PELAYANAN PRIMA TERHADAP PELANGGAN
Oleh:
Dr. Hari Karyono, M.Pd
Dosen Pascasarjana Unipa Surabaya
(today.karyono@gmail.com)
|
Kata-kata kunci: pelayanan prima, pelanggan.
Davidow (dalam Lovelock, 1988) menyebutkan
bahwa pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan
meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing
which when added to a product,increase its utility or value to the customer). Lebih
lanjut Lovelock (1988) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik membutuhkan
instruktur pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling penting adalah
membuat setiap orang dalam organisasi pada kualitas.
Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut: penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance in specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol tenis menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa.
Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut: penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance in specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol tenis menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa.
Pelayanan merupakan respons terhadap
kebutuhan manajerial yang hanya akan terpenuhi kalau penggunajasa itu
mendapatkan produk yang mereka inginkan (Lovciock, 1988). Jika demikian halnya
maka apa yang menjadi perumpamaan bahwa pembeli adalah raja (the customer is
always right) menjadi sangat penting dan menjadi konsep yang mendasar bagi
peningkatan manajemen pelayanan.
Groonros (dalam Lovelock, 1988) menyebutkan
bahwa manajemen pelayanan yang efektif memerlukan perubahan fokus dari
menciptakan produk berkualitas dan daya manfaatnya, menjadi kualitas
keseluruhan serta daya manfaat yang meliputi setiap aspek hubungan dengan
pengguna jasa. (Vrye, 1994) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik merupakan
bisnis yang menguntungkan (good service is good business).
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin
terbuka di era globalisasi nanti, maka dorongan untuk membangun pemerintahan yang
digerakkan oleh pelanggan (building a customer driven government) dengan
semakin memperbaiki manajemen pelayanan, semakin strategis dan menjadi variabel
penentu dalam memenangkan kompetisi ini. OIeh karena itu, perlu adanya
perubahan perspektif manajemen pelayanan yang mengubah fokus manajemen baik
dalam perusahaan jasa maupun perusahaan manufaktur. Perubahan perspektif yang
dimaksud, menurut Gronroos (dalam Lovelock, 1988) adalah sebagai berikut:
a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total
dalam hubungan dengan pengguna jasa. (from the product based utility in (he
customer relationship).
b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubungan jangka panjang (from
short-from transaction to long from relationship).
c. Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas teknis dari
suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para pengguna jasa
dalam mempertahankan hubungan dengan pengguna jasa (from care product) (good
or service) quality the technical quality of the outcome to total customer
perceived quality in enduring customer relationship).
d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam
organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas keseluruhan sebagai
proses kuncinya. (from production of the technical collection as the key
process in the organization to developing total utility and total quality as
the key process).
A. Memahami Siapa itu Pelanggan
Secara histirus, konsep tentang pemasok dan pelanggan telah
diinter-pretasikan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Tinjauan Tradisional tentang
Pemasok dan Pelanggan
Sebuah organisasi menggunakan proses
tertentu yang dengannya organisasi tersebut menghasilkan produknya. Orang yang
berinteaksi dengan peusahaan sebelum proses memproduksi produk, dipandang
sebagai pemasok. Mereka yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses
telah memproduksi suatu produk dianggap sebagai pelanggan. Dari perspektif
tradisional ini, pelanggan dan pemasok keduanya adalah entitas eksternal.
Gambar 2 berikut ini mengilustrasikan suatu pandangan yang lebih kontemporer
tentang pemasok dan pelanggan.
Gambar 2: Tinjauan Kontemporer atas
Pemasok dan Pelanggan
Dalam tatanan mutu total, pelanggan dan
pemasok ada di dalam dan di luar organisasi. Karyawan manapun yang pekerjaannya
mendahului karya-wan lain adalah pemasok untuk karyawan lain itu. Sehubungan
dengan itu, karyawan manapun yang pekerjaannya menyusul sesudah pekerjaan
karya-wan lain dan tergantung dalam beberapa hal padanya adalah pelanggan.
Konsep ketergantungan ini penting dalam
hubungan pemasok-pelang-gan. Seorang pelanggan, apakah internal atau eksternal,
tergantung pada pemasok untuk menyajikan kerja bermutu dan memproduksi
produk-produk bermutu.
Menurut Scholtes (dalam Goetsch dan Davis,
2002) mengemukakan bahwa para pelanggan eksternal yang membeli produk, secara
finansial men-dukung organisasi. Jelas bahwa memuaskan orang-orang ini
merupakan hal penting. Di dalam perusahaan, karyawan meneruskan pekerjaan
mereka ke-pada karyawan lain, yang merupakan pelanggan internal mereka. Sama
hal-nya, pemasok eksternal adalah orang di luar organisasi yang menjual bahan,
informasi, atau jasa kepada organisasi. Dalam perusahaan, karyawan mene-rima pekerjaan
yang diteruskan dari orang lain dalam organisasi, pemasok internal. Oleh karena
itu, setiap pekerja adalah pelanggan dari pekerja terda-hulunya; dan
masing-masingnya mempunyai pelanggan, yakni orang yang menerima pekerjaan
selanjutnya dari kepadanya pekerja tadi.
B. Memahami Kualitas yang Ditentukan Pelanggan
Dalam tatanan mutu total, kualitas
ditentukan oleh pelanggan, Scholtes (dalam Goetsch dan Davis, 2002) mengatakan
bahwa setelah anda sudah memahami apakah proses dan pelanggan itu, anda akan
mempu menghargai apa artinya mutu dalam dunia bisnis yang baru. Jika pelanggan
adalah orang yang menerima pekerjaan anda, hanyalah mereka yang dapat
menentukan apakah mutu itu, hanya mereka yang dapat mengatakan kepada anda apa
yang mereka inginkan dan bagaimana mereka menginginkannya. Oleh karena itu,
satu slogan yang populer dari gerakan mutu adalah “mutu dimulai dari
pelanggan.” Anda harus bekerja dengan pelanggan internal dan eksternal untuk
menetapkan kebutuhan mereka, dan bekerja sama dengan para pemasok internal dan
eksternal.
Dalam bukunya Total Manufacturing
Management, Giorgio Merli mengemukakan pokok-pokok berikut tentang mutu yang
ditentukan oleh pelanggan.
- Pelanggan harus menjadi
prioritas puncak organisasi. Tetap hidupnya or-ganisasi tergantung pada
pelanggan.
- Pelanggan yang dapat
diandalkan adalah pelanggan yang paling penting. Pelanggan yang dapat
diandalkan adalah pelanggan yang membeli beru-lang-ulang dari organisasi yang
sama. Pelanggan yang puas dengan mutu pembelian mereka dari sebuah organisasi
menjadi pelanggan yang handal. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan itu hakiki.
- Kepuasan pelanggan itu
dijamin dengan memproduksi produk-produk ber-mutu tinggi. Kepuasan itu harus
diperbaharui pada setiap pembelian baru. Ini tidak dapat dicapai jika mutu itu,
walaupun tinggi, tetapi tetap statis. Kepuasan mengimplikasikan perbaikan terus
menerus. Perbaikan terus menerus itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga
kepuasan dan kesetiaan pelanggan.
Jika kepuasan
pelanggan adalah prioritas paling tinggi dari organisasi mutu total, maka
selanjutnya sebuah organisasi harus memiliki fokus pelang-gan. Praktek
manajemen tradisional yang menempuh pendekatan manaje-men berdasarkan hasil
itu, melihat ke dalam. Sebuah organisiasi dengan fokus pelanggan itu melihat ke
luar.
Peter R. Scholtes (dalam Goetsch dan Davis,
2002) menggambarkan konsep itu sebagai berikut : sementara manajemen
berdasarkan hasil mulai dengan laba dan rugi serta laba atas investasi (ROI),
kepemimpinan mutu dimulai dari pelanggan. Dibawah kepemimpinan mutu, tujuan
sebuah organi-sasi adalah mencapai dan melebihi kebutuhan pelanggan, memberi
nilai abadi kepada pelanggan.
C. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan (service quality)
telah hampir menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu
organisasi pemerintah maupun organisasi perusahaan. Pelayanan yang baik dan
sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa, sangat penting dalam upaya mewujudkan
kepuasan pengguna jasa (customer satisfaction). Pada saat lingkungan
bisnis bergerak ke suatu arah persaingan yang semakin ketat dan kompleks, dimana
titik tolak strategi bersaing selalu diarahkan kepada asumsi, bahwa kondisi
pasar sudah bergeser dari “sellers market” ke “buyers market” maka
sebagai kata kuncinya menurut Husaini (1994) adalah memenangkan persaingan
pasar melalui orientasi strategi pada manajemen pelayanan prima (excellent
service management).
Untuk mewujudkan kondisi sebagaimana
disebutkan di atas, diperlukan pemahaman terhadap faktor kunci eksternal dengan
cara:
a. Memulai mengenali dinamika customers need and wants;
b.Mengembangkan suatu kerangka pendekatan ke arah pencapaian
kepuasan pelanggan.
c. Pertemukan tujuan badan usaha dalam rangka pencapaian kepuasan
pelanggan (Husaini, 1994).
Faktor-faktor eksternal tersebut, perlu
direspons setiap pucuk pimpinan baik pimpinan dalam organisasi birokrasi mapun
perusahaan, dengan mengintegrasikan berbagai unsur atau elemen guna
menghasilkan produk layanan yang dapat memuaskan penggunajasa, dimana pada
intinya adalah perlunya perbaikan kinerja organisasi yang berorientasikan pada
keselunihan proses untuk menciptakan “value to customer” yang terkait
dengan aspek mutu produk dan jasa, waktu pembuatan dan penyerahan (cycle
time), biaya yang rendah serta produktivitas yang sangat tinggi (Husaini,
1994 : 4). Jika demikian halnya, maka pucuk pimpinan itu, memiliki peranan
sentral dalam meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga mainpu memberikan
kepuasan kepada pelanggan. Oleh karena itu, pucuk pimpinan dituntut memiliki
visi kebijakan dan strategi yang jelas. Kondisi demikian sebagaimana terlihat
dalam gambar berikut ini:
Jika demikian halnya, maka menempatkan
konsumen pada tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan penting dalam memenangkan
kompetisi di tingkat global. Dalam mengembangkan organisasi yang berorientasi
konsumen (customer oriented), maka semua kegiatan harus berbasis pada
kebutuhan dan keinginan pelanggan (customer needs and wants) dan
persepsi konsumen terhadap nilai dan mutu suatu produk (barang dan jasa) banyak
dipengaruhi oleh pelayanan prima sebagai atribut yang melekat pada produk inti
itu sendiri (Saragih, 1994). Kotler (dalam Saragih, 1994) menyebutkan bahwa konsumen
masa depan menginginkan proses yang lebih cepat, profesionalisme dan praktis.
Demildan halnya Lovelock (1992) bukan hanya mengi kuti kemajuan teknologi
tetapi hendaknya lebih banyak ditujukan sebagai jawaban atas permmtaan konsumen
yang menginginkan mformasi yang lebih baik, pelayanan yang lebih cepat dan
variasi penunjukan produk mti yang lebih memikat.
Dalam tingkat operasional, nienurut pandangan Saragih (1994) akan menimbulkan masalah sebagai berikut:
Dalam tingkat operasional, nienurut pandangan Saragih (1994) akan menimbulkan masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana fungsi pelayanan
konsumen ini diaktifkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
b.
Orang-orang dan sistem macam
apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
c.
Bagaimana mendesain suatu
fungsi pelayanan yang baik serta bagaimana menjalankannya secara efektif.
Solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi
masalah tersebut, adalah perlunya penyediaan pelayanan yang tepat, dan
konsisten pada saat dibutuhkan, dan pada gilirannya akan menimbulkan rasa puas
pada pemakai jasa (Normann, 1991). Sedangkan Vrye (1994) menekankan kepada
perlunya manajer pada organisasi jasa yang harus memahami dengan baik
jenis-jenis keluhan pengguna jasa.
Kesulitan mendapatkan pelayanan yang
berkualitas akan mengakibatkan munculnya take and give antara client
atau customer dan yang memberi pekerjaan (Silalahi, 1997). Jika hal ini
terjadi maka akan memunculkan adanya suap, sebab bagi orang-orang yang membayar
uang suap, kelambatan pelayanan dapat diatasi dengan mudah. Kecepatan pekerjaan
yang didasarkan atas suatu imbalan kepada pejabat atau pegawai yang melayani
mereka, hanya akan nnengakibatkan kurangnya rasa hormat pengguna jasa terhadap
organisasi.
Agar aktivitas dan pengambil keputusan lebih
dekat dan mengutamakan pelayanan pelanggan maka harus diciptakan struktur
organisasi yang apresiatif dan adaptif yakni struktur yang lebih
desentralisasi. Dengan demikian pemimpin yang berjiwa wirausaha secara naluriah
mencoba menjangkau pendekatan yang terdesentrahsasi dengan mengarahkan banyak
keputusan ke “pinggiran” atau menekan otoritas keputusan yang lain ke “bawah”
dengan membuat hirarki menjadi datar (flat) dan memberi otoritas kepada
pegawainya (Osborne dan Gaebler, 1992).
Dalam konsep manajemen pelayanan, “memudahkan” wewenang dengan tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada bawahan (Wellim, Byham, Wibon, 1991) hal mana dapat meningkatkan customer service (Stewart, 1994). Secara kelembagaan (institutions), upaya untuk mendekatkan pengambil keputusan dengan pengguna jasa (customer) memang diperlukan perubahan kelembagaan (institutional change) dan pembangunan kelembagaan (institutional development). Oleh sebab itulah maka perubahan struktur dari vertikal ke horizontal atau mengubah srukktur “tall” menjadi struktur “flat”, yang oleh Osborne dan Gaebler (1992) dikatakan sebagai “pemerintahan desentralisasi dari hierarki maupun partisipasi dan tim kerja”. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara pengambil keputusan dengan pelanggan yang oleh Stewart disebut sebagai “close to the customer” (Stewart, 1994).
Dalam konsep manajemen pelayanan, “memudahkan” wewenang dengan tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada bawahan (Wellim, Byham, Wibon, 1991) hal mana dapat meningkatkan customer service (Stewart, 1994). Secara kelembagaan (institutions), upaya untuk mendekatkan pengambil keputusan dengan pengguna jasa (customer) memang diperlukan perubahan kelembagaan (institutional change) dan pembangunan kelembagaan (institutional development). Oleh sebab itulah maka perubahan struktur dari vertikal ke horizontal atau mengubah srukktur “tall” menjadi struktur “flat”, yang oleh Osborne dan Gaebler (1992) dikatakan sebagai “pemerintahan desentralisasi dari hierarki maupun partisipasi dan tim kerja”. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara pengambil keputusan dengan pelanggan yang oleh Stewart disebut sebagai “close to the customer” (Stewart, 1994).
Dalam dunia sekarang, dimana informasi
sebenamya tidak terbatas, komunikasi antar daerah terpencil bisa mengalir
seketika, banyak pegawai negeri yang sudah terdidik, dan kondisi telah berubah
dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menunggu
informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Sebab itu dalam
dunia sekarang ini, sesuatu hanya akan berjalan lebih baik jika mereka
yang bekerja di organisasi publik memiliki otoritas untuk mengambil keputusan sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992). Dengan demikian struktur yang didesentralisasi merupakan suatu solusi yang mendekatkan pembuat keputusan publik dengan pengguna jasa publik. Sehingga pada gilirannya berbagai tuntutan pengguna jasa publik akan lebih cepat dapat direspons.
yang bekerja di organisasi publik memiliki otoritas untuk mengambil keputusan sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992). Dengan demikian struktur yang didesentralisasi merupakan suatu solusi yang mendekatkan pembuat keputusan publik dengan pengguna jasa publik. Sehingga pada gilirannya berbagai tuntutan pengguna jasa publik akan lebih cepat dapat direspons.
Adapun ciri-ciri dan struktur yang
didesentralisasi (flat) sebagaimana disebutkan oleh Gomez dan kawan-kawan (1995)
adalah sebagai berikut:
a. Decentralized management approach
b. Few levels of management
c. Horizontal careerpath that cross functions
d. Broadly defined jobs
e. Gcneral job description
f. Flexibel boundaries between jobs and units
g. Emphasis on team
h. Strong focus on the customer
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam
peningkatan kualitas pelayanan (service quality) ialah pembagian keija
atau deferensiasi, Gordon (1993) menyebutkan bahwa:
a.
Dalam hal pembagian keija agar
bercLasarkan diferensiasi harizontal
yang menekankan diferensiasi personal.
yang menekankan diferensiasi personal.
b.
Dalam hal option for
coordination agar dikembangkan central adjustment dengan standardization
of work process, standardization of output dan standardization of skill.
c.
Dalam hal information
processing, agar didasarkan pada organic structure yang memiliki a
high information processing yaitu kapasitas yang cepat dan akurat.
D. Berorientasi kepada Konsumen
Dalam mengembangkan organisasi yang
berorientasi kq)ada konsumen (customer oriented), maka semua kegiatan
harus berbasis pada konsiderasi tentang kebutuhan dan keinginan pengguna jasa,
sebab dalam kesalahan dalam pengidentifikasian kebutuhan dan harapan pengguna
jasa akan menyebabkan pelayanan menjadi tidak berarti dan sia-sia.
Hal-hal yang dapat dipergunakan untuk semakin memahami keinginan pengguna jasa adalah perlunya melakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) dalam suatu organisasi. Lovelock (dalam Husaini. 1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) itu adalah sebagai berikut:
Hal-hal yang dapat dipergunakan untuk semakin memahami keinginan pengguna jasa adalah perlunya melakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) dalam suatu organisasi. Lovelock (dalam Husaini. 1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) itu adalah sebagai berikut:
a. Sarana dan fasilitas yang mendukung efisiensi dalarn kontak
dengan konsumen (presence of absence of intermediaries).
b. Kualitas dan kuantitas kontak dengan konsumen (high contact as
low contact).
c. Konsumen yang dapat berupa individual buyers organisasi (institutional
vs individual purchase).
d. Lamanya proses layanan berikut karakteristik yang menyertai
layanan tersebut (duration of service delivery process).
e.Keterbatasan yang mungkin terdapat dalam pelayanan (capacity contrained
service).
f. Frekuensi dari penggunaan dan pembelian ulang (frequency at
use and repurchase).
g. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan oleh
konsumen (frequency at use and repurchase).
h. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan oleh konsumen
(level of complexity).
i. Menyangkut tingkat resiko kegagalan yang mungkin terjadi dalam
pelayanan yang diberikan (degrees of risk).
Datangnya era pelayanan terbaik kepada pelanggan.
sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan organisasi yakni terwujudnya a
smaller, better, faster and cheaper government, yang menurut bahasa Osborne
dan Gaebler agenda ini bertumpu pada prinsip customer driven govemment.
Instrumennya adalah pembuktian model mental para birokrat untuk lebih suka
melayani. Model yang pertama, menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada
paramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi
bawah. Sebaliknya, model yang kedua menempatkan warga negara (customer)
berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling
bawah, dimana sasaran akhir dan pengembangan model ini, tidak lain adalah
dicapainya pelayanan terbaik kepada masyarakat (Sudarsono, 1996).
E. Pelayanan Prima terhadap Pelanggan
Sudarsono
Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p.
16) menyebutkan beberapa kategori dalam mengkaji pelayanan prima. Pertama,
kategori berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua kategori
yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang mengkaitkan upaya pelayanan prima
dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni :
- Strategy.
- Struktur.
- System.
- Staff.
- Skill.
- Style.
- Share Value.
- Strategy.
- Struktur.
- System.
- Staff.
- Skill.
- Style.
- Share Value.
Tuntutan
dibuatnya “Standar Pelayanan Prima” didasarkan pada pandangan bahwa:
-
The
customer is always right.
-
If
the customer is wrong, see rule number one.
Meskipun rumusan diatas seperti
sesuatu yang tidak serius, namun mengandung konsekuensi penting yakni adanya
adanya tuntutan untuk terus memperhatikan secara serius terhadap kepentingan
pelanggan dan pengembangan pelayanan prima tetap terpusat pada manusia
disamping jika dikaitkan dengan masalah kepemimpinan sering diungkapkan bahwa “Excellence
starts at the top… leadership by example”. Suatu pertanyaan yang muncul
dari uraian diatas, yaitu apakah kita cukup banyak pemimpin yang mampu dan mau
melayani pelanggan secara prima melebihi apa yang diperlihatkan oleh anak
buahnya dalam melayani ?. Ini merupakan suatu tantangan riil yang bukan pada
ribuan karyawan, melainkan bagi sedikit pemimpin tingkat tinggi.
Prinsip-prinsip yang diuraikan oleh
Sudarsono Hardjosoekarto diatas dapat diperluas lagi sebagaimana yang
dikemukakan De Vry (1994) yang mengarahkan elaborasi ini kedalam 7 (tujuh) simple
strategi for success yang kemudian dalam perjalanan waktu disebut service
model, yang meliputi :
a. Self-esteem
b. Exceed expecctation
a. Self-esteem
b. Exceed expecctation
c. Recover
d. Vision
e. Improve
f. Care
g. Empower
Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayan itu ?, dan siapakan pemimpin pelayan?.
Kepemimpinan pelayan membahas realitas kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi legitimasi, kekangan etika dan hasil yang menguntungkan yang dapat dicapai melalui penggunaan kekuasaan yang semestinya. Larry Spears dalam karyanya Greenleaf mengidentifikasi sepuluh ciri khas pemimpin pelayan, yakni :
d. Vision
e. Improve
f. Care
g. Empower
Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayan itu ?, dan siapakan pemimpin pelayan?.
Kepemimpinan pelayan membahas realitas kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi legitimasi, kekangan etika dan hasil yang menguntungkan yang dapat dicapai melalui penggunaan kekuasaan yang semestinya. Larry Spears dalam karyanya Greenleaf mengidentifikasi sepuluh ciri khas pemimpin pelayan, yakni :
(1) Mendengarkan.
(2) Empati.
(3) Menyembuhkan.
(4) Kesadaran.
(5) Bujukan atau persuasif.
(2) Empati.
(3) Menyembuhkan.
(4) Kesadaran.
(5) Bujukan atau persuasif.
(6) Konseptualisasi.
(7) Kemampuan meramalkan.
(7) Kemampuan meramalkan.
(8) Kemampuan
melayani.
(9) Komitmen
terhadap pertumbuhan manusia.
(10) Membangun
Masyarakat.
Kepemimpinan pelayan seperti yang
dikemukakan diatas dapat bermakna terhadap masyarakat pelanggannya apabila
pelayan sungguh-sungguh memperhatikan beberapa dimensi atau atribut perbaikan
kualitas jasa termasuk kualitas pelayanan, yang terdiri :
a. Ketepatan waktu
pelayanan.
b. Akurasi pelayanan.
c. Kesopanan, keramahan
dalam memberikan pelayanan.
d. Tanggung jawab.
e. Kelengkapan.
f. Kemudahan mendapatkan
pelayanan.
g. Variasi model pelayanan.
h. Pelayanan pribadi.
i.
Kenyamanan
dalam memperoleh pelayanan.
j.
Atribut
pendukung pelayanan lainnya.
Masyarakat
(pelanggan) dapat terpuaskan dari pelayanan hanya berorientasi pada kepuasan
total pelanggan. Pelanggan membutuhkan komitmen dan tindakan nyata dalam
memberikan pelayanan prima.
Adapun
kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakan-nya dari barang adalah
:
• Pelayanan merupakan output tak berbentuk.
• Pelayanan merupakan output variabel, tidak
standar.
• Pelayanan tidak dapat disimpan dalam
inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi.
• Terdapat hubungan langsung yang erat dengan
pelanggan melalui proses pelayanan.
• Pelanggan berpartisipasi dalam proses
memberikan pelayanan.
• Keterampilan personil diserahkan atau
diberikan secara langsung kepada
pelanggan.
• Pelayanan tidak dapat diproduksi secara
massal.
•
Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan
pelayanan.
• Perusahaan pada umumnya bersifat padat karya.
• Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi
pelanggan.
• Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat
subyektif.
• Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada
pengendalian proses.
• Option penetapan harga adalah lebih rumit.
Peningkatan
kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat
memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima
dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan
terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz, 1997 merumuskan strategi
pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan
strategi 7 (tujuh) P, yakni :
1. Product.
2. Price.
3. Place.
4. Promotion.
5. Phisical evidence.
2. Price.
3. Place.
4. Promotion.
5. Phisical evidence.
6. Proses desain.
7. Participants.
Mutu pelayanan dapat dilihat dari beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas,dan perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Misalnya kalau ada permintaan seharusnya para karyawan atau manajer menanggapinya dengan segera melalui tatap muka, telepon, dan internet. Selain itu ketika para karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan, mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya.
Mutu pelayanan dapat dilihat dari beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas,dan perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Misalnya kalau ada permintaan seharusnya para karyawan atau manajer menanggapinya dengan segera melalui tatap muka, telepon, dan internet. Selain itu ketika para karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan, mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya.
F.Penutup
Agar pelayanan dapat lebih memuaskan pelanggan, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh) P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin pelayan, model 7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga semua aparatur pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada masyarakat dapat meningkat.
Agar pelayanan dapat lebih memuaskan pelanggan, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh) P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin pelayan, model 7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga semua aparatur pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada masyarakat dapat meningkat.
Peningkatan
kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat
memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima
dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan
terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz (1997) merumuskan strategi
pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan
strategi 7 (tujuh) P, yakni: (1) Product, (2) Price,
(3) Place, (4) Promotion, (5) Phisical evidence, (6) Proses
desain, (7) Participants.
Mutu pelayanan dapat dilihat dari
beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan
harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai
dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu
menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas, dan
perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM
menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen
pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Misalnya
kalau ada permintaan seharusnya para karyawan atau manajer menanggapinya dengan
segera melalui tatap muka, telepon, dan internet. Selain itu ketika para
karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan,
mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Barzelay, Michael 1992 Breaking Through Bureaucracy: A New Vision
For
Managing Government. Berkeley, Califomia ; University of Califomia
Press.
Elliasen, Kjel and lan Kodiman 1993 Managing Public Organization,
London : Sage Publications
Flyn, Norman 1990 Public Sector Management Great Britain : Mavester
Wheat Sheaf
Hayes. Bob E 1998 Measuring Customer Satisfaction. Survey Design,
Use and Statistical Analysis Methods. Milwaukee, Wisconsin : Asq Quality Press.
Hughes. Dwen E. 1994 Public Management and Administration. An
Introduction. Great Britain : The Mac Millan Press.
Ingraham, Patricia and Barbara Romzek 1994 New Paradigms For
Govemment. Issues For The Changing Public Service. Great Britain : The Mac
Millan Press.
Lovelock, Christoper 1994 Product Plus : How Product Service
Competitive Advantge. New York : Mc Graw Hill.
Lane, Jan Erick 1995 Public Sector : Concepts, Models and
Approaches. California Sage Publications
Osborne, David and Ted GaeMer. 1991. Reinventing Govemment : How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. New York : Penguin
Book.
Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy : The
Five Strategies For Reinventing Government. New York : Addison Wesley
Publishing.
Savas, Es 1982 How To Shrink Government. Privatizing The Public
Sector. Chatam, New Jersey : Chatam House Publisher.
Savas, Es 1987 Privatization. The Key To Better Government Chatam, New Jersey : Chatam House Publisher.
Savas, Es 1987 Privatization. The Key To Better Government Chatam, New Jersey : Chatam House Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar