Rabu, 21 Maret 2018

PENDIDIKAN HUMANIORA: SUATU TINJAUAN PENGANTAR TEORITIS & PRAKTIS

PENDIDIKAN HUMANIORA:
Suatu Tinjauan Pengantar Teoritis dan Praktis*)


Hari Karyono, BA**)

Pendahuluan
Semula, “Pendidikan Humaniora” muncul dari gagasan Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, ketika dalam awal menjabat. Sebenarnya ada dua gagasan pokok yang dikemukakannya, yakni Pendidikan Berfikir dan Pendidikan Humaniora. Namun, dalam bahasan berikut dibatasi dalam konteks Pendidikan Humaniora saja. 
Adanya gagasan Mendikbud, tentang Pendidikan Humaniora, bagai gayung bersambut, banyak pula reaksi yang cukup positif. Paling tidak dari berbagai lapisan masyarakat, pengamat pendidikan, pengelola pendidikan banyak yang tampil untuk menanggapi. Pada dewasa ini, begitu ada gagasan yang dianggap “baru”, banyak pula reaksi yang cukup hangat dari masyarakat. Ini, menandakan bahwa masyarakat makin menyadari tentang arti pendidikan dalam pembangunan bangsa.  
Pendidikan Humaniora, pada galibnya adalah bertujuan untuk lebih memanusiakan manusia. Manusia agar lebih manusiawi. Nah! Timbul pertanyaan dalam benak kita, “Apakah selama ini manusia tidak manusiawi? Apakah selama ini manusia dalam menjalankan pendidikan tidak manusiawi? Tidak demikian tentunya. Hanya saja, penekanan bidang-bidang humaniora, yang memanusiakan manusia cenderung untuk diabaikan. Selama ini, pendidikan lebih condong untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sains. Tetapi, disisi lain, bidang-bidang studi humaniora, cenderung dilupakan. Kalau toh ada, hanya beberapa saja. Jelas, dengan demikian untuk mendidik untuk mendidik manusia yang sejati belumlah utuh. Manusia hanya belajar teknologi dan sains, tanpa diimbangi oleh bidang humaniora. Akibatnya, seperti disinyalir oleh beberapa ahli, manusia seperti robot.    
Cetusan dan gagasan Mendikbud, itu tentunya bukanlah mengada-ada, namun hal ini timbul dari suatu  tujuan yang mulia. Paling tidak beliau mensinyalir adanya suatu trend yang mengabaikan pendidikan humaniora. Oleh  karena itu, tak berlebihan apabila pendidikan humaniora kali ini dapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah cq Depdikbud. Ide yang semula berawal dari Mendikbud, akhirnya jadi perbincangan di kalangan para ahli, pengamat pendidikan, masyarakat yang berkecimpung dalam pendidikan maupun masyarakat luas. Tak pelak Pendidikan Humaniora, akhirnya toh jadi konsensus nasional. Ini yang sering atau kadang diributkan orang. Suatu gagasan/ide yang datang dari atas dikonotasikan sebagai suatu policy. Tak apa asal untuk kebaikan pendidikan kita, agar lebih relevan dengan kebutuhan kita, kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.

Pengertian Pendidikan Humaniora Sekilas
            Humaniora, adalah ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi (Latin: humanior), dalam pengertian membuat manusia lebih berbudaya (J. Drost SJ 1983). Pendidikan humaniora, bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia untuk lebih sesuai dengan citra manusia sejati. Manusia yang utuh. Seperti yang dikemukakan oleh Mendikbud pada wawancara pra operasional dengan Kompas, dalam uraiannya mengenai pendidikan humaniora, Nugroho mengungkapkan pentingnya bagi pembentukan manusia yang utuh. Sebab dunia pendidikan tidak hanya mau menciptakan orang yang tahu dan pandai akan sains dan teknologi saja, tetapi juga mereka yang berwatak.
            Yang termasuk humaniora adalah mata pelajaran yang berusaha menginterpretasikan makna daripada hidup manusia di bumi dan yang berusaha memberikan martabat kepada kehidupan dan eksistensi manusia. Sedang, dalam bidang-bidang mana humaniora itu terdapat, adalah seperti yang ada dalam: filsafat, agama, sastra, berbagai cabang seni, serta sejarah.
            Pendidikan Humaniora, yang mana yang kita ikuti? Tentu saja pendidikan humaniora yang ala Indonesia. Yang berdasar UUD 45 dan Pancasila. Dengan demikian, penerapan pendidikan humaniora sebaiknya lebih mengacu pada pengimplementasian Pancasila dan UUD 45 secara lebih nyata  dan konsekuen. Misal, seperti tujuan pendidikan humaniora yang bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh. Yang utuh yang bagaimana? Jawabannya, adalah manusia yang Pancasialis. Begitu juga, dengan tujuan agar manusia menjadi manusia yang berbudaya. Yang bagaimana? Tentu saja kita sebaiknya lebih cenderung berbudaya kebangsaan, berbudaya ala Indonesia. Mengerti akan kebudayaan sendiri yang beraneka ragam dan unik. Dengan demikian, manusia Indonesia yang utuh ala Indonesia adalah manusia yang benar-benar manusiawi dan berbudaya tinggi. Dus! dengan demikian kita akan punya suatu benteng untuk menghadapi import budaya yang kurang sesuai dengan iklim Timur.

Humaniora? Kurang Menarik!
            Ide Pendidikan Humaniora muncul, merupakan suatu reaksi wajar. Ada kecenderungan kurang ditekankan di sekolah ataupun perguruan tinggi. Perlu data? Berikut inilah beberapa yang kebetulan penulis temui.
            DR. Suryatno Kartodirdjo, dalam makalahnya yang berjudul ‘Pembinaan Bidang Studi ilmu-Ilmu Sastra’, di dalam forum Diskusi ilmiah untuk pembinaan ilmu di fakultas dan jurusan yang diselenggarakan oleh UNS pada bulan September 1982, telah mengemukakan pokok-pokok pikirannya antara lain sebagai berikut:
1.      Perguruan Tinggi di Indonesia, dilihat dari bidang studinya, memiliki 9 bidang studi; 1. Kemanusiaan (Humaniora), 2. Pasti dan Alam, 3. Ilmu-Ilmu Sosial, 4. Pendidikan, 5. Kesehata, 6. Pertanian, 7. Ekonomi, 8. Sastra dan 9. Teknologi
2.      Menurut data statistik dari tahun 1973, jumlah mahasiswa, dilihat dari penyebaran menurut bidang-bidang studi tersebut di atas, prosentase perbandingan dapat dilihat sebagai berikut:
a.
Pendidikan/Keguruan …………………………….
28,7%
b.
Ilmu-Ilmu Sosial …………………………………
18,4%
c.
Teknik ……………………………………………
14%
d.
Hukum ……………………………………………
11%
e.
Pertanian …………………………………………
9,7%
f.
Kedokteran ………………………………………
9,1%
g.
Pasti/Alam ………………………………………
5,1%
h.
Humaniora (Sastra, Filasfat dan Psikologi ……….
3,7%
Dari data di atas, kalau disimak, bidang humaniora memang kurang diminati. Latar belakangnya? adalah bahwa bidang humaniora kurang mendapat tempat yang layak. Untuk karier, bidang humaniora jobnya. Kurang minatnya mahasiswa seperti digambarkan di atas, tidak saja melanda bangsa-bangsa timur. Di Barat pun kondisi seperti ini juga hampir sama.
Adalah Profesor John C. Sawhill, Guru Besar Ilmu-ilmu Humaniora pada Universitas New York, mengemukakan bahwa akhir-akhir ini, ilmu-ilmu humaniora telah jauh-atau mungkin memang didorong kepada reputasi yang rendah. Secara statistik gambarannya suram. Secara proporsi makin sedikit mahasiswa kita yang belajar ilmu-ilmu humaniora, dan makin sedikit lagi yang lulus dengan gelar sarjana dalam ilmu humaniora. Antara 1971 dan 1976, jumlah gelar sarjana muda yang diberikan di Amerika Serikat dalam bidang bahasa Inggris dan sastra jatuh dengan 35%, dalam bahasa asing 22%; dalam keseluruhan, jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu-ilmu humaniora tradisional merosot dari 9% ke 5%, dan dalam ilmu-ilmu social jumlah ini merosot dari 18% ke 14%.
Tidak berbeda jauh dari di Indonesia sendiri, di Barat, sebagai contoh di Universitas New York, bidang-bidang Humaniora kurang diminati. Yang patut dicatat, di Barat, sebagai contoh di Universitas New York, bidang bidang humaniora kurang diminati.Yang patut dicatat, di Barat walaupun serba modern. Namun Pendidikan Humaniora mendapat perhatian yang serius. Di tengah berkecamuk penemuan-penemuan modern, teknologi dan sains yang mutakhir, makin terasa kebutuhan manusia akan bidang humaniora.
Yang menjadi permasalahan, kalau toh minat untuk bidang humaniora relatif sedikit. Bagaimana upaya kita yang sekiranya dapat dilakukan untuk memasukkan bidang humaniora dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Jadi walaupun tidak 100% mengambil bidang humaniora, seidkit banyak mereka juga belajar bidang humaniora, walaupun di sekolah umum. Sekolah eksak. Tujuannya, agar berimbang. Sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan utama pendidikan kita, manusia yang utuh, seimbang, serasi. Antara beripikir dan berhumaniora.



Pendidikan Humaniora dan Kurikulum
Pendidikan Humaniora, kalau diterjemahkan dalam bidang studi adalah filsafat, agama, pelbagai cabang seni, bahasa, dan sastra serta sejarah. Kalau disimak. Bidang-bidang studi ini bukanlah bidang yang baru. Dalam kurikulum semua bidang studi ini telah tercakup. Permasalahannya adalah seberapa jauh pemahaman siswa tentang bidang-bidang ini.
Secara teoritis, Bloom, mengurai taksonomi tujuan dari pendidikan yang pada pokoknya mengemukakan 3 tujuan dari pendidikan, yakni segi kognitif, afektif dan skill. Nah, selama ini apakah kita sudah bisa mendeteksi ketiga hal ini secara seimbang. Sulit untuk dijawab tentunya. Di sisi lain, bidang-bidang humaniora, seperti misalnya sejarah, masih disinyalir amat sedikit pemahaman siswa khususnya tentang Sejarah Indonesia/Sejarah Nasional. Dalam kesempatan wawancara dengan Kompas, Mendikbud, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, membeberkan pula hal ini. ‘Di Amerika Serikat, anak-anak tahu siapa sastrawan terkemuka di negaranya, siapa pelukis-pelukis ternama, termasuk lagu-lagu yang menjadi khasanah budaya bangsanya. Lha kita di sini hanya tahu lagu ‘Apanya dong’. Ya memang baik, tetapi belum cukup. Khasanah budaya bangsa yang kita miliki juga harus diketahui’ demikianlah pendapat Mendikbud.
Drs. Sahat Marulitua Siregar, membandingkan, bahwasanya ide gagasan Mendikbud, sebenarnya bukanlah ‘barang baru’. Pendidikan di Indonesia beberapa waktu yang lalu sudah berproses dari dua sisi. Sisi pertama mekanisme pendidikan di Indonesia di semua jenjang otomatis memberikan mata pelajaran yang bersangkut paut dengan Agama, Pancasila dan Civic; sementara di sudut lain, tersedia pula berbagai jenis materi pelajaran yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
Sementara itu, Drs. Yusuf Amir Feisal, sebagai perbandingan memberikan suatu informasi bahwa di Amerika Serikat, pendidikan humaniora pernah diberikan dengan nama pendidikan umum (general studies). Atau dalam pengertian terbatas, di Indonesia pernah diberikan dengan nama Perkuliahan Umum (Studium Generale), yaitu pendidikan komprehensif yang merupakan pelengkap bagi pendidikan profesional. Termasuk dalam rumpun ini adalah kuliah mengenai sejarah, bahasa, filsafat, sosiologi dan lain-lain.
Bidang-bidang Studi Humaniora, jika dikaitkan dengan isi dari kurikulum sekilas dari pengamatan global sudah terdapat didalamnya. Apabila yang dipermasalahkan adalah porsi dari bidang humaniora dan bidang sains dan teknologi kiranya perlu kajian lebih mendalam. Di samping itu, di sisi lain kita cenderung kurang memahami kebudayaan diri sendiri. Misalnya, bahasa daerah. Beberapa keluhan yang penulis dapat rekam, khususnya dari generasi di atas saya, Bahwa pada saat sekarang, siswa/mahasiswa kurang meminati kebudayaan bangsa sendiri. Kebudayaan yang dipuja oleh orang Barat. Di sisi lain kita belum kenal secuil pun apa itu peloq, apa itu nembang, apa itu panembrono, dsbnya yang kesemuanya ini sungguh adiluhung. Ini, yang sering dilupakan. disisi lain kita begitu serius untuk mengejar ketinggalan kita dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atom dan nuklir, yang terakhir ini merupakan bidang studi yang akan diterapkan di SLTA, bahkan sudah diuji cobakan di beberapa SMA di Jakarta. Rencananya masuk kurikulum yang akan datang? Tapi dipihak lain kebudayaan kita, sedikit dijamah. Nah! Kiranya sudah waktunya untuk kita kembali ke kebudayaan sendiri, untuk mencoba membentuk diri sendiri sebagai manusia yang berbudaya. Cara yang paling relevan adalah pendidikan.
Pendidikan, tidak lepas dari kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan jantung dari kehidupan pendidikan. Upaya untuk tidak lupa kepada kebudayaan sendiri, adalah bagaimana cara kita menanamkan kebudayaan ini di sekolah-sekolah formal. Secara praktis, kalau memang kesulitan dalam hal waktu. Tidak ada jeleknya, apabila bidang studi ini, dimasukkan dalam kategori ekstra kurikuler. Sore pun jadi. Yang sulit, mungkin instruktrur/pelatih!
Kebudayaan bangsa Indoensia, cukup tinggi. Dilihat dari Candi, Tari, Musik, Gamelan (Karawitan), dsbnya. Sayang apabila diabaikan. Ide pendidikan humaniora akan lebih baik apabila ditunjang dengan kebudayaan ala Indonesia, seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Sedang tentang bagaimana, dan cara apa yang ditempuh, kiranya perlu studi yang cukup mendalam. Dalam hal ini, toh kita punya badan yang berwenang. Depdikbud, dalam hal evaluasi kurikulum punya badan/lembaga yang bernama Pusat Pengembangan Kurikulum (PUSKUR) yang di bawah naungan BP3K (Balitbang/Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan). Dari badan/lembaga inilah, diharapkan adanya suatu studi bagaimanakah porsi dari pendidikan humaniora dan pendidikan teknologi dan sains. Di samping itu perlu pula dikaji, sebarapa jauh pemahaman siswa tentang budaya bangsanya.

Manusia Indoensia Seutuhnya (MIS)
            Pembangun Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indoensia, demikianlah yang dinyatakan dalam GBHN, khususnya butir B (Landasan Pembangunan Nasional). Jelas, pernyataan ini identik dengan tujuan pendidikan humaniora, yakni pembentukan manusia yang utuh.
            Berbicara tentang manusia seutuhnya, sebenarnya adalah menganalisa secara konsepsional (teoritis dan praktis), apa dan bagaimana perwujudan manusia seutuhnya itu. Konsep tradisional, seutuhnya (kebulatan) dimaksud ialah kebulatan atau integritas antara aspek jasmaniah dengan rokhaniah, antara akal dan keterampilan. Manusia seutuhnya dalam konsep modern, perlu dianalisa menurut pandangan (berdasar sistem nilai dan psikologi) sosio-budaya Indonesia.
            Tentang konsep manusia Indonesia seutuhnya, Ki Hajar Dewantara perintis pendidikan di Indonesia. Sejak lama telah melemparkan gagasannya. Ki Hajar Dewantara, selalu melihat bahwa yang menjadi sasaran pendidikan manusia, dan pendidikan dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu, maka pendidikan harus selalu berada dalam konteks kemanusiaan dan pelaksanaannya harus manusiawi.
            Menurut Ki Hajar Dewantara, manusia di dunia ini bereksistensi sebagai jiwa-raga. Berdasarkan hal tersebut, maka segala potensi kodrati yang mengenai jiwa raga itu harus dapat dikembangkan secara menyeluruh. Dengan pengertian jiwa, pada umumnya meliputi segi cipta, rasa dan karsa. Hal-hal tersebut juga harus dikembangkan secara berimbang dan bulat. Dus, jika dihubungkan dengan pendidikan, maka anak didik harus dapat dididik secara utuh-bulat, meliputi raganya, ciptanya (akal), penalarannya, rasanya dan karsanya (keterampilan). Maka, kesimpulannya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara menentang intelektualismen, dianggap berat sebelah, hanya mengembangkan kecerdasan saja. Sehingga tidak dapat digunakan untuk menanamkan semangat dan jiwa kebangsaan, kemampuan berdikari dan mandiri. Pendidikan yang demikian, tidak akan mampu mendidik siswa secara utuh-bulat.
            Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, kalau diterapkan pada masa sekarang, bolehlah. Pas! dengan konsep pendidikan manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya yang diharapkan dari pendidikan humaniora. Hanya ada perbedaan yang prinsipil, kalau dilihat dari konteks waktu. Ketika zaman Ki Hajar Dewantara, adalah zaman perjuangan. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara lebih menekankan semangat kebangsaan, jiwa nasional. Ki Hajar Dewantara menempatkan pendidikan sebagai wahana untuk perjuangan. Ini kita sadari. Karena lahirnya konsep pendidikan ditengah kecamuknya perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
            Manusia Indonesia seutuhnya, yang kita cita-citakan. Telah pula disepakati dan dinyatakan dalam GBHN, perlu untuk diwujudkan. Wahana yang paling relevan dan paling cocok adalah pendidikan. Sedang pendidikan yang relevan. Kurikulum yang relevan, adalah kurikulum yang secara global harus bisa memberikan kepada siswa dua isi pokok. Antara pengetahuan intelektualismen dan humaniora. Kedua-duanya harus seimbang, serasi, dan saling kait-mengkait. Kecenderungan untuk mencetak manusia yang intelektual, tanpa diimbangi dengan humaniora, menjadi manusia yang timpang. Dalam artian, manusia dianggap sebagai mesin, mengandalkan otak. Tanpa watak.
            Konsep pendidikan humaniora, esensinya adalah pendidikan yang ethis. Pendidikan Etika. Pendidikan yang memandang manusia sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan pendidikan watak. Tanpa mengabaikan pendidikan teknologi dan sains. Yang perlu ditekankan ciri khas manusia budaya Indonesia, yang idealnya kita cita-citakan.
            Tentang konsep pendidikan watak. Sementara kita bisa banyak belajar dari Pendidikan Watak di PPSP IKIP Surabaya. Dalam Rapat Kerja Nasional 1983 Depdikbud, 6 Juni 1983 Mendikbud mengemukakan bahwa tujuan pendidikan yang primer adalah pembentukan watak, sesudah itu barulah pembentukan intelek. Sejalan dengan hal ini, menurut I Made Pidarta (Surabaya Post, Juni 1983) mengemukakan bahwa di PPSP IKIP Surabaya, telah merintis pendidikan watak tersebut. Sedang pendidikan yang dipakai wahana untuk mengembangkan pendidikan watak di PPSP ialah ; 1. Pendidikan Afeksi, 2. Proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP, 3. Proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi Agama, 4. Proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi Sejarah Nasional, 5. Pendidikan Cinta Lingkungan, 6. Pendidikan Persatuan dan Kesatuan Murid di Sekolah, 7. Pendidikan Kreativitas dan Tanggung Jawab Murid, 8. Studi Laboratorium.

Tindak lanjut
            Pendidikan Humaniora itu perlu, sudah kita ketahui. Yang semula merupakan ide/gagasan dari Mendikbud, Prof. Nugroho Notosusanto. akhirnya menjadi kesepakatan nasional. Sebagai model dari pendidikan nasional yang dianggap ideal. Oleh karena itu, sekarang yang perlu dilakukan adalah tindak lanjut dari konsep pendidikan humaniora tersebut. Secara praktis, pelaksanaan dari konsep ini tidak ada cara yang paling relevan, kecuali melalui kurikulum. Melalui pendidikan. Sebagai salah-satu cara yang dianggap paling ideal dan logis.
            Seperti kita ketahui, bidang-bidang humaniora, adalah bidang studi yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Untuk memanusiakan manusia. Tidak berlebihan sebagai faktor sentral. Faktor yang utama. Demikian dianggap punya peranan yang penting, dalam pendidikan manusia seutuhnya. Sehingga, dalam Rakernas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, dicanangkan sebagai pendidikan yang primer adalah pembentukan watak, sesudah itu barulah pembentukan intelek.
            Semua konsep yang dianggap ideal, memang perlu follow-up. Tindak lanjut. Dengan demikian tidak tinggal ide belaka. Apalagi sudah hampir disepakati sebagai konsep nasional. Sekarang yang menjadi masalahnya adalah bagaimana konsep ini dapat diterjemahkan dalam suatu policy yang nyata.
            Ada dua contoh yang penulis temui tentang pelaksanaan pendidikan humaniora, paling tidak dua contoh ini kita anggap saja mewakili konsep Barat dan Timur. Sebab, satu contoh di Indonesia sendiri, dan yang kedua adalah di Amerika Serikat.
            Di Universitas Sebelas Maret, di Fakultas Sasdaya (Sastra dan Budaya), sejarah tahun 1980 telah memasukkan ‘Logika dan Bahasa’ dan ‘Retorika’ sebagai Mata Kuliah Wajib fakultas. Di PPSP IKIP Surabaya, juga dirintis pendidikan yang dipakai wahana untuk mengembangkan watak, antara lain pendidikan afeksi, proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP, bidang studi Agama, dan yang dipakai wahana untuk mengembangkan watak, antar lain pendidikan afeksi, proses belajar mengajar dan evaluasi bidang studi PMP, bidang studi Agama, dsbnya. Seperti yang telah penulis kemukakan di atas.
            Di Universitas New York, pada tahun 1979, didirikan suatu Dewan Ilmu Humaniora untuk mengatur perkuliahan dan seminar yang khusus atau ekstrakurikuler dalam ilmu humaniora untuk mahasiswa prasarjana; kuliah humaniora juga sudah dimulai dalam beberapa jurusan profesi, diantaranya fakultas kedokteran gigi. Di samping itu suatu usulan untuk kurikulum inti yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa prasarjana di Universitas New York kini juga tengah diperdebatkan.(John C. Sawhill, 1979).

Penutup
            Pendidikan Humaniora, muncul sebgai suatu akibat dari iklim atau kondisi yang sangat membutuhkannya. Sejarah telah menunjukkan. Renaissance, muncul karena adanya keinginan untuk bangkit kembali dan untuk menumbuhkan kembali kebudayaan klasik.
            Bidang humaniora bukanlah hal yang baru. Bidang humaniora telah tercakup pula dalam kurikulum. Permasalahannya adalah pendidikan dewasa ini cenderung untuk sedikit sekali perhatiannya terhadap bidang ini. Yang sebenarnya, bidang humaniora adalah kebutuhan kita. Kebutuhan kita, pengetahuan yagn membentuk manusia menjadi intelek juga membentuk manusia berwatak. Untuk itu perlu ditekankan bidang humaniora agar seimbang dengan pendidikan lainnya, khususnya pendidikan yang membentuk manusia intelektual. Dengan harapan agar manusia seutuhnya, dapat terwujud.
            Sesuai yang digariskan dalam GBHN, tujuan pembangunan adalah manusia Indoensia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya, yang berbudaya Indonesia. Ini bisa direalisir lewat pendidikan. Satu-satunya wahana yang dianggap relevan. Langkah awal, tentu saja harus menyesuaikan kurikulum, Kurikulum yang bagaimana yang dapat membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang berwatak dan intelektual. Mengenai hal ini kita serahkan kepada yang berwenang yakni pemerintah cq Depdikbud. Mungkin, lewat BP3K (Balitbang) dengan segenap lembaga yang dibawah koordinasinya, seperti PUSKUR (Pusat Pengembangan Kurikulum), diharapkan tujuan ini dapat terwujud.
            Pendidikan humaniora muncul sebagai suatu konsensus nasional. Adalah merupakan suatu akibat dari tujuan yagn mulia. Tujuan manusia Indonesia yang kita cita-citakan.
            Tidak kalah pentingnya dalam merealisasi pendidikan humaniora agar seimbang dengan bidang lainnya. Adalah peranan pemerintah, dalam hal ini depdikbud, sebagai ‘policy maker’ dalam bidang pendidikan. adanya isu tentang menurunnya bidang humaniora dalam pendidikan kita, pendidikan di Indonesia. Tentunya kita tidak boleh gegabah untuk menyimpulkan begitu saja. Paling tidak harus ada suatu data yang dapat dijadikan tolok ukur (patokan). Demikian pula adanya isu pendidikan, tentang menurunnya mutu/kualitas pendidikan dewasa ini.
            Semua isu ini, (mutu dan pendidikan humaniora, dll) perlu diteliti, dievaluasi. Pada tahun 1972, Depdikbud pernah menyelenggarakan PPNP (Proyek Penilaian Nasional Pendidikan), yang bersakala nasional, melibatkan 12 propinsi, dan 15.000 responden dari brbagai level. Nah! Kiranya sebelum diambil kebijaksanaan tentang perubahan kurikulum, bidang humaniora, dsbnya. Sudah waktunya kita melakukan penilaian/penelitian yang berskala nasional. Dari sini, baru ada bahan untuk mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam bidang pendidikan. Tapi kapan?

SUMBER BACAAN

1.      Amir Feisal, Yusuf,  Pendidikan Humaniora; Membangun Kecerdasan Akal, Panji Masarakat No 395.

2.      Bagi Indonesia, Pendidikan Humaniora Tetap Penting’, wawancara, Jawa Pos, Sabtu Pahing, 3 Agustus 1985.

3.      Boli Lasan, Blasius, Nilai Humaniora Versus Nilai Materi, Komunikasi, Oktober 1983.

4.      Broto, AS, ‘Humaniora ; Manifestasi Kehidupan Muslim’, Guru Besar Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Panji Masyarakat, No. 395.

5.      Drost SJ., ‘Humaniora’, KOMPAS, Selasa, 12 April 1983, halaman IC.

6.      FORUM PENDIDIKAN, khusus rubrik pendidikan, edisi No. 55 Th V, Juli 1984.

7.      Garis-Garis Besar Haluan Negara, Penerbit Sinar Wijaya Surabray, 1983.

*)  Artikel dimuat di Majalah Mahasiswa, Direktorat Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 44 Tahun VIII Nopember 1985.
**) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan, IKIP PGRI Malang. Pernah mengurusi Sie Penalaran dan Pendidikan Senat Mahasiswa IKIP PGRI Malang. Banyak menulis di  harian Suara Indonesia, Jawa Pos, Komunikasi IKIP Malang. Serta majalah Psikologi Anda, dan majalah Mahasiswa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...