Sabtu, 06 Januari 2018

HANDOUT SUPERVISI AKADEMIK



HANDOUT SUPERVISI AKADEMIK
Oleh: Hari Karyono
Dosen Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Secara konseptual, dikemukakan oleh Glickman (1981), supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. (Daresh, 1989). Dengan demikian, berarti, esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya.

Tujuan supervisi akademik adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan bagi murid-muridnya (Glickman, 1981). Melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru semakin meningkat (Neagley, 1980). Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran akan meningkat. Sedangkang menurut Sergiovanni (1987) ada tiga tujuan supervisi akademik sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1.
TIGA TUJUAN SUPERVISI
Pengem-bangan Profesio-nalisme

Pengawas-an kualitas
Penum-buhan Motivasi
 








Gambar 1.  Tiga tujuan supervisi akademik
Alfonso, Firth, dan Neville (1981) menggambarkan sistem pengaruh perilaku supervisi akademik sebagaimana gambar 2.
Perilaku Supervisi Akademik
Perilaku Akademik
Perilaku Belajar
Siswa
 







Gambar 2 Sistem Fungsi Supervisi Akademik

Gambar 2 tersebut di bawah ini memperjelas kita dalam memahami sistem pengaruh perilaku supervisi akademik. Perilaku supervisi akademik secara langsung berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar mengajar. Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan akhir supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid yang lebih baik.

Berikut ini ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh supervisor dalam melaksanakan supervisi akademik, yaitu sebagai berikut.
1.         Supervisi akademik harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara supervisor dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat, seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor (Dodd, 1972).
2.         Supervisi akademik harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor, melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.
3.         Supervisi akademik harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan kooperatif. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik sebaiknya direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif dengan guru, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.
4.         Program supervisi akademik harus integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso, dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).
5.         Supervisi akademik harus komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan akademik, walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembangan profesional, dan memotivasi guru, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
6.         Supervisi akademik harus konstruktif. Supervisi akademik bukanlah sekali-kali untuk mencari kesalahan-kesalahan guru. Memang dalam proses pelaksanaan supervisi akademik itu terdapat kegiatan penilaian unjuk kerjan guru, tetapi tujuannya bukan untuk mencari kesalahan-kesalahannya. Supervisi akademik akan mengembangkan pertumbuhan dan kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan problem-problem akademik yang dihadapi.
7.         Supervisi akademik harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan program supervisi akademik harus obyektif. Objectivitas dalam penyusunan program berarti bahwa program supervisi akademik itu harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan program supervisi akademik. Di sinilah letak pentingnya instrumen pengukuran yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk mengukur seberapa kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.

Ada empat kompetensi yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan akademik, persepsi guru terhadap murid, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik. Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek substansi ketiga merepresentasikan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada bidang studi yang diajarkannya. Adapun aspek substansi keempat merepresentasikan seberapa luas penguasaan guru terhadap teknik akademik, manejemen, pengorganisasian kelas, dan keterampilan lainnya yang merupakan unsur akademik yang efektif.

Mengenai keseluruhan evolusi peran supervisor ini bisa dirangkum dalam tabel 1 berikut.

Masa
Peran
1850 – 1910
1910 – 1920
1920 – 1930
1930 – 1955
1955 – 1965
1965 – 1970
1970 – 1980
1980 –
inspeksi /pengawasan
supervisi ilmiah
supervisi birokrasi
supervisi kooperatif
supervisi sebagai pengembangan kurikulum
supervisi klinis
supervisi sebagai manajemen
pengelolaan akademik
Sumber :     Wiles, J, dan Bondi, J. (1986. Supervision: A Guide to Practice, Second Edition, Columbus, Charles E. Merril Publishing Company.
      
       Peran supervisor akademik pada masa sekarang ini adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola akademik. Peran yang demikian ini sesuai sekali dengan konsep supervisi akademik yang dikemukakan oleh Glickman (1981), Alfonso, Firth, dan Neville (1981), Sergiovanni (1987), dan Daresh (1989), sebagaimana telah dikemukakan di muka. Selanjutnya, Wiles dan Bondi mendeskripsikan dengan bidang khusus kompetensi supervisi (special areas to supervision competence), yang menurut penulis merupakan peran-peran supervisor dalam melakukan supervisi akademik. Dalam hal ini dapat dibagi menjadi delapan peran sebagai berikut.
1.         supervisors are developers of people
2.         supervisors are curriculum developers
3.         supervisors are instructional specialist
4.         supervisors are human relations workers
5.         supervisors are staff developers
6.         supervisors are administrators
7.         supervisors are managers of change
8.         supervisors are evaluators
(Wiles & Bondi, 1986, halaman 17 – 23)

F.     Teknik Supervisi Akademik
Ada bermacam-macam teknik supervisi akademik dalam upaya pembinaan kemampuan guru, yaitu. teknik supervisi individual, danteknik supervisi kelompok.

Teknik supervisi individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada guru tertentu yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Supervisor di sini hanya berhadapan dengan seorang guru yang dipandang memiliki persoalan tertentu. Teknik-teknik supervisi yang dikelompokkan sebagai teknik individual meliputi: kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan antarkelas, dan menilai diri sendiri. Berikut ini dijelaskan pengertian-pengertian dasarnya secara singkat satu persatu.

a. Kunjungan Kelas
Kunjungan kelas adalah teknik pembinaan guru oleh kepala sekolah, pengawas, dan pembina lainnya dalam rangka mengamati pelaksanaan proses belajar mengajar sehingga memperoleh data yang diperlukan dalam rangka pembinaan guru. Tujuan kunjungan ini adalah semata-mata untuk menolong guru dalam mengatasi kesulitan atau masalah mereka di dalam kelas. Melalui kunjungan kelas, guru-guru dibantu melihat dengan jelas masalah-masalah yang mereka alami. Menganalisisnya secara kritis dan mendorong mereka untuk menemukan alternatif pemecahannya. Kunjungan kelas ini bisa dilaksanakan dengan pemberitahuan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan bisa juga atas dasar undangan dari guru itu sendiri.
Ada empat tahap kunjungan kelas. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini, supervisor merencanakan waktu, sasaran, dan cara mengobservasi selama kunjungan kelas. Kedua, tahap pengamatan selama kunjungan. Pada tahap ini, supervisor mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. Ketiga, tahap akhir kunjungan.  Pada tahap ini, supervisor bersama guru mengadakan perjanjian untuk membicarakan hasil-hasil observasi, sedangkan tahap terakhir adalah tahap tindak lanjut. Ada beberapa kriteria kunjungan kelas yang baik, yaitu: (1) memiliki tujuan-tujuan tertentu; (2) mengungkapkan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru; (3) menggunakan instrumen observasi tertentu untuk mendapatkan daya yang obyektif; (4) terjadi interaksi antara pembina dan yang dibina sehingga menimbulkan sikap saling pengertian; (5) pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses belajar mengajar; (6) pelaksanaannya diikuti dengan program tindak lanjut

b. Observasi Kelas
Observasi kelas secara sederhana bisa diartikan melihat dan memperhatikan secara teliti terhadap gejala yang nampak. Observasi kelas adalah teknik observasi yang dilakukan oleh supervisor terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah untuk memperoleh data seobyektif mungkin mengenai aspek-aspek dalam situasi belajar mengajar, kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam usaha memperbaiki proses belajar mengajar. Secara umum, aspek-aspek yang diamati selama proses pembelajaran yang sedang berlangsung adalah:
a.         usaha-usaha dan aktivitas guru-siswa dalam proses pembelajaran
b.         cara penggunaan media pengajaran
c.         reaksi mental para siswa dalam proses belajar mengajar
d.         keadaan media pengajaran yang dipakai dari segi materialnya.
Pelaksanaan observasi kelas ini melalui beberapa tahap, yaitu: (1) persiapan observasi kelas; (2) pelaksanaan observasi kelas; (3) penutupan pelaksanaan observasi kelas; (4) penilaian hasil observasi; dan (5) tindak lanjut. Dalam melaksanakan observasi kelas ini, sebaiknya supervisor menggunakan instrumen observasi tertentu, antara lain berupa evaluative check-list, activity check-list.

c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual adalah satu pertemuan, percakapan, dialog, dan tukar pikiran antara pembina atau supervisor guru, guru dengan guru, mengenai usaha meningkatkan kemampuan profesional guru. Tujuannya adalah: (1) memberikan kemungkinan pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan yang dihadapi; (2) mengembangkan hal mengajar yang lebih baik; (3) memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan pada diri guru; dan (4) menghilangkan atau menghindari segala prasangka yang bukan-bukan.
Swearingen (1961) mengklasifikasi jenis percakapan individual ini menjadi empat macam sebagai berikut
1)    classroom-conference, yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di dalam kelas ketika murid-murid sedang meninggalkan kelas (istirahat).
2)    office-conference. Yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di ruang kepala sekolah atau ruang guru, di mana sudah dilengkapi dengan alat-alat bantu yang dapat digunakan untuk memberikan penjelasan pada guru.
3)    causal-conference. Yaitu percakapan individual yang bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu dengan guru
4)    observational visitation. Yaitu percakapan individual yang dilaksanakan setelah supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas
Dalam percakapan individual ini supervisor harus berusaha mengembangkan segi-segi positif guru, mendorong guru mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan memberikan pengarahan, hal-hal yang masih meragukan sehingga terjadi kesepakatan konsep tentang situasi pembelajaran yang sedang dihadapi.



d. Kunjungan Antar Kelas
Kunjungan antarkelas dapat juga digolongkan sebagai teknik supervisi secara perorangan. Guru dari yang satu berkunjung ke kelas yang lain dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Dengan adanya kunjungan antarkelas ini, guru akan memperoleh pengalaman baru dari teman sejawatnya mengenai pelaksanaan proses pembelajaran pengelolaan kelas, dan sebagainya.
Agar kunjungan antarkelas ini betul-betul bermanfaat bagi pengembangan kemampuan guru, maka sebelumnya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh supervisor apabila menggunakan teknik ini dalam melaksanakan supervisi bagi guru-guru.
1)        Guru-guru yang akan dikunjungi harus diseleksi dengan sebaik-baiknya. Upayakan mencari guru yang memang mampu memberikan pengalaman baru bagi guru-guru yang akan mengunjungi.
2)     Tentukan guru-guru yang akan mengunjungi.
3)     Sediakan segala fasilitas yang diperlukan dalam kunjungan kelas.
4)     Supervisor hendaknya mengikuti acara ini dengan cermat. Amatilah apa-apa yang ditampilkan secara cermat, dan mencatatnya pada format-format tertentu.
5)     Adakah tindak lanjut setelah kunjungan antarkelas selesai. Misalnya dalam bentuk percakapan pribadi, penegasan, dan pemberian tugas-tugas tertentu.
6)     Segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, dengan menyesuaikan pada situasi dan kondisi yang dihadapi.
7)     Adakan perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.

e. Menilai Diri Sendiri
Menilai diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan. Penilaian diri sendiri merupakan satu teknik pengembangan profesional guru (Sutton, 1989). Penilaian diri sendiri memberikan informasi secara obyektif kepada guru tentang peranannya di kelas dan memberikan kesempatan kepada guru mempelajari metoda pengajarannya dalam mempengaruhi murid (House, 1973). Semua ini akan mendorong guru untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya (DeRoche, 1985; Daresh, 1989; Synder & Anderson, 1986).
Nilai diri sendiri merupakan tugas yang tidak mudah bagi guru. Untuk mengukur kemampuan mengajarnya, di samping menilai murid-muridnya, juga menilai dirinya sendiri. Ada beberapa cara atau alat yang dapat digunakan untuk menilai diri sendiri, antara lain sebagai berikut.
1)    Suatu daftar pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada murid-murid untuk menilai pekerjaan atau suatu aktivitas. Biasanya disusun dalam bentuk pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, dengan tidak perlu menyebut nama.
2)    Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
3)    Mencatat aktivitas murid-murid dalam suatu catatan, baik mereka bekerja secara perorangan maupun secara kelompok.

Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu/bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn, ada tiga belas teknik supervisi kelompok, sebagai berikut.
1.         Kepanitiaan-kepanitiaan
2.         Kerja kelompok
3.         Laboratorium kurikulum
4.         Baca terpimpin
5.         Demonstrasi pembelajaran
6.         Darmawisata
7.         Kuliah/studi
8.         Diskusi panel
9.         Perpustakaan jabatan
10.     Organisasi profesional
11.     Buletin supervisi
12.     Pertemuan guru
13.     Lokakarya atau konferensi kelompok

Teknik supervisi kelompok ini tidak akan dibahas satu persatu, karena sudah banyak buku yang secara khusus membahasnya. Satu hal yang perlu ditekankan di sini bahwa tidak ada satupun di antara teknik-teknik supervisi kelompok di atas yang cocok atau bisa diterapkan untuk semua pembinaan dan guru di sekolah. Artinya, akan ditemui oleh kepala sekolah adanya satu teknik tertentu yang cocok diterapkan untuk membina seorang guru tetapi tidak cocok diterapkan pada guru lain. Oleh sebab itu, seorang kepala sekolah harus mampu menetapkan teknik-teknik mana yang sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran seorang guru.
Menetapkan teknik-teknik supervisi akademik yang tepat tidaklah mudah. Seorang kepala sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, juga harus mengetahui karakteristik setiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian guru, sehingga teknik yang digunakan betul-betul sesuai dengan guru yang sedang dibina melalui supervisi akademik. Sehubungan dengan kepribadian guru, Lucio dan McNeil (1979) menyarankan agar kepala sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian guru, yaitu kebutuhan guru, minat guru, bakat guru, temperamen guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic guru.

Ada lima langkah pembinaan kemampuan guru melalui supervisi akademik, yaitu: (1) menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis, (2) analisis kebutuhan, (3) mengembangkan strategi dan media, (4) menilai, dan (5) revisi

H.    Kesimpulan
Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Dalam prakteknya, supervisi akademik dapat menerapkan teknik-teknik yang bersifat individual maupun teknik-teknik yang bersifat kelompok. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memberi motivasi kepada guru.


1.        Bersimulasi menerapkan teknik-teknik supervisi akademik, baik teknik supervisi individual maupun maupun teknik supervisi kelompok. Satu kelompok peserta diklat bersimulai mempraktekkan satu teknik supervisi akademik.
2.        Setiap kelompok peserta diklat dapat menggunakan instrumen skala kepuasan kerja, ditugaskan mengukur kepuasan kerja yang dirasakan dirinya masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan analisis dan pengembangan program pemenuhan kebutuhan.
a.        Setiap peserta melakukan pengembangan program supervisi pada kasus-kasus berikut:

Kasus Pertama
Ibu Susi adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang telah mengajar selama dua belas tahun di Sekolah Dasar Negeri Pringgondani. Dia telah berkeluarga, tetapi belum memiliki anak, dan tinggal di sebuah kawasan mewah sekitar sepuluh kilometer dari kawasan miskin dimana SDN Pringgondani berada. Alasan utama mengapa ia mau menjadi guru adalah keinginannya “untuk membantu siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu tersebut memperoleh pengetahuan untuk mengapresiasi karya sastra.” Dia merupakan seorang sangat aktif membaca baik mengenai sastra lama maupun sastra modern. Kadang-kadang dia juga membuat karangan cerita pendek.
Ibu Susi sebenarnya merupakan guru yang kompeten. Dia memiliki gaya bicara yang meledak-ledak. Tubuhnya yang besar, segar, dan tinggi membuat penampilannya mengesankan setiap orang yang melihat. Banyak siswa yang takut padanya dan ketika anak-anak lama bertemu siswa baru mereka sering memperingatkan dengan berkata “Kamu jangan macam-macam dengan Ibu Susi”. Hampir semua siswa enggan mengatakan bahwa kelas yang diajar Ibu Susi memberi manfaat. Ketika kerja keras dan tekanan yang diberikan Ibu berlalu, mereka seperti terlepas dari belenggu seorang pembaca dan penulis yang baik.
Ibu Susi, kecuali menurut seorang teman akrabnya, tidak disukai oleh guru-guru lain di SDN Pringgondani. Guru-guru itu sering mengeluhkan sikapnya yang sombong dan elitis. Dia suka menunjukkan kesan bahwa SD Pringgondani diuntungkan oleh keberadaannya di sekolah itu. Dia suka pamer bahwa sebenarnya dia telah diterima sebagai seorang mahasiswa Program S3 pada sebuah universitas yang ternama, tetapi dia lebih memilih menjadi guru-guru di kawasan miskin. Dalam setiap rapat, sikap superioritasnya selalu muncul. Dia selalu memiliki jawaban yang baik terhadap setiap persoalan yang timbul di sekolah. Dia berpengetahuan luas, mampu melakukan analisis yang mendalam, dan memiliki usul-usul yang baik untuk mengatasi berbagai masalah. Akan tetapi, ketika saatnya harus bertindak, dia selalu tertinggal di belakang. Dia mudah mengajukan berbagai saran mengenai berbagai hal yang dapat dikerjakan atau apa yang seharusnya dikerjakan oleh guru lain agar SD Pringgondani menjadi lebih baik, akan tetapi biasanya ia merupakan guru yang datang terakhir di sekolah tetapi paling awal meninggalkan sekolah.


Kasus Dua
Pak Jojon telah mengajar di SD Amarta selama lima tahun. Tidak tahu karena apa, IKIP di kota dia kuliah meloloskan dia sebagai seorang sarjana pendidikan dan mendapatkan sertifikat sebagai guru. Dan tidak diketahui juga mengapa sekolah sebelumnya memberi kesempatan kepada dia sehingga memiliki pengalaman kerja sebagai guru. Kepala SD Amarta mengetahui bahwa para siswa, orang tua, dan guru-guru lain memandang Pak Jojon sebagai guru yang tidak layak. Sang kepala sekolah sependapat dengan penilaian itu. Pak Jojon mengajar IPS dan IPA pada kelas empat, kelas lima, dan kelas enam, lima jam tiap hari. Setiap kelas diajar dengan cara-cara yang sama. Dia menuliskan dipapan tulis semua isi buku yang harus dibaca siswa dan semua tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. Para siswa memasuki kelas kemudian duduk. Pak Jojon memberi perintah kepada siswa-siswanya “Semua bacaan dan tugas-tugas yang harus kalian pelajari telah tertulis di papan. Kerjakan semua tugas dan tetap tenang.” Dia berjalan-jalan keliling kelas dengan sedikit mengetuk-ngetukkan sepatunya agar siswa tetap tenang. Kadang-kadang dia memberi ceramah; sangat jarang mengajak siswa berdiskusi atau melakukan kegiatan-kegiatan lain agar mereka lebih aktif. Dia tetap duduk dikursi guru dan dengan ogah-ogahan menjawab pertanyaan ketika siswa mengajukan pertanyaan kepadanya. Ketika diajak bicara, tampak bahwa ia sebenarnya tidak suka baik menjadi guru maupun kepada siswa-siswanya. Namun, karena dia menganggur dan sulit mencari pekerjaan lain terpaksa ia memilih menjadi guru.

Kasus Tiga
Ibu Arya baru memasuki tahun pertama sebagai seorang guru kelas. Setelah beberapa minggu bertugas, tampak bahwa Ibu Arya memiliki kepedulian yang mendalam terhadap siswa-siswanya. Dia sering tetap berada di dalam kelas ketika jam istirahat, bahkan setelah jam sekolah usai, untuk bekerja bersama-sama siswa yang memiliki kesulitan belajar. Dia melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau mengundang para siswa saat hari libur. Dia sering berada di sekolah hingga hari menjelang sore, mengerjakan berbagai tugas baru dan selalu meninggalkan sekolah dengan membawa setumpuk pekerjaan rumah. Pada saat rapat-rapat guru, dia tidak keberatan menjadi sukarelawan pada berbagai kepanitiaan dan selalu bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan tambahan, seperti memantau kegiatan makan bersama di kafe sekolah atau menengok kelas-kelas yang diajar guru lain. Dia ingin bekerja dengan baik dan penuh semangat.
Akan tetapi kelas yang ia ajar tidak berjalan lancar dan efektif. Banyak barang-barang tercecer dan berserakan, siswa merasa bingung terhadap tugas-tugas yang harus dikerjakan, dan Ibu Arya sering lupa meletakkan perangkat mengajarnya dan juga tugas-tugas siswanya di tempat yang tidak semestinya. Kelas yang ia ajar biasanya bermula dengan kebingungan, dan siswa harus menunggu lama sehingga mereka gaduh, resah, bahkan saling mengganggu. Bu Arya selalu berusaha agar suasana kelas terkendali dengan tetap mendorong siswa membuat aturan sendiri dan memonitor jadwal yang mereka buat. Bu Arya menyadari bahwa kelasnya tidak berjalan efektif dan, sebagai kompensasinya, dia bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih lama bagi siswa secara individual dan menambahkan berbagai kegiatan yang kreatif. Kepala sekolah mencatat bahwa, meskipun hampir semua siswa menyukai Bu Arya, sebagian besar waktunya terbuang percuma.



Kasus Empat
Pak Sangui tinggal setahun lagi mengajar di SD Dorowati. Dia akan segera pensiun. Dengan sengaja dia memilih tetap menjadi guru meskipun beberapa kesempatan untuk menduduki jabatan struktural seperti kepala sekolah, pengawas, atau pejabat Dinas Pendidikan di kotanya pernah ia dapatkan. Sepanjang hidupnya dicurahkan untuk membantu generasi muda agar terus belajar. Selama karirnya menjadi guru, dia sering dipandang sebagai orang tua oleh para muridnya bahkan kakek oleh murid-muridnya saat ini. Hampir semua guru saat ini dan sebelumnya, semua muridnya di masa lampau maupun sekarang, para orang tua, dan orang-orang kebanyakan menghormati Pak Sangui sebagai orang yang istimewa. Pada tahun terakhir menjelang pensiun ini ia masih aktif melibatkan diri dalam berbagai urusan sekolah, mengupayakan berbagai keperluan pembelajaran ke dalam kelas, menjadi pimpinan PGRI di kecamatannya, dan aktif menghadiri lokakarya, seminar, berbagai pertemuan profesional, MGMP. Dia merasakan bahwa masyarakat Desa Dorowati telah berubah secara signifikan, yang semula merupakan masyarakat kelas menengah yang eksklusif menjadi masyarakat yang plural yang terdiri dari berbagai tingkat sosial ekonomi, beragam suku, dan adat kebiasaan. Dia merespon perubahan ini dengan mempelajari perbedaan-perbedaan yang terjadi pada siswanya, mempelajari dialek-dialek dan kebiasaan kelompok minoritas, dan memanfaatkan semua itu dalam pembelajaran di dalam kelas untuk memberi pengalaman kepada siswa untuk hidup berdampingan dalam perbedaan multi budaya. Guru-guru lain geleng kepala atas kekagumannya keda Pak Sangui dan mereka sering meminta nasehat kepadanya.

--------------------

*)   Handout disampaikan pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Peningkatan Kompetensi Pengawas Kementerian Agama, Tahun 2011. Kerjasama antara Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dengan Kementerian Agama.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...