Senin, 08 Januari 2018

PELAYANAN PRIMA TERHADAP PELANGGAN



PELAYANAN PRIMA TERHADAP PELANGGAN

Oleh:
Dr. Hari Karyono, M.Pd
Dosen Pascasarjana Unipa Surabaya
(today.karyono@gmail.com)



Abstraksi: pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan. Kualitas pelayanan (service quality) telah hampir menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi pemerintah maupun organisasi perusahaan. Pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa, sangat penting dalam upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa (customer satisfaction). pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni :Strategy, Struktur, System, Staff, Skill, Style, Share Value.Tuntutan dibuatnya “Standar Pelayanan Prima” didasarkan pada pandangan bahwa: The customer is always right, dan If the customer is wrong, see rule number one.
 
 






            Kata-kata kunci: pelayanan prima, pelanggan.

Davidow (dalam Lovelock, 1988) menyebutkan bahwa pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing which when added to a product,increase its utility or value to the customer). Lebih lanjut Lovelock (1988) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik membutuhkan instruktur pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi pada kualitas.
Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut: penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance in specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol tenis menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa.
Pelayanan merupakan respons terhadap kebutuhan manajerial yang hanya akan terpenuhi kalau penggunajasa itu mendapatkan produk yang mereka inginkan (Lovciock, 1988). Jika demikian halnya maka apa yang menjadi perumpamaan bahwa pembeli adalah raja (the customer is always right) menjadi sangat penting dan menjadi konsep yang mendasar bagi peningkatan manajemen pelayanan.
Groonros (dalam Lovelock, 1988) menyebutkan bahwa manajemen pelayanan yang efektif memerlukan perubahan fokus dari menciptakan produk berkualitas dan daya manfaatnya, menjadi kualitas keseluruhan serta daya manfaat yang meliputi setiap aspek hubungan dengan pengguna jasa. (Vrye, 1994) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik merupakan bisnis yang menguntungkan (good service is good business).
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era globalisasi nanti, maka dorongan untuk membangun pemerintahan yang digerakkan oleh pelanggan (building a customer driven government) dengan semakin memperbaiki manajemen pelayanan, semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini. OIeh karena itu, perlu adanya perubahan perspektif manajemen pelayanan yang mengubah fokus manajemen baik dalam perusahaan jasa maupun perusahaan manufaktur. Perubahan perspektif yang dimaksud, menurut Gronroos (dalam Lovelock, 1988) adalah sebagai berikut:
a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total dalam hubungan dengan pengguna jasa. (from the product based utility in (he customer relationship).
b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubungan jangka panjang (from short-from transaction to long from relationship).
c. Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas teknis dari suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para pengguna jasa dalam mempertahankan hubungan dengan pengguna jasa (from care product) (good or service) quality the technical quality of the outcome to total customer perceived quality in enduring customer relationship).
d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas keseluruhan sebagai proses kuncinya. (from production of the technical collection as the key process in the organization to developing total utility and total quality as the key process).


A. Memahami Siapa itu Pelanggan
Oval: PelangganSecara histirus, konsep tentang pemasok dan pelanggan telah diinter-pretasikan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.



 

 








Gambar 1: Tinjauan Tradisional tentang Pemasok dan Pelanggan

Sebuah organisasi menggunakan proses tertentu yang dengannya organisasi tersebut menghasilkan produknya. Orang yang berinteaksi dengan peusahaan sebelum proses memproduksi produk, dipandang sebagai pemasok. Mereka yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses telah memproduksi suatu produk dianggap sebagai pelanggan. Dari perspektif tradisional ini, pelanggan dan pemasok keduanya adalah entitas eksternal. Gambar 2 berikut ini mengilustrasikan suatu pandangan yang lebih kontemporer tentang pemasok dan pelanggan.

















Oval: Pelanggan
&
Pemasok
 

 














Gambar 2: Tinjauan Kontemporer atas Pemasok dan Pelanggan
Dalam tatanan mutu total, pelanggan dan pemasok ada di dalam dan di luar organisasi. Karyawan manapun yang pekerjaannya mendahului karya-wan lain adalah pemasok untuk karyawan lain itu. Sehubungan dengan itu, karyawan manapun yang pekerjaannya menyusul sesudah pekerjaan karya-wan lain dan tergantung dalam beberapa hal padanya adalah pelanggan.
Konsep ketergantungan ini penting dalam hubungan pemasok-pelang-gan. Seorang pelanggan, apakah internal atau eksternal, tergantung pada pemasok untuk menyajikan kerja bermutu dan memproduksi produk-produk bermutu.
Menurut Scholtes (dalam Goetsch dan Davis, 2002) mengemukakan bahwa para pelanggan eksternal yang membeli produk, secara finansial men-dukung organisasi. Jelas bahwa memuaskan orang-orang ini merupakan hal penting. Di dalam perusahaan, karyawan meneruskan pekerjaan mereka ke-pada karyawan lain, yang merupakan pelanggan internal mereka. Sama hal-nya, pemasok eksternal adalah orang di luar organisasi yang menjual bahan, informasi, atau jasa kepada organisasi. Dalam perusahaan, karyawan mene-rima pekerjaan yang diteruskan dari orang lain dalam organisasi, pemasok internal. Oleh karena itu, setiap pekerja adalah pelanggan dari pekerja terda-hulunya; dan masing-masingnya mempunyai pelanggan, yakni orang yang menerima pekerjaan selanjutnya dari kepadanya pekerja tadi.   

B. Memahami Kualitas yang Ditentukan Pelanggan
Dalam tatanan mutu total, kualitas ditentukan oleh pelanggan, Scholtes (dalam Goetsch dan Davis, 2002) mengatakan bahwa setelah anda sudah memahami apakah proses dan pelanggan itu, anda akan mempu menghargai apa artinya mutu dalam dunia bisnis yang baru. Jika pelanggan adalah orang yang menerima pekerjaan anda, hanyalah mereka yang dapat menentukan apakah mutu itu, hanya mereka yang dapat mengatakan kepada anda apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka menginginkannya. Oleh karena itu, satu slogan yang populer dari gerakan mutu adalah “mutu dimulai dari pelanggan.” Anda harus bekerja dengan pelanggan internal dan eksternal untuk menetapkan kebutuhan mereka, dan bekerja sama dengan para pemasok internal dan eksternal.
Dalam bukunya Total Manufacturing Management, Giorgio Merli mengemukakan pokok-pokok berikut tentang mutu yang ditentukan oleh pelanggan.
-  Pelanggan harus menjadi prioritas puncak organisasi. Tetap hidupnya or-ganisasi tergantung pada pelanggan.
-  Pelanggan yang dapat diandalkan adalah pelanggan yang paling penting. Pelanggan yang dapat diandalkan adalah pelanggan yang membeli beru-lang-ulang dari organisasi yang sama. Pelanggan yang puas dengan mutu pembelian mereka dari sebuah organisasi menjadi pelanggan yang handal. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan itu hakiki.
-  Kepuasan pelanggan itu dijamin dengan memproduksi produk-produk ber-mutu tinggi. Kepuasan itu harus diperbaharui pada setiap pembelian baru. Ini tidak dapat dicapai jika mutu itu, walaupun tinggi, tetapi tetap statis. Kepuasan mengimplikasikan perbaikan terus menerus. Perbaikan terus menerus itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga kepuasan dan kesetiaan pelanggan.   
Jika kepuasan pelanggan adalah prioritas paling tinggi dari organisasi mutu total, maka selanjutnya sebuah organisasi harus memiliki fokus pelang-gan. Praktek manajemen tradisional yang menempuh pendekatan manaje-men berdasarkan hasil itu, melihat ke dalam. Sebuah organisiasi dengan fokus pelanggan itu melihat ke luar.
Peter R. Scholtes (dalam Goetsch dan Davis, 2002) menggambarkan konsep itu sebagai berikut : sementara manajemen berdasarkan hasil mulai dengan laba dan rugi serta laba atas investasi (ROI), kepemimpinan mutu dimulai dari pelanggan. Dibawah kepemimpinan mutu, tujuan sebuah organi-sasi adalah mencapai dan melebihi kebutuhan pelanggan, memberi nilai abadi kepada pelanggan.

C. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan (service quality) telah hampir menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi pemerintah maupun organisasi perusahaan. Pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa, sangat penting dalam upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa (customer satisfaction). Pada saat lingkungan bisnis bergerak ke suatu arah persaingan yang semakin ketat dan kompleks, dimana titik tolak strategi bersaing selalu diarahkan kepada asumsi, bahwa kondisi pasar sudah bergeser dari “sellers market” ke “buyers market” maka sebagai kata kuncinya menurut Husaini (1994) adalah memenangkan persaingan pasar melalui orientasi strategi pada manajemen pelayanan prima (excellent service management).
Untuk mewujudkan kondisi sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan pemahaman terhadap faktor kunci eksternal dengan cara:
a. Memulai mengenali dinamika customers need and wants;
b.Mengembangkan suatu kerangka pendekatan ke arah pencapaian kepuasan pelanggan.
c. Pertemukan tujuan badan usaha dalam rangka pencapaian kepuasan pelanggan (Husaini, 1994).
Faktor-faktor eksternal tersebut, perlu direspons setiap pucuk pimpinan baik pimpinan dalam organisasi birokrasi mapun perusahaan, dengan mengintegrasikan berbagai unsur atau elemen guna menghasilkan produk layanan yang dapat memuaskan penggunajasa, dimana pada intinya adalah perlunya perbaikan kinerja organisasi yang berorientasikan pada keselunihan proses untuk menciptakan “value to customer” yang terkait dengan aspek mutu produk dan jasa, waktu pembuatan dan penyerahan (cycle time), biaya yang rendah serta produktivitas yang sangat tinggi (Husaini, 1994 : 4). Jika demikian halnya, maka pucuk pimpinan itu, memiliki peranan sentral dalam meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga mainpu memberikan kepuasan kepada pelanggan. Oleh karena itu, pucuk pimpinan dituntut memiliki visi kebijakan dan strategi yang jelas. Kondisi demikian sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini:
Jika demikian halnya, maka menempatkan konsumen pada tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan penting dalam memenangkan kompetisi di tingkat global. Dalam mengembangkan organisasi yang berorientasi konsumen (customer oriented), maka semua kegiatan harus berbasis pada kebutuhan dan keinginan pelanggan (customer needs and wants) dan persepsi konsumen terhadap nilai dan mutu suatu produk (barang dan jasa) banyak dipengaruhi oleh pelayanan prima sebagai atribut yang melekat pada produk inti itu sendiri (Saragih, 1994). Kotler (dalam Saragih, 1994) menyebutkan bahwa konsumen masa depan menginginkan proses yang lebih cepat, profesionalisme dan praktis. Demildan halnya Lovelock (1992) bukan hanya mengi kuti kemajuan teknologi tetapi hendaknya lebih banyak ditujukan sebagai jawaban atas permmtaan konsumen yang menginginkan mformasi yang lebih baik, pelayanan yang lebih cepat dan variasi penunjukan produk mti yang lebih memikat.
Dalam tingkat operasional, nienurut pandangan Saragih (1994) akan menimbulkan masalah sebagai berikut:
a.    Bagaimana fungsi pelayanan konsumen ini diaktifkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
b.    Orang-orang dan sistem macam apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
c.    Bagaimana mendesain suatu fungsi pelayanan yang baik serta bagaimana menjalankannya secara efektif.
Solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah tersebut, adalah perlunya penyediaan pelayanan yang tepat, dan konsisten pada saat dibutuhkan, dan pada gilirannya akan menimbulkan rasa puas pada pemakai jasa (Normann, 1991). Sedangkan Vrye (1994) menekankan kepada perlunya manajer pada organisasi jasa yang harus memahami dengan baik jenis-jenis keluhan pengguna jasa.
Kesulitan mendapatkan pelayanan yang berkualitas akan mengakibatkan munculnya take and give antara client atau customer dan yang memberi pekerjaan (Silalahi, 1997). Jika hal ini terjadi maka akan memunculkan adanya suap, sebab bagi orang-orang yang membayar uang suap, kelambatan pelayanan dapat diatasi dengan mudah. Kecepatan pekerjaan yang didasarkan atas suatu imbalan kepada pejabat atau pegawai yang melayani mereka, hanya akan nnengakibatkan kurangnya rasa hormat pengguna jasa terhadap organisasi.
Agar aktivitas dan pengambil keputusan lebih dekat dan mengutamakan pelayanan pelanggan maka harus diciptakan struktur organisasi yang apresiatif dan adaptif yakni struktur yang lebih desentralisasi. Dengan demikian pemimpin yang berjiwa wirausaha secara naluriah mencoba menjangkau pendekatan yang terdesentrahsasi dengan mengarahkan banyak keputusan ke “pinggiran” atau menekan otoritas keputusan yang lain ke “bawah” dengan membuat hirarki menjadi datar (flat) dan memberi otoritas kepada pegawainya (Osborne dan Gaebler, 1992).
Dalam konsep manajemen pelayanan, “memudahkan” wewenang dengan tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada bawahan (Wellim, Byham, Wibon, 1991) hal mana dapat meningkatkan customer service (Stewart, 1994). Secara kelembagaan (institutions), upaya untuk mendekatkan pengambil keputusan dengan pengguna jasa (customer) memang diperlukan perubahan kelembagaan (institutional change) dan pembangunan kelembagaan (institutional development). Oleh sebab itulah maka perubahan struktur dari vertikal ke horizontal atau mengubah srukktur “tall” menjadi struktur “flat”, yang oleh Osborne dan Gaebler (1992) dikatakan sebagai “pemerintahan desentralisasi dari hierarki maupun partisipasi dan tim kerja”. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara pengambil keputusan dengan pelanggan yang oleh Stewart disebut sebagai “close to the customer” (Stewart, 1994).
Dalam dunia sekarang, dimana informasi sebenamya tidak terbatas, komunikasi antar daerah terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang sudah terdidik, dan kondisi telah berubah dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Sebab itu dalam dunia sekarang ini, sesuatu hanya akan berjalan lebih baik jika mereka
yang bekerja di organisasi publik memiliki otoritas untuk mengambil keputusan sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992). Dengan demikian struktur yang didesentralisasi merupakan suatu solusi yang mendekatkan pembuat keputusan publik dengan pengguna jasa publik. Sehingga pada gilirannya berbagai tuntutan pengguna jasa publik akan lebih cepat dapat direspons.
Adapun ciri-ciri dan struktur yang didesentralisasi (flat) sebagaimana disebutkan oleh Gomez dan kawan-kawan (1995) adalah sebagai berikut:
a. Decentralized management approach
b. Few levels of management
c. Horizontal careerpath that cross functions
d. Broadly defined jobs
e. Gcneral job description
f. Flexibel boundaries between jobs and units
g. Emphasis on team
h. Strong focus on the customer
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan kualitas pelayanan (service quality) ialah pembagian keija atau deferensiasi, Gordon (1993) menyebutkan bahwa:
a.    Dalam hal pembagian keija agar bercLasarkan diferensiasi harizontal
yang menekankan diferensiasi personal.
b.    Dalam hal option for coordination agar dikembangkan central adjustment dengan standardization of work process, standardization of output dan standardization of skill.
c.    Dalam hal information processing, agar didasarkan pada organic structure yang memiliki a high information processing yaitu kapasitas yang cepat dan akurat.

D. Berorientasi kepada Konsumen
Dalam mengembangkan organisasi yang berorientasi kq)ada konsumen (customer oriented), maka semua kegiatan harus berbasis pada konsiderasi tentang kebutuhan dan keinginan pengguna jasa, sebab dalam kesalahan dalam pengidentifikasian kebutuhan dan harapan pengguna jasa akan menyebabkan pelayanan menjadi tidak berarti dan sia-sia.
Hal-hal yang dapat dipergunakan untuk semakin memahami keinginan pengguna jasa adalah perlunya melakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) dalam suatu organisasi. Lovelock (dalam Husaini. 1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna jasa (customer) itu adalah sebagai berikut:
a. Sarana dan fasilitas yang mendukung efisiensi dalarn kontak dengan konsumen (presence of absence of intermediaries).
b. Kualitas dan kuantitas kontak dengan konsumen (high contact as low contact).
c. Konsumen yang dapat berupa individual buyers organisasi (institutional vs individual purchase).
d. Lamanya proses layanan berikut karakteristik yang menyertai layanan tersebut (duration of service delivery process).
e.Keterbatasan yang mungkin terdapat dalam pelayanan (capacity contrained service).
f. Frekuensi dari penggunaan dan pembelian ulang (frequency at use and repurchase).
g. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan oleh konsumen (frequency at use and repurchase).
h. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan oleh konsumen (level of complexity).
i. Menyangkut tingkat resiko kegagalan yang mungkin terjadi dalam pelayanan yang diberikan (degrees of risk).
Datangnya era pelayanan terbaik kepada pelanggan. sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan organisasi yakni terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government, yang menurut bahasa Osborne dan Gaebler agenda ini bertumpu pada prinsip customer driven govemment. Instrumennya adalah pembuktian model mental para birokrat untuk lebih suka melayani. Model yang pertama, menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada paramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi bawah. Sebaliknya, model yang kedua menempatkan warga negara (customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah, dimana sasaran akhir dan pengembangan model ini, tidak lain adalah dicapainya pelayanan terbaik kepada masyarakat (Sudarsono, 1996).

E. Pelayanan Prima terhadap Pelanggan
Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa kategori dalam mengkaji pelayanan prima. Pertama, kategori berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni :
- Strategy.
- Struktur.
- System.
- Staff.
- Skill.
- Style.
- Share Value.
Tuntutan dibuatnya “Standar Pelayanan Prima” didasarkan pada pandangan bahwa:
-     The customer is always right.
-     If the customer is wrong, see rule number one.
         Meskipun rumusan diatas seperti sesuatu yang tidak serius, namun mengandung konsekuensi penting yakni adanya adanya tuntutan untuk terus memperhatikan secara serius terhadap kepentingan pelanggan dan pengembangan pelayanan prima tetap terpusat pada manusia disamping jika dikaitkan dengan masalah kepemimpinan sering diungkapkan bahwa “Excellence starts at the top… leadership by example”. Suatu pertanyaan yang muncul dari uraian diatas, yaitu apakah kita cukup banyak pemimpin yang mampu dan mau melayani pelanggan secara prima melebihi apa yang diperlihatkan oleh anak buahnya dalam melayani ?. Ini merupakan suatu tantangan riil yang bukan pada ribuan karyawan, melainkan bagi sedikit pemimpin tingkat tinggi.
          Prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Sudarsono Hardjosoekarto diatas dapat diperluas lagi sebagaimana yang dikemukakan De Vry (1994) yang mengarahkan elaborasi ini kedalam 7 (tujuh) simple strategi for success yang kemudian dalam perjalanan waktu disebut service model, yang meliputi :
a. Self-esteem
b. Exceed expecctation
c. Recover
d. Vision
e. Improve
f. Care
g. Empower
          Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayan itu ?, dan siapakan pemimpin pelayan?.
           Kepemimpinan pelayan membahas realitas kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi legitimasi, kekangan etika dan hasil yang menguntungkan yang dapat dicapai melalui penggunaan kekuasaan yang semestinya. Larry Spears dalam karyanya Greenleaf mengidentifikasi sepuluh ciri khas pemimpin pelayan, yakni :
(1) Mendengarkan.
(2) Empati.
(3) Menyembuhkan.
(4) Kesadaran.
(5) Bujukan atau persuasif.
(6) Konseptualisasi.
(7) Kemampuan meramalkan.
(8) Kemampuan melayani.
(9) Komitmen terhadap pertumbuhan manusia.
(10) Membangun Masyarakat.
          Kepemimpinan pelayan seperti yang dikemukakan diatas dapat bermakna terhadap masyarakat pelanggannya apabila pelayan sungguh-sungguh memperhatikan beberapa dimensi atau atribut perbaikan kualitas jasa termasuk kualitas pelayanan, yang terdiri :
a.    Ketepatan waktu pelayanan.
b.    Akurasi pelayanan.
c.    Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan.
d.    Tanggung jawab.
e.    Kelengkapan.
f.     Kemudahan mendapatkan pelayanan.
g.    Variasi model pelayanan.
h.    Pelayanan pribadi.
i.      Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan.
j.      Atribut pendukung pelayanan lainnya.
Masyarakat (pelanggan) dapat terpuaskan dari pelayanan hanya berorientasi pada kepuasan total pelanggan. Pelanggan membutuhkan komitmen dan tindakan nyata dalam memberikan pelayanan prima.
Adapun kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakan-nya dari barang adalah :
•   Pelayanan merupakan output tak berbentuk.
•   Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar.
•   Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi.
•   Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan.
•   Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
•   Keterampilan personil diserahkan atau diberikan secara langsung kepada  pelanggan.
•   Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal.
•  Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan.
•   Perusahaan pada umumnya bersifat padat karya.
•   Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan.
•   Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif.
•   Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses.
•   Option penetapan harga adalah lebih rumit.
Peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz, 1997 merumuskan strategi pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan strategi 7  (tujuh) P, yakni :
1. Product.
2. Price.
3. Place.
4. Promotion.
5. Phisical evidence.
6. Proses desain.
7. Participants.
        
Mutu pelayanan dapat dilihat dari beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas,dan perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Misalnya kalau ada permintaan seharusnya para karyawan atau manajer menanggapinya dengan segera melalui tatap muka, telepon, dan internet. Selain itu ketika para karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan, mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya.

F.Penutup
         
Agar pelayanan dapat lebih memuaskan pelanggan, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh) P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin pelayan, model  7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga  semua aparatur pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada masyarakat dapat meningkat.
Peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz (1997) merumuskan strategi pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan strategi 7  (tujuh) P, yakni: (1) Product, (2)  Price, (3) Place, (4) Promotion, (5) Phisical evidence, (6) Proses desain, (7) Participants.
         Mutu pelayanan dapat dilihat dari beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas, dan perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Misalnya kalau ada permintaan seharusnya para karyawan atau manajer menanggapinya dengan segera melalui tatap muka, telepon, dan internet. Selain itu ketika para karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan, mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya.


DAFTAR PUSTAKA

Barzelay, Michael 1992 Breaking Through Bureaucracy: A New Vision For

Managing Government. Berkeley, Califomia ; University of Califomia Press.

Elliasen, Kjel and lan Kodiman 1993 Managing Public Organization, London : Sage Publications

Flyn, Norman 1990 Public Sector Management Great Britain : Mavester Wheat Sheaf

Hayes. Bob E 1998 Measuring Customer Satisfaction. Survey Design, Use and Statistical Analysis Methods. Milwaukee, Wisconsin : Asq Quality Press.

Hughes. Dwen E. 1994 Public Management and Administration. An Introduction. Great Britain : The Mac Millan Press.

Ingraham, Patricia and Barbara Romzek 1994 New Paradigms For Govemment. Issues For The Changing Public Service. Great Britain : The Mac Millan Press.

Lovelock, Christoper 1994 Product Plus : How Product Service Competitive Advantge. New York : Mc Graw Hill.

Lane, Jan Erick 1995 Public Sector : Concepts, Models and Approaches. California Sage Publications

Osborne, David and Ted GaeMer. 1991. Reinventing Govemment : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. New York : Penguin Book.

Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy : The Five Strategies For Reinventing Government. New York : Addison Wesley Publishing.

Savas, Es 1982 How To Shrink Government. Privatizing The Public Sector. Chatam, New Jersey : Chatam House Publisher.
Savas, Es 1987 Privatization. The Key To Better Government Chatam, New Jersey : Chatam House Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...