukan hal-hal yang tidak etis. Pembahasan
singkat ini bukannya ikut masuk dalam ranah “politis” atau keberpihakan pada
kelompok tertentu. Tetapi hanya sekedar mengantarkan kepada bahasan singkat
mengenai pelanggaran etika yang dilakukan olrh tokoh publik.
Tokoh publik sebagai figur yang sering
muncul dalam berbagai event nasional dan diekspos di mass media. Semestinya
memberikan teladan yang baik dan benar. Memang tidak semuanya melakukan
pelanggaran etika. Tetapi tereksposnya tindakan mereka yang melanggar aturan
yang seharusnya ditaati, menjadikan contoh yang kurang baik bagi masyarakat
luas. Alih-alih memberikan keteladanan, tetapi justru memberikan contoh yang
tidak mendidik.
Sebagai contoh Setya Novanto yang sudah
menjadi terdakwa dan saat ini masih terus dalam masa persidangan. Sebagai Ketua
DPR dan Ketua Partai Golkar (pada saat sebelum menjadi terdakwa) seharusnya
melaksanakan amanah yang diamanatkan kepadanya. Tetapi, karena godaan
memperoleh fee yang jelas-jelas melanggar aturan, maka yang bersangkutan
dilengserkan dari Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar.
Dari sudut pandang pelanggaran etika
anggota DPR. Sebenarnya Setya Novanto sudah pernah dipanggil MDK (Mahkamah
Kehormatan Dewan) untuk mengklarifikasi ada tidaknya pelanggaran. Tetapi proses
hukum akhirnya menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka dan mengikuti
persidangan.
Pelanggaran kode etik lainnya yang
menjadi viral di mass media adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua MK
Arief Hidayat. Diduga pelanggaran Ketua MK ini sudah yang kedua kalinya.
Cermati berita di bawah ini.
JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi (MK) menyatakan Ketua MK Arief Hidayat terbukti melakukan
pelanggaran ringan. Arief dilaporkan telah melakukan pelanggaran kode etik
sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali
sebagai hakim konstitusi di DPR, Rabu (6/12/2017). Atas putusan tersebut,
Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief.
"Pada 11 Januari 2018 Dewan Etik menuntaskan pemeriksaan dan hasilnya
menyatakan bahwa hakim terlapor terbukti melakukan pelanggar kode etik
ringan. Oleh karena itu, Dewan Etik menjatuhkan sanksi teguran lisan,"
ujar juru bicara MK Fajar Laksono saat memberikan keterangan pers di gedung
MK, Jakarta Pusat, Selasa (16/1/2018).
|
Khusus untuk pelanggaran kode etik Ketua
MK ini mendapatkan perhatian yang sangat serius dari kalangan akademik.
Sebanyak 76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta samapai
mengirim surat kepada Ketua MK Arief Hidayat,
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak
76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta mengirimkan
surat kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Selasa (20/2/2018).
Surat itu juga ditujukan kepada delapan hakim konstitusi lain dan tiga
orang anggota dewan etik MK. Surat tersebut disampaikan oleh dua orang
akademisi yakni, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri
Susanti dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro.
Menurut Bivitri, surat tersebut berisi pandangan para guru besar terkait
penjatuhan dua sanksi etik yang diberikan Dewan Etik MK kepada Arief
Hidayat. Kemudian, terkait upaya menjaga martabat dan kredibilitas MK di
mata publik. "Ini bentuk kepedulian kami sebagai akademisi, mewakili
guru-guru besar untuk menyampaikan surat kepada Ketua MK Arief
Hidayat," ujar Bivitri Susanti di Gedung MK.
|
Tetapi lagi-lagi jabatan itu “enak”,
karena selain memperoleh tunjangan juga prestise. Sehingga istilah mundur tidak
mereka kenal. Seperti kasus mantan Ketua DPR dan mantan Ketua Partai Golkar
Setya Novanto. Untuk menjadikan tersangka, prosesnya cukup panjang. Ada kesan
rekayasa dan sandiwara, Bahkan pengacaranya dan dokter yang merawatnya ikut
memberikan andil untuk melindungi Setya Novanto dari jeratan hukum.
Kedua contoh tersebut di atas adalah
suatu pelajaran yang sangat berharga bagi kita orang awam yang mempelajari
bagaimana etika, sebaiknya dijadikan tolok ukur mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Peristiwa ini (kedua publik figur) di atas adalah sebagaian kecil
saja dari pelanggaan yang dilakukan oleh tokoh publik. Sampai hari ini, hampir
setiap hari kita dengar dan baca OTT yang dilakukan oleh KPK di seluruh penjuru
nusantara ini. Pilkada yang dilaksanakan secara serentak memberikan kesempatan
pula untuk melanggar etika. Penggunaan dana untuk kampanye yang diambil dari
dana yang bukan pada peruntukannya. Suap menjadi cara yang dihalalkan untuk
memperoleh sesuatu kesempatan mengejar jabatan. Baik apakah calon
Bupati/Walikota maupun calon Gubernur banyak yang kena OTT menjelang Pilkada
dilakksanakan.
Mencermati kasus di atas dan masih
banyak lagi kasus-kasus yang mungkin akan terjadi. Kasus-kasus tersebut dapat
dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, tokoh publik/figur
publik yang harus bersikap dan berperilaku yang benar sesuai dengan tata aturan
yang berlaku bagaimana sebaiknya berperilaku. Namun demikian, semuanya
tergantung pada pribadi masing-masing individu. Kembali ke niat awal menjadi
pejabat/tokoh publik. Niat mengabdi atau prestise/gengsi saja. Atau memang
benar-benar ingin menyejahterahkan masyarakat. Ini semua kembali ke hati
nurani, yang sebenarnya membisikkan wujud yang “baik” dan “mulia”.
*) Hari Karyono adalah dosen Pacsarjana Universitas
PGRI Adi Buana Surabaya, pengampu matakuliah Etika Profesi Kependidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar