PENDIDIKAN
HUMANIORA:
Suatu Tinjauan Pengantar Teoritis
dan Praktis*)
Hari
Karyono, BA**)
Pendahuluan
Semula, “Pendidikan Humaniora”
muncul dari gagasan Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, ketika dalam awal menjabat.
Sebenarnya ada dua gagasan pokok yang dikemukakannya, yakni Pendidikan Berfikir
dan Pendidikan Humaniora. Namun, dalam bahasan berikut dibatasi dalam konteks
Pendidikan Humaniora saja.
Adanya gagasan Mendikbud, tentang Pendidikan Humaniora,
bagai gayung bersambut, banyak pula reaksi yang cukup positif. Paling tidak
dari berbagai lapisan masyarakat, pengamat pendidikan, pengelola pendidikan
banyak yang tampil untuk menanggapi. Pada dewasa ini, begitu ada gagasan yang
dianggap “baru”, banyak pula reaksi yang cukup hangat dari masyarakat. Ini, menandakan
bahwa masyarakat makin menyadari tentang arti pendidikan dalam pembangunan
bangsa.
Pendidikan Humaniora, pada galibnya adalah bertujuan
untuk lebih memanusiakan manusia. Manusia agar lebih manusiawi. Nah! Timbul
pertanyaan dalam benak kita, “Apakah selama ini manusia tidak manusiawi? Apakah
selama ini manusia dalam menjalankan pendidikan tidak manusiawi? Tidak demikian
tentunya. Hanya saja, penekanan bidang-bidang humaniora, yang memanusiakan manusia cenderung untuk diabaikan. Selama ini,
pendidikan lebih condong untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sains. Tetapi, disisi lain, bidang-bidang studi humaniora, cenderung dilupakan. Kalau toh ada, hanya beberapa saja. Jelas,
dengan demikian untuk mendidik untuk mendidik manusia yang sejati belumlah
utuh. Manusia hanya belajar teknologi dan sains, tanpa diimbangi oleh bidang humaniora. Akibatnya, seperti disinyalir oleh beberapa ahli, manusia seperti
robot.
Cetusan
dan gagasan Mendikbud, itu tentunya bukanlah mengada-ada, namun hal ini timbul
dari suatu tujuan yang mulia. Paling
tidak beliau mensinyalir adanya suatu trend
yang mengabaikan pendidikan humaniora. Oleh
karena itu, tak berlebihan apabila pendidikan humaniora kali ini dapat perhatian
yang cukup serius dari pemerintah cq Depdikbud. Ide yang semula berawal dari
Mendikbud, akhirnya jadi perbincangan di kalangan para ahli, pengamat
pendidikan, masyarakat yang berkecimpung dalam pendidikan maupun masyarakat
luas. Tak pelak Pendidikan Humaniora, akhirnya toh jadi konsensus nasional. Ini
yang sering atau kadang diributkan orang. Suatu gagasan/ide yang datang dari
atas dikonotasikan sebagai suatu policy. Tak apa asal untuk kebaikan pendidikan
kita, agar lebih relevan dengan kebutuhan kita, kebutuhan masyarakat yang
sedang membangun.
Pengertian Pendidikan Humaniora Sekilas
Humaniora, adalah ilmu
pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi (Latin: humanior), dalam pengertian membuat
manusia lebih berbudaya (J. Drost SJ 1983). Pendidikan humaniora, bertujuan
untuk meningkatkan martabat manusia untuk lebih sesuai dengan citra manusia
sejati. Manusia yang utuh. Seperti yang dikemukakan oleh Mendikbud pada
wawancara pra operasional dengan Kompas, dalam uraiannya mengenai pendidikan humaniora,
Nugroho mengungkapkan pentingnya bagi pembentukan manusia yang utuh. Sebab
dunia pendidikan tidak hanya mau menciptakan orang yang tahu dan pandai akan
sains dan teknologi saja, tetapi juga mereka yang berwatak.
Yang termasuk humaniora adalah mata pelajaran yang
berusaha menginterpretasikan makna daripada hidup manusia di bumi dan yang
berusaha memberikan martabat kepada kehidupan dan eksistensi manusia. Sedang,
dalam bidang-bidang mana humaniora itu terdapat, adalah seperti yang ada dalam:
filsafat, agama, sastra, berbagai cabang seni, serta sejarah.
Pendidikan Humaniora, yang mana yang kita ikuti? Tentu
saja pendidikan humaniora yang ala Indonesia. Yang berdasar UUD 45 dan Pancasila.
Dengan demikian, penerapan pendidikan humaniora sebaiknya lebih mengacu pada
pengimplementasian Pancasila dan UUD 45 secara lebih nyata dan konsekuen. Misal, seperti tujuan
pendidikan humaniora yang bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh. Yang
utuh yang bagaimana? Jawabannya, adalah manusia yang Pancasialis. Begitu juga,
dengan tujuan agar manusia menjadi manusia yang berbudaya. Yang bagaimana?
Tentu saja kita sebaiknya lebih cenderung berbudaya kebangsaan, berbudaya ala
Indonesia. Mengerti akan kebudayaan sendiri yang beraneka ragam dan unik.
Dengan demikian, manusia Indonesia yang utuh ala Indonesia adalah manusia yang
benar-benar manusiawi dan berbudaya tinggi. Dus! dengan demikian kita akan
punya suatu benteng untuk menghadapi import budaya yang kurang sesuai dengan
iklim Timur.
Humaniora? Kurang Menarik!
Ide Pendidikan Humaniora muncul, merupakan suatu reaksi
wajar. Ada kecenderungan kurang ditekankan di sekolah ataupun perguruan tinggi.
Perlu data? Berikut inilah beberapa yang kebetulan penulis temui.
DR. Suryatno Kartodirdjo, dalam makalahnya yang berjudul
‘Pembinaan Bidang Studi ilmu-Ilmu Sastra’, di dalam forum Diskusi ilmiah untuk
pembinaan ilmu di fakultas dan jurusan yang diselenggarakan oleh UNS pada bulan
September 1982, telah mengemukakan pokok-pokok pikirannya antara lain sebagai
berikut:
1. Perguruan
Tinggi di Indonesia, dilihat dari bidang studinya, memiliki 9 bidang studi; 1.
Kemanusiaan (Humaniora), 2. Pasti dan Alam, 3. Ilmu-Ilmu Sosial, 4. Pendidikan,
5. Kesehata, 6. Pertanian, 7. Ekonomi, 8. Sastra dan 9. Teknologi
2. Menurut
data statistik dari tahun 1973, jumlah mahasiswa, dilihat dari penyebaran
menurut bidang-bidang studi tersebut di atas, prosentase perbandingan dapat
dilihat sebagai berikut:
a.
|
Pendidikan/Keguruan
…………………………….
|
28,7%
|
b.
|
Ilmu-Ilmu
Sosial …………………………………
|
18,4%
|
c.
|
Teknik
……………………………………………
|
14%
|
d.
|
Hukum
……………………………………………
|
11%
|
e.
|
Pertanian
…………………………………………
|
9,7%
|
f.
|
Kedokteran
………………………………………
|
9,1%
|
g.
|
Pasti/Alam
………………………………………
|
5,1%
|
h.
|
Humaniora
(Sastra, Filasfat dan Psikologi ……….
|
3,7%
|
Dari
data di atas, kalau disimak, bidang humaniora memang kurang diminati. Latar
belakangnya? adalah bahwa bidang humaniora kurang mendapat tempat yang layak.
Untuk karier, bidang humaniora jobnya. Kurang minatnya mahasiswa seperti
digambarkan di atas, tidak saja melanda bangsa-bangsa timur. Di Barat pun
kondisi seperti ini juga hampir sama.
Adalah
Profesor John C. Sawhill, Guru Besar Ilmu-ilmu Humaniora pada Universitas New
York, mengemukakan bahwa akhir-akhir ini, ilmu-ilmu humaniora telah jauh-atau
mungkin memang didorong kepada reputasi yang rendah. Secara statistik gambarannya
suram. Secara proporsi makin sedikit mahasiswa kita yang belajar ilmu-ilmu
humaniora, dan makin sedikit lagi yang lulus dengan gelar sarjana dalam ilmu
humaniora. Antara 1971 dan 1976, jumlah gelar sarjana muda yang diberikan di
Amerika Serikat dalam bidang bahasa Inggris dan sastra jatuh dengan 35%, dalam
bahasa asing 22%; dalam keseluruhan, jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan
ilmu-ilmu humaniora tradisional merosot dari 9% ke 5%, dan dalam ilmu-ilmu
social jumlah ini merosot dari 18% ke 14%.
Tidak
berbeda jauh dari di Indonesia sendiri, di Barat, sebagai contoh di Universitas
New York, bidang-bidang Humaniora kurang diminati. Yang patut dicatat, di
Barat, sebagai contoh di Universitas New York, bidang bidang humaniora kurang
diminati.Yang patut dicatat, di Barat walaupun serba modern. Namun Pendidikan
Humaniora mendapat perhatian yang serius. Di tengah berkecamuk
penemuan-penemuan modern, teknologi dan sains yang mutakhir, makin terasa
kebutuhan manusia akan bidang humaniora.
Yang
menjadi permasalahan, kalau toh minat untuk bidang humaniora relatif sedikit.
Bagaimana upaya kita yang sekiranya dapat dilakukan untuk memasukkan bidang humaniora
dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Jadi walaupun tidak 100%
mengambil bidang humaniora, seidkit banyak mereka juga belajar bidang humaniora,
walaupun di sekolah umum. Sekolah eksak. Tujuannya, agar berimbang. Sehingga
tercapai apa yang menjadi tujuan utama pendidikan kita, manusia yang utuh,
seimbang, serasi. Antara beripikir dan berhumaniora.
Pendidikan Humaniora dan Kurikulum
Pendidikan
Humaniora, kalau diterjemahkan dalam bidang studi adalah filsafat, agama,
pelbagai cabang seni, bahasa, dan sastra serta sejarah. Kalau disimak.
Bidang-bidang studi ini bukanlah bidang yang baru. Dalam kurikulum semua bidang
studi ini telah tercakup. Permasalahannya adalah seberapa jauh pemahaman siswa
tentang bidang-bidang ini.
Secara
teoritis, Bloom, mengurai taksonomi tujuan dari pendidikan yang pada pokoknya
mengemukakan 3 tujuan dari pendidikan, yakni segi kognitif, afektif dan skill. Nah, selama ini apakah kita sudah
bisa mendeteksi ketiga hal ini secara seimbang. Sulit untuk dijawab tentunya.
Di sisi lain, bidang-bidang humaniora, seperti misalnya sejarah, masih
disinyalir amat sedikit pemahaman siswa khususnya tentang Sejarah Indonesia/Sejarah
Nasional. Dalam kesempatan wawancara dengan Kompas, Mendikbud, Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto, membeberkan pula hal ini. ‘Di Amerika Serikat, anak-anak
tahu siapa sastrawan terkemuka di negaranya, siapa pelukis-pelukis ternama,
termasuk lagu-lagu yang menjadi khasanah budaya bangsanya. Lha kita di sini
hanya tahu lagu ‘Apanya dong’. Ya memang baik, tetapi belum cukup. Khasanah
budaya bangsa yang kita miliki juga harus diketahui’ demikianlah pendapat
Mendikbud.
Drs. Sahat
Marulitua Siregar, membandingkan, bahwasanya ide gagasan Mendikbud, sebenarnya
bukanlah ‘barang baru’. Pendidikan di Indonesia beberapa waktu yang lalu sudah
berproses dari dua sisi. Sisi pertama mekanisme pendidikan di Indonesia di
semua jenjang otomatis memberikan mata pelajaran yang bersangkut paut dengan
Agama, Pancasila dan Civic; sementara di sudut lain, tersedia pula berbagai
jenis materi pelajaran yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
Sementara itu,
Drs. Yusuf Amir Feisal, sebagai perbandingan memberikan suatu informasi bahwa
di Amerika Serikat, pendidikan humaniora pernah diberikan dengan nama
pendidikan umum (general studies).
Atau dalam pengertian terbatas, di Indonesia pernah diberikan dengan nama
Perkuliahan Umum (Studium Generale),
yaitu pendidikan komprehensif yang merupakan pelengkap bagi pendidikan profesional.
Termasuk dalam rumpun ini adalah kuliah mengenai sejarah, bahasa, filsafat,
sosiologi dan lain-lain.
Bidang-bidang
Studi Humaniora, jika dikaitkan dengan isi dari kurikulum sekilas dari pengamatan
global sudah terdapat didalamnya. Apabila yang dipermasalahkan adalah porsi
dari bidang humaniora dan bidang sains dan teknologi kiranya perlu kajian lebih
mendalam. Di samping itu, di sisi lain kita cenderung kurang memahami kebudayaan
diri sendiri. Misalnya, bahasa daerah. Beberapa keluhan yang penulis dapat
rekam, khususnya dari generasi di atas saya, Bahwa pada saat sekarang,
siswa/mahasiswa kurang meminati kebudayaan bangsa sendiri. Kebudayaan yang
dipuja oleh orang Barat. Di sisi lain kita belum kenal secuil pun apa itu peloq, apa itu nembang, apa itu panembrono,
dsbnya yang kesemuanya ini sungguh adiluhung.
Ini, yang sering dilupakan. disisi lain kita begitu serius untuk mengejar
ketinggalan kita dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atom dan nuklir, yang
terakhir ini merupakan bidang studi yang akan diterapkan di SLTA, bahkan sudah
diuji cobakan di beberapa SMA di Jakarta. Rencananya masuk kurikulum yang akan datang?
Tapi dipihak lain kebudayaan kita, sedikit dijamah. Nah! Kiranya sudah waktunya
untuk kita kembali ke kebudayaan sendiri, untuk mencoba membentuk diri sendiri
sebagai manusia yang berbudaya. Cara yang paling relevan adalah pendidikan.
Pendidikan,
tidak lepas dari kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan jantung dari kehidupan
pendidikan. Upaya untuk tidak lupa kepada kebudayaan sendiri, adalah bagaimana
cara kita menanamkan kebudayaan ini di sekolah-sekolah formal. Secara praktis,
kalau memang kesulitan dalam hal waktu. Tidak ada jeleknya, apabila bidang
studi ini, dimasukkan dalam kategori ekstra kurikuler. Sore pun jadi. Yang
sulit, mungkin instruktrur/pelatih!
Kebudayaan
bangsa Indoensia, cukup tinggi. Dilihat dari Candi, Tari, Musik, Gamelan
(Karawitan), dsbnya. Sayang apabila diabaikan. Ide pendidikan humaniora akan lebih
baik apabila ditunjang dengan kebudayaan ala Indonesia, seperti yang telah penulis
sebutkan di atas. Sedang tentang bagaimana, dan cara apa yang ditempuh, kiranya
perlu studi yang cukup mendalam. Dalam hal ini, toh kita punya badan yang
berwenang. Depdikbud, dalam hal evaluasi kurikulum punya badan/lembaga yang
bernama Pusat Pengembangan Kurikulum (PUSKUR) yang di bawah naungan BP3K (Balitbang/Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan). Dari badan/lembaga
inilah, diharapkan adanya suatu studi bagaimanakah porsi dari pendidikan
humaniora dan pendidikan teknologi dan sains. Di samping itu perlu pula dikaji,
sebarapa jauh pemahaman siswa tentang budaya bangsanya.
Manusia Indoensia Seutuhnya (MIS)
Pembangun Nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indoensia, demikianlah yang dinyatakan dalam GBHN, khususnya butir B (Landasan
Pembangunan Nasional). Jelas, pernyataan ini identik dengan tujuan pendidikan
humaniora, yakni pembentukan manusia yang utuh.
Berbicara tentang manusia seutuhnya, sebenarnya adalah
menganalisa secara konsepsional (teoritis dan praktis), apa dan bagaimana
perwujudan manusia seutuhnya itu. Konsep tradisional, seutuhnya (kebulatan)
dimaksud ialah kebulatan atau integritas antara aspek jasmaniah dengan
rokhaniah, antara akal dan keterampilan. Manusia seutuhnya dalam konsep modern,
perlu dianalisa menurut pandangan (berdasar sistem nilai dan psikologi)
sosio-budaya Indonesia.
Tentang konsep manusia Indonesia seutuhnya, Ki Hajar
Dewantara perintis pendidikan di Indonesia. Sejak lama telah melemparkan
gagasannya. Ki Hajar Dewantara, selalu melihat bahwa yang menjadi sasaran
pendidikan manusia, dan pendidikan dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu,
maka pendidikan harus selalu berada dalam konteks kemanusiaan dan
pelaksanaannya harus manusiawi.
Menurut Ki Hajar Dewantara, manusia di dunia ini
bereksistensi sebagai jiwa-raga. Berdasarkan hal tersebut, maka segala potensi
kodrati yang mengenai jiwa raga itu harus dapat dikembangkan secara menyeluruh.
Dengan pengertian jiwa, pada umumnya meliputi segi cipta, rasa dan karsa.
Hal-hal tersebut juga harus dikembangkan secara berimbang dan bulat. Dus, jika
dihubungkan dengan pendidikan, maka anak didik harus dapat dididik secara utuh-bulat,
meliputi raganya, ciptanya (akal), penalarannya, rasanya dan karsanya (keterampilan).
Maka, kesimpulannya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara menentang intelektualismen,
dianggap berat sebelah, hanya mengembangkan kecerdasan saja. Sehingga tidak
dapat digunakan untuk menanamkan semangat dan jiwa kebangsaan, kemampuan
berdikari dan mandiri. Pendidikan yang demikian, tidak akan mampu mendidik
siswa secara utuh-bulat.
Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, kalau diterapkan
pada masa sekarang, bolehlah. Pas! dengan konsep pendidikan manusia seutuhnya.
Manusia seutuhnya yang diharapkan dari pendidikan humaniora. Hanya ada
perbedaan yang prinsipil, kalau dilihat dari konteks waktu. Ketika zaman Ki
Hajar Dewantara, adalah zaman perjuangan. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara
lebih menekankan semangat kebangsaan, jiwa nasional. Ki Hajar Dewantara
menempatkan pendidikan sebagai wahana untuk perjuangan. Ini kita sadari. Karena
lahirnya konsep pendidikan ditengah kecamuknya perjuangan untuk merebut
kemerdekaan.
Manusia Indonesia seutuhnya, yang kita cita-citakan.
Telah pula disepakati dan dinyatakan dalam GBHN, perlu untuk diwujudkan. Wahana
yang paling relevan dan paling cocok adalah pendidikan. Sedang pendidikan yang
relevan. Kurikulum yang relevan, adalah kurikulum yang secara global harus bisa
memberikan kepada siswa dua isi pokok. Antara pengetahuan intelektualismen dan
humaniora. Kedua-duanya harus seimbang, serasi, dan saling kait-mengkait.
Kecenderungan untuk mencetak manusia yang intelektual, tanpa diimbangi dengan
humaniora, menjadi manusia yang timpang. Dalam artian, manusia dianggap sebagai
mesin, mengandalkan otak. Tanpa watak.
Konsep pendidikan humaniora, esensinya adalah pendidikan
yang ethis. Pendidikan Etika. Pendidikan yang memandang manusia sebagai
manusia. Pendidikan yang menekankan pendidikan watak. Tanpa mengabaikan
pendidikan teknologi dan sains. Yang perlu ditekankan ciri khas manusia budaya
Indonesia, yang idealnya kita cita-citakan.
Tentang konsep pendidikan watak. Sementara kita bisa
banyak belajar dari Pendidikan Watak di PPSP IKIP Surabaya. Dalam Rapat Kerja
Nasional 1983 Depdikbud, 6 Juni 1983 Mendikbud mengemukakan bahwa tujuan
pendidikan yang primer adalah pembentukan watak, sesudah itu barulah
pembentukan intelek. Sejalan dengan hal ini, menurut I Made Pidarta (Surabaya
Post, Juni 1983) mengemukakan bahwa di PPSP IKIP Surabaya, telah merintis
pendidikan watak tersebut. Sedang pendidikan yang dipakai wahana untuk
mengembangkan pendidikan watak di PPSP ialah ; 1. Pendidikan Afeksi, 2. Proses
belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP, 3. Proses belajar mengajar dan
evaluasi bidang studi Agama, 4. Proses belajar mengajar dan evaluasi bidang
studi Sejarah Nasional, 5. Pendidikan Cinta Lingkungan, 6. Pendidikan Persatuan
dan Kesatuan Murid di Sekolah, 7. Pendidikan Kreativitas dan Tanggung Jawab
Murid, 8. Studi Laboratorium.
Tindak lanjut
Pendidikan Humaniora itu
perlu, sudah kita ketahui. Yang semula merupakan ide/gagasan dari Mendikbud,
Prof. Nugroho Notosusanto. akhirnya menjadi kesepakatan nasional. Sebagai model
dari pendidikan nasional yang dianggap ideal. Oleh karena itu, sekarang yang
perlu dilakukan adalah tindak lanjut dari konsep pendidikan humaniora tersebut.
Secara praktis, pelaksanaan dari konsep ini tidak ada cara yang paling relevan,
kecuali melalui kurikulum. Melalui pendidikan. Sebagai salah-satu cara yang
dianggap paling ideal dan logis.
Seperti kita ketahui, bidang-bidang humaniora, adalah
bidang studi yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Untuk
memanusiakan manusia. Tidak berlebihan sebagai faktor sentral. Faktor yang
utama. Demikian dianggap punya peranan yang penting, dalam pendidikan manusia
seutuhnya. Sehingga, dalam Rakernas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983,
dicanangkan sebagai pendidikan yang primer adalah pembentukan watak, sesudah
itu barulah pembentukan intelek.
Semua konsep yang dianggap ideal, memang perlu follow-up. Tindak lanjut. Dengan
demikian tidak tinggal ide belaka. Apalagi sudah hampir disepakati sebagai
konsep nasional. Sekarang yang menjadi masalahnya adalah bagaimana konsep ini
dapat diterjemahkan dalam suatu policy yang
nyata.
Ada dua contoh yang penulis temui tentang pelaksanaan
pendidikan humaniora, paling tidak dua contoh ini kita anggap saja mewakili
konsep Barat dan Timur. Sebab, satu contoh di Indonesia sendiri, dan yang kedua
adalah di Amerika Serikat.
Di Universitas Sebelas Maret, di Fakultas Sasdaya (Sastra
dan Budaya), sejarah tahun 1980 telah memasukkan ‘Logika dan Bahasa’ dan
‘Retorika’ sebagai Mata Kuliah Wajib fakultas. Di PPSP IKIP Surabaya, juga
dirintis pendidikan yang dipakai wahana untuk mengembangkan watak, antara lain
pendidikan afeksi, proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP,
bidang studi Agama, dan yang dipakai wahana untuk mengembangkan watak, antar
lain pendidikan afeksi, proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP,
bidang studi Agama, dsbnya. Seperti yang telah penulis kemukakan di atas.
Di Universitas New York, pada tahun 1979, didirikan suatu
Dewan Ilmu Humaniora untuk mengatur perkuliahan dan seminar yang khusus atau
ekstrakurikuler dalam ilmu humaniora untuk mahasiswa prasarjana; kuliah humaniora
juga sudah dimulai dalam beberapa jurusan profesi, diantaranya fakultas
kedokteran gigi. Di samping itu suatu usulan untuk kurikulum inti yang harus
ditempuh oleh semua mahasiswa prasarjana di Universitas New York kini juga
tengah diperdebatkan.(John C. Sawhill, 1979).
Penutup
Pendidikan Humaniora,
muncul sebgai suatu akibat dari iklim atau kondisi yang sangat membutuhkannya.
Sejarah telah menunjukkan. Renaissance,
muncul karena adanya keinginan untuk bangkit kembali dan untuk menumbuhkan
kembali kebudayaan klasik.
Bidang humaniora bukanlah hal yang baru. Bidang humaniora
telah tercakup pula dalam kurikulum. Permasalahannya adalah pendidikan dewasa
ini cenderung untuk sedikit sekali perhatiannya terhadap bidang ini. Yang
sebenarnya, bidang humaniora adalah kebutuhan kita. Kebutuhan kita, pengetahuan
yagn membentuk manusia menjadi intelek juga membentuk manusia berwatak. Untuk
itu perlu ditekankan bidang humaniora agar seimbang dengan pendidikan lainnya,
khususnya pendidikan yang membentuk manusia intelektual. Dengan harapan agar
manusia seutuhnya, dapat terwujud.
Sesuai yang digariskan dalam GBHN, tujuan pembangunan adalah
manusia Indoensia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya, yang berbudaya
Indonesia. Ini bisa direalisir lewat pendidikan. Satu-satunya wahana yang
dianggap relevan. Langkah awal, tentu saja harus menyesuaikan kurikulum,
Kurikulum yang bagaimana yang dapat membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Manusia yang berwatak dan intelektual. Mengenai hal ini kita serahkan kepada
yang berwenang yakni pemerintah cq Depdikbud. Mungkin, lewat BP3K (Balitbang)
dengan segenap lembaga yang dibawah koordinasinya, seperti PUSKUR (Pusat
Pengembangan Kurikulum), diharapkan tujuan ini dapat terwujud.
Pendidikan humaniora muncul sebagai suatu konsensus
nasional. Adalah merupakan suatu akibat dari tujuan yagn mulia. Tujuan manusia
Indonesia yang kita cita-citakan.
Tidak kalah pentingnya dalam merealisasi pendidikan
humaniora agar seimbang dengan bidang lainnya. Adalah peranan pemerintah, dalam
hal ini depdikbud, sebagai ‘policy maker’
dalam bidang pendidikan. adanya isu tentang menurunnya bidang humaniora
dalam pendidikan kita, pendidikan di Indonesia. Tentunya kita tidak boleh
gegabah untuk menyimpulkan begitu saja. Paling tidak harus ada suatu data yang
dapat dijadikan tolok ukur (patokan). Demikian pula adanya isu pendidikan,
tentang menurunnya mutu/kualitas pendidikan dewasa ini.
Semua isu ini, (mutu dan pendidikan humaniora, dll) perlu
diteliti, dievaluasi. Pada tahun 1972, Depdikbud pernah menyelenggarakan PPNP
(Proyek Penilaian Nasional Pendidikan), yang bersakala nasional, melibatkan 12
propinsi, dan 15.000 responden dari brbagai level. Nah! Kiranya sebelum diambil
kebijaksanaan tentang perubahan kurikulum, bidang humaniora, dsbnya. Sudah
waktunya kita melakukan penilaian/penelitian yang berskala nasional. Dari sini,
baru ada bahan untuk mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam bidang
pendidikan. Tapi kapan?
SUMBER BACAAN
1. Amir
Feisal, Yusuf, Pendidikan Humaniora; Membangun Kecerdasan
Akal, Panji Masarakat No 395.
2. ‘Bagi Indonesia, Pendidikan Humaniora Tetap
Penting’, wawancara, Jawa Pos, Sabtu Pahing, 3 Agustus 1985.
3. Boli
Lasan, Blasius, Nilai Humaniora Versus
Nilai Materi, Komunikasi, Oktober 1983.
4. Broto,
AS, ‘Humaniora ; Manifestasi Kehidupan Muslim’, Guru Besar Fakultas Pasca
Sarjana IKIP Jakarta, Panji Masyarakat, No.
395.
5. Drost
SJ., ‘Humaniora’, KOMPAS, Selasa, 12
April 1983, halaman IC.
6. FORUM PENDIDIKAN, khusus rubrik
pendidikan, edisi No. 55 Th V, Juli 1984.
7. Garis-Garis Besar Haluan Negara, Penerbit
Sinar Wijaya Surabray, 1983.
*) Artikel
dimuat di Majalah Mahasiswa, Direktorat Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 44 Tahun VIII
Nopember 1985.
**) Penulis adalah mahasiswa
Jurusan Administrasi Pendidikan, IKIP PGRI Malang. Pernah mengurusi Sie
Penalaran dan Pendidikan Senat Mahasiswa IKIP PGRI Malang. Banyak menulis
di harian Suara Indonesia, Jawa Pos,
Komunikasi IKIP Malang. Serta majalah Psikologi Anda, dan majalah Mahasiswa
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar