SEBAIKNYA
ANDA TAHU,
CIRI-CIRI ANAK BERBAKAT*)
Hari
Karyono**)
Tuhan menciptakan manusia dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Begitu pula tentang kemampuan ataupun kecerdasan, setiap
individu dibekali dengan potensi yang berbeda satu dengan lainnya. Ada kalanya
seseorang dikaruniai intelegensi yang tinggi, tetapi ada pula yang mempunyai
intelegensi rendah.
Anak yang mempunyai intelegensi tinggi sering dinamakan
anak “jenius” atau berbakat. Ada sementara orang beranggapan bahwa untuk
menentukan anak berbakat adalah dengan mengukur IQ (intelligence quotient) anak tersebut. Tetapi pendapat ini belumlah
lengkap, karena untuk menentukan anak berbakat banyak aspek yang harus dinilai.
Anak berbakat tidak cukup hanya ditentukan pada IQ saja, melainkan juga
kepribadiannya, perkembangan sosial dalam masyarakat maupun pengaruh-pengaruh lingkungannya.
IQ adalah suatu ukuran inteligensi yang dikenakan pada
seseorang setelah menjalani suatu tes khusus. Dari tes khusus ini, didapat
suatu angka yang berkisar antara 0-140. Dari perolehan angka tertentu, seorang
anak dapat dimasukkan dalam golongan klasifikasi apakah anak tersebut lemah,
cukup, pandai dan jenius.
Whiterington, dalam bukunya “Psikologi Pendidikan” (alih
bahasa: M. Buchori), mengemukakan klasifikasi anak menurut IQ serta
golongannya:
IQ antara 0 – 70 =
golongan lemah jiwa.
IQ antara 70-80 =
golongan perbatasan.
IQ antara 80-90 =
golongan bodoh.
IQ antara 90-110 =
golongan normal.
IQ antara 110-120 =
golongan superior.
IQ antara 120-130 =
golongan sangat superior.
IQ antara 130 ke atas =
golongan genius.
------------------
*) Artikel dimuat di SUARA INDONESIA, Minggu, 29
September 1985.
**) Penulis adalah mahasiswa
tingkat doktoral IKIP PGRI Malang dan anggota staf redaksi “KOMUNIKASI” Koran
Kampus IKIP Malang.
Ciri Anak Berbakat
Telah
disebutkan bahwa anak berbakat tidaklah cukup hanya dinilai dari segi IQ saja.
Banyak faktor lain, kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh anak biasa.
Untuk mengetahui lebih jelas dan terperinci tentang ciri-ciri dari anak berbakat, berikut adalah ciri-ciri
dari anak berbakat.
Menurut
Dr. Zaini Machmoed dalam “Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan”, mengemukakan
ciri-ciri anak berbakat sebagai berikut:
·
Membaca pada usia lebih muda, dan berminat untuk membaca.
·
Membaca lebih cepat dan banyak.
·
Kaya perbendaharaan kata-kata.
·
Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat.
·
Mempunyai minat yang luas (juga terhadap masalah
“dewasa”).
·
Mempunyai inisiatif dapat bekerja sendiri.
·
Menunjukkan orisinalitas dalam ungkapan verbal.
·
Memberikan jawaban-jawaban yang baik.
·
Dapat memberikan banyak alternatif/gagasan.
·
Fleksibel dalam berpikir.
·
Terbuka terhadap lingkungan.
·
Mempunyai pengamatan yang tajam.
·
Dapat berkonsentrasi untuk jangka panjang.
·
Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri.
·
Senang untuk menciptakan hal-hal yang baru.
·
Bersifat ingin menyelidiki, menjajagi.
·
Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi dan sintesa yang tinggi.
·
Senang terhadap kegiatan intelektual, memecahkan masalah.
·
Kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan (sebab-akibat).
·
Perilaku terarah terhadap tujuan.
·
Mempunyai daya imajinasi.
·
Mempunyai banyak kegemaran.
·
Mempunyai ingatan baik (terhadap hal-hal yang menarik
perhatian).
·
Tidak cepat puas dengan prestasinya.
·
Sensitif dan menggunakan firasat.
·
Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
·
Senang terhadap kebenaran.
Nah! Kiranya jelaslah bagi kita bahwa anak berbakat paling tidak haruslah
memenuhi kriteria tersebut di atas. Mungkin tidak semua kriteria tersebut dapat
langsung diidentifikasi terhadap seseorang/anak. Banyak cara untuk mengukur/
merekam kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh anak berbakat. Ada beberapa tes
yang dapat digunakan, secara garis besar adalah tes yang mengacu pada perilaku
dan pengetahuan
Potensi
Di setiap Negara, dapat dipastikan terdapat sekelompok
anak berbakat. Tentu jumlahnya relatif kecil. Sebagai gambaran. Witherington
dari hasil penyelidikannya berhasil menemukan suatu perbandingan yang didapat
dari sekelompok masyarakat. Kemungkinan perbandingan ini adalah sebagai berikut
ini.
1% golongan lemah jiwa; 5% golongan perbatasan; 14%
golongan bodoh; 60% golongan normal; 14% golongan superior; 5% golongan sangat
superior; 1% golongan genius.
Tercatat di sini bahwa anak berbakat hanyalah sekitar 1%
saja perbandingan di dalam sekoelompok masyarakat. Luning Prak, menyebutkan
angka 2½%. Sedang Bernhardt berpendapat sama dengan Whiterington yakni 1%.
Di Indonesia pada bulan Juni 1981 setelah diteliti
didapatkan angka 1.500 anak yang digolongkan ‘berbakat luar biasa atau jenius’ (‘Kompas’, 12 Juni 1981, hal VI). Adanya anak berbakat merupakan
suatu hal yang perlu untuk ditangani secara khusus. Sebab anak ini berbeda
dengan anak biasa/kebanyakan. Mereka tidak dapat dijadikan satu dengan
siswa-siswa lainnya di sekolah pada umumnya.
Mantan Mendikbud Dr. Daoed Joesoef pernah pula
mengemukakan pendapatnya, bahwa anak-anak jenius ini merupakan potensi bangsa
yang pantas dikembangkan. Oleh karena itu pemerintah c/q Depdikbud dengan
lembaga BP3K telah memulai suatu proyek yang khusus menangani anak berbakat
ini. Ketua Proyek Anak Berbakat adalah Prof. Dr. Conny Semiawan. Begitu pula
dengan kurikulum untuk anak berbakat, karena pendidikan ini adalah khusus maka
sekolahnya pun akan dinamai ‘Sekolah Luar Biasa F’
Memang wajar apabila anak berbakat ini dapat pelayanan yang khusus, istimewa. Karena daya
nalar mereka yang amat tinggi, cerdas dan punya minat untuk meneliti yang
begitu besar dan gemar akan kegiatan ilmiah. Dalam belajar pun perlu pula
pelayanan individual.
Harapan kita semua mudah-mudahan dengan adanya penanganan
yang khusus bagi anak berbakat, mereka benar-benar bisa jadi potensi bangsa
yang patut dibanggakan. Demikian pula bagi orang tua yang telah benar-benar
mengetahui anaknya termasuk ‘anak yang berbakat luar biasa’ atau ‘jenius’ sebaiknya
secepatnya untuk menghubungi lembaga yang berwenang, misalnya Depdikbud
setempat.
Kita acungkan jempol kepada Depdikbud yang akhir-akhir
ini mencoba menggarap ‘anak berbakat’. Tentang bagaimana hasilnya? kita tunggu
saja!
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat doctoral IKIP PGRI
Malang dan anggota staf redaksi ‘Komunikasi’ Koran kampus IKIP Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar