HANDOUT SUPERVISI AKADEMIK
Oleh: Hari Karyono
Dosen Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Secara
konseptual, dikemukakan oleh Glickman (1981), supervisi akademik adalah
serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran
demi pencapaian tujuan pembelajaran. Supervisi akademik merupakan upaya
membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran.
(Daresh, 1989). Dengan demikian, berarti, esensi supervisi akademik itu sama
sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran,
melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya.
Tujuan
supervisi akademik adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mencapai
tujuan pembelajaran yang dicanangkan bagi murid-muridnya (Glickman, 1981).
Melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh
guru semakin meningkat (Neagley, 1980). Pengembangan kemampuan dalam konteks
ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada
peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada
peningkatan komitmen (commitmen) atau
kemauan (willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab dengan
meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran akan
meningkat. Sedangkang menurut Sergiovanni (1987) ada tiga tujuan supervisi
akademik sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1.
TIGA TUJUAN SUPERVISI
|
Pengem-bangan Profesio-nalisme
|
Pengawas-an kualitas
|
Penum-buhan Motivasi
|
Alfonso,
Firth, dan Neville (1981) menggambarkan sistem pengaruh perilaku supervisi
akademik sebagaimana gambar 2.
Perilaku Supervisi Akademik
|
Perilaku Akademik
|
Perilaku Belajar
Siswa
|
Gambar 2 Sistem Fungsi
Supervisi Akademik
Gambar
2 tersebut di bawah ini memperjelas kita dalam memahami sistem pengaruh
perilaku supervisi akademik. Perilaku supervisi akademik secara langsung
berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui
supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru sehingga
perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar mengajar. Selanjutnya
perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi perilaku belajar murid.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan akhir supervisi akademik adalah
terbinanya perilaku belajar murid yang lebih baik.
Berikut
ini ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh
supervisor dalam melaksanakan supervisi akademik, yaitu sebagai berikut.
1.
Supervisi
akademik harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan
kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan
informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru,
melainkan juga antara supervisor dengan pihak lain yang terkait dengan program
supervisi akademik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus
memiliki sifat-sifat, seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg,
sabar, antusias, dan penuh humor (Dodd, 1972).
2.
Supervisi
akademik harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan
tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan.
Perlu dipahami bahwa supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan
program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah
berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor,
melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat
problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.
3.
Supervisi
akademik harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan
supervisi akademiknya. Titik tekan supervisi akademik yang demokratis adalah
aktif dan kooperatif. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang
dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada
supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik
sebaiknya direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif
dengan guru, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi
supervisor.
4.
Program supervisi
akademik harus integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi
pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu
tujuan pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku
administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem
perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso,
dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara
integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan
program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini
diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak
pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).
5.
Supervisi
akademik harus komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup
keseluruhan aspek pengembangan akademik, walaupun mungkin saja ada penekanan
pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan
akademik sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan
multi tujuan supervisi akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembangan
profesional, dan memotivasi guru, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
6.
Supervisi
akademik harus konstruktif. Supervisi akademik bukanlah sekali-kali untuk
mencari kesalahan-kesalahan guru. Memang dalam proses pelaksanaan supervisi
akademik itu terdapat kegiatan penilaian unjuk kerjan guru, tetapi tujuannya
bukan untuk mencari kesalahan-kesalahannya. Supervisi akademik akan
mengembangkan pertumbuhan dan kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan
problem-problem akademik yang dihadapi.
7.
Supervisi
akademik harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi,
keberhasilan program supervisi akademik harus obyektif. Objectivitas dalam
penyusunan program berarti bahwa program supervisi akademik itu harus disusun
berdasarkan kebutuhan nyata pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam
mengevaluasi keberhasilan program supervisi akademik. Di sinilah letak
pentingnya instrumen pengukuran yang memiliki validitas dan reliabilitas yang
tinggi untuk mengukur seberapa kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.
Ada
empat kompetensi yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu
kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. pemahaman
dan pemilikan guru terhadap tujuan akademik, persepsi guru terhadap murid,
pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik. Aspek
substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang
dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar,
penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek substansi ketiga
merepresentasikan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran
pada bidang studi yang diajarkannya. Adapun aspek substansi keempat
merepresentasikan seberapa luas penguasaan guru terhadap teknik akademik,
manejemen, pengorganisasian kelas, dan keterampilan lainnya yang merupakan
unsur akademik yang efektif.
Mengenai
keseluruhan evolusi peran supervisor ini bisa dirangkum dalam tabel 1 berikut.
Masa
|
Peran
|
1850
– 1910
1910
– 1920
1920
– 1930
1930
– 1955
1955
– 1965
1965
– 1970
1970
– 1980
1980
–
|
inspeksi /pengawasan
supervisi ilmiah
supervisi birokrasi
supervisi kooperatif
supervisi sebagai pengembangan kurikulum
supervisi klinis
supervisi sebagai manajemen
pengelolaan akademik
|
Sumber : Wiles, J, dan Bondi, J. (1986. Supervision: A Guide to Practice, Second Edition, Columbus, Charles
E. Merril Publishing Company.
Peran supervisor akademik
pada masa sekarang ini adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya
mengelola akademik. Peran yang demikian ini sesuai sekali dengan konsep
supervisi akademik yang dikemukakan oleh Glickman (1981), Alfonso, Firth, dan
Neville (1981), Sergiovanni (1987), dan Daresh (1989), sebagaimana telah
dikemukakan di muka. Selanjutnya, Wiles dan Bondi mendeskripsikan dengan bidang
khusus kompetensi supervisi (special
areas to supervision competence), yang menurut penulis merupakan
peran-peran supervisor dalam melakukan supervisi akademik. Dalam hal ini dapat
dibagi menjadi delapan peran sebagai berikut.
1.
supervisors are developers of people
2.
supervisors are curriculum developers
3.
supervisors are instructional specialist
4.
supervisors are human relations workers
5.
supervisors are staff developers
6.
supervisors are administrators
7.
supervisors are managers of change
8.
supervisors are evaluators
(Wiles
& Bondi, 1986, halaman 17 – 23)
F. Teknik Supervisi Akademik
Ada
bermacam-macam teknik supervisi akademik dalam upaya pembinaan kemampuan guru, yaitu.
teknik supervisi individual, danteknik supervisi kelompok.
Teknik
supervisi individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada
guru tertentu yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Supervisor
di sini hanya berhadapan dengan seorang guru yang dipandang memiliki persoalan
tertentu. Teknik-teknik supervisi yang dikelompokkan sebagai teknik individual
meliputi: kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan
antarkelas, dan menilai diri sendiri. Berikut ini dijelaskan
pengertian-pengertian dasarnya secara singkat satu persatu.
a. Kunjungan Kelas
Kunjungan
kelas adalah teknik pembinaan guru oleh kepala sekolah, pengawas, dan pembina
lainnya dalam rangka mengamati pelaksanaan proses belajar mengajar sehingga
memperoleh data yang diperlukan dalam rangka pembinaan guru. Tujuan kunjungan
ini adalah semata-mata untuk menolong guru dalam mengatasi kesulitan atau
masalah mereka di dalam kelas. Melalui kunjungan kelas, guru-guru dibantu
melihat dengan jelas masalah-masalah yang mereka alami. Menganalisisnya secara
kritis dan mendorong mereka untuk menemukan alternatif pemecahannya. Kunjungan
kelas ini bisa dilaksanakan dengan pemberitahuan atau tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, dan bisa juga atas dasar undangan dari guru itu sendiri.
Ada
empat tahap kunjungan kelas. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini,
supervisor merencanakan waktu, sasaran, dan cara mengobservasi selama kunjungan
kelas. Kedua, tahap pengamatan selama kunjungan. Pada tahap ini, supervisor
mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. Ketiga, tahap akhir
kunjungan. Pada tahap ini, supervisor
bersama guru mengadakan perjanjian untuk membicarakan hasil-hasil observasi,
sedangkan tahap terakhir adalah tahap tindak lanjut. Ada beberapa kriteria
kunjungan kelas yang baik, yaitu: (1) memiliki tujuan-tujuan tertentu; (2) mengungkapkan
aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru; (3) menggunakan instrumen
observasi tertentu untuk mendapatkan daya yang obyektif; (4) terjadi interaksi
antara pembina dan yang dibina sehingga menimbulkan sikap saling pengertian;
(5) pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses belajar mengajar; (6) pelaksanaannya
diikuti dengan program tindak lanjut
b. Observasi Kelas
Observasi
kelas secara sederhana bisa diartikan melihat dan memperhatikan secara teliti
terhadap gejala yang nampak. Observasi
kelas adalah teknik observasi yang dilakukan oleh supervisor terhadap proses pembelajaran
yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah untuk memperoleh data seobyektif
mungkin mengenai aspek-aspek dalam situasi belajar mengajar,
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam usaha memperbaiki proses
belajar mengajar. Secara umum, aspek-aspek yang diamati selama proses pembelajaran
yang sedang berlangsung adalah:
a.
usaha-usaha dan
aktivitas guru-siswa dalam proses pembelajaran
b.
cara penggunaan
media pengajaran
c.
reaksi mental para siswa dalam proses belajar mengajar
d.
keadaan media
pengajaran yang dipakai dari segi materialnya.
Pelaksanaan
observasi kelas ini melalui beberapa tahap, yaitu: (1) persiapan observasi
kelas; (2) pelaksanaan observasi kelas; (3) penutupan pelaksanaan observasi
kelas; (4) penilaian hasil observasi; dan (5) tindak lanjut. Dalam melaksanakan
observasi kelas ini, sebaiknya supervisor menggunakan instrumen observasi
tertentu, antara lain berupa evaluative
check-list, activity check-list.
c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual adalah satu pertemuan, percakapan,
dialog, dan tukar pikiran antara pembina atau supervisor guru, guru dengan guru, mengenai usaha meningkatkan
kemampuan profesional guru. Tujuannya adalah: (1) memberikan kemungkinan
pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan yang dihadapi; (2) mengembangkan
hal mengajar yang lebih baik; (3) memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan
pada diri guru; dan (4) menghilangkan atau menghindari segala prasangka yang
bukan-bukan.
Swearingen
(1961) mengklasifikasi jenis percakapan individual ini menjadi empat macam
sebagai berikut
1)
classroom-conference, yaitu percakapan
individual yang dilaksanakan di dalam kelas ketika murid-murid sedang
meninggalkan kelas (istirahat).
2)
office-conference. Yaitu percakapan
individual yang dilaksanakan di ruang kepala sekolah atau ruang guru, di mana
sudah dilengkapi dengan alat-alat bantu yang dapat digunakan untuk memberikan
penjelasan pada guru.
3)
causal-conference. Yaitu percakapan individual yang bersifat informal,
yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu dengan guru
4)
observational visitation. Yaitu percakapan individual yang
dilaksanakan setelah supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas
Dalam
percakapan individual ini supervisor harus berusaha mengembangkan segi-segi
positif guru, mendorong guru mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan memberikan
pengarahan, hal-hal yang masih meragukan sehingga terjadi kesepakatan konsep
tentang situasi pembelajaran yang sedang dihadapi.
d. Kunjungan Antar Kelas
Kunjungan
antarkelas dapat juga digolongkan sebagai teknik supervisi secara perorangan.
Guru dari yang satu berkunjung ke kelas yang lain dalam lingkungan sekolah itu
sendiri. Dengan adanya kunjungan antarkelas ini, guru akan memperoleh
pengalaman baru dari teman sejawatnya mengenai pelaksanaan proses pembelajaran
pengelolaan kelas, dan sebagainya.
Agar
kunjungan antarkelas ini betul-betul bermanfaat bagi pengembangan kemampuan
guru, maka sebelumnya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh supervisor apabila menggunakan teknik ini
dalam melaksanakan supervisi bagi guru-guru.
1)
Guru-guru
yang akan dikunjungi harus diseleksi dengan sebaik-baiknya. Upayakan mencari
guru yang memang mampu memberikan pengalaman baru bagi guru-guru yang akan
mengunjungi.
2)
Tentukan
guru-guru yang akan mengunjungi.
3)
Sediakan
segala fasilitas yang diperlukan dalam kunjungan kelas.
4)
Supervisor
hendaknya mengikuti acara ini dengan cermat. Amatilah apa-apa yang ditampilkan
secara cermat, dan mencatatnya pada format-format tertentu.
5)
Adakah
tindak lanjut setelah kunjungan antarkelas selesai. Misalnya dalam bentuk
percakapan pribadi, penegasan, dan pemberian tugas-tugas tertentu.
6)
Segera
aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, dengan menyesuaikan
pada situasi dan kondisi yang dihadapi.
7)
Adakan
perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.
e. Menilai Diri Sendiri
Menilai
diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan.
Penilaian diri sendiri merupakan satu teknik pengembangan profesional guru
(Sutton, 1989). Penilaian diri sendiri memberikan informasi secara obyektif
kepada guru tentang peranannya di kelas dan memberikan kesempatan kepada guru
mempelajari metoda pengajarannya dalam mempengaruhi murid (House, 1973). Semua
ini akan mendorong guru untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya (DeRoche,
1985; Daresh, 1989; Synder & Anderson, 1986).
Nilai
diri sendiri merupakan tugas yang tidak mudah bagi guru. Untuk mengukur
kemampuan mengajarnya, di samping menilai murid-muridnya, juga menilai dirinya
sendiri. Ada beberapa cara atau alat yang dapat digunakan untuk menilai diri
sendiri, antara lain sebagai berikut.
1)
Suatu
daftar pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada murid-murid untuk
menilai pekerjaan atau suatu aktivitas. Biasanya disusun dalam bentuk
pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, dengan tidak perlu menyebut
nama.
2)
Menganalisa
tes-tes terhadap unit kerja.
3)
Mencatat
aktivitas murid-murid dalam suatu catatan, baik mereka bekerja secara perorangan
maupun secara kelompok.
Teknik
supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang
ditujukan pada dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga, sesuai dengan
analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan
yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu/bersama-sama. Kemudian
kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau
kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn, ada tiga belas teknik supervisi
kelompok, sebagai berikut.
1.
Kepanitiaan-kepanitiaan
2.
Kerja kelompok
3.
Laboratorium
kurikulum
4.
Baca terpimpin
5.
Demonstrasi pembelajaran
6.
Darmawisata
7.
Kuliah/studi
8.
Diskusi panel
9.
Perpustakaan
jabatan
10. Organisasi profesional
11. Buletin supervisi
12. Pertemuan guru
13. Lokakarya atau konferensi kelompok
Teknik
supervisi kelompok ini tidak akan dibahas satu persatu, karena sudah banyak
buku yang secara khusus membahasnya. Satu hal yang perlu ditekankan di sini
bahwa tidak ada satupun di antara teknik-teknik supervisi kelompok di atas yang
cocok atau bisa diterapkan untuk semua pembinaan dan guru di sekolah. Artinya,
akan ditemui oleh kepala sekolah adanya satu teknik tertentu yang cocok
diterapkan untuk membina seorang guru tetapi tidak cocok diterapkan pada guru
lain. Oleh sebab itu, seorang kepala sekolah harus mampu menetapkan
teknik-teknik mana yang sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran
seorang guru.
Menetapkan
teknik-teknik supervisi akademik yang tepat tidaklah mudah. Seorang kepala
sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan
dibina, juga harus mengetahui karakteristik setiap teknik di atas dan sifat
atau kepribadian guru, sehingga teknik yang digunakan betul-betul sesuai dengan
guru yang sedang dibina melalui supervisi akademik. Sehubungan dengan
kepribadian guru, Lucio dan McNeil (1979) menyarankan agar kepala sekolah
mempertimbangkan enam faktor kepribadian guru, yaitu kebutuhan guru, minat
guru, bakat guru, temperamen guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic guru.
Ada
lima langkah pembinaan kemampuan guru melalui supervisi akademik, yaitu: (1)
menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis, (2) analisis kebutuhan, (3)
mengembangkan strategi dan media, (4) menilai, dan (5) revisi
H.
Kesimpulan
Supervisi
akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya
mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Supervisi
akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensi supervisi akademik itu
sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran,
melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Dalam
prakteknya, supervisi akademik dapat menerapkan teknik-teknik yang bersifat
individual maupun teknik-teknik yang bersifat kelompok. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah memberi motivasi kepada guru.
1.
Bersimulasi
menerapkan teknik-teknik supervisi akademik, baik teknik supervisi individual
maupun maupun teknik supervisi kelompok. Satu kelompok peserta diklat bersimulai
mempraktekkan satu teknik supervisi akademik.
2.
Setiap
kelompok peserta diklat dapat menggunakan instrumen skala kepuasan kerja,
ditugaskan mengukur kepuasan kerja yang dirasakan dirinya masing-masing.
Kemudian dilanjutkan dengan analisis dan pengembangan program pemenuhan
kebutuhan.
a.
Setiap
peserta melakukan pengembangan program supervisi pada kasus-kasus berikut:
Kasus Pertama
Ibu Susi adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang
telah mengajar selama dua belas tahun di Sekolah Dasar Negeri Pringgondani. Dia
telah berkeluarga, tetapi belum memiliki anak, dan tinggal di sebuah kawasan
mewah sekitar sepuluh kilometer dari kawasan miskin dimana SDN Pringgondani
berada. Alasan utama mengapa ia mau menjadi guru adalah keinginannya “untuk
membantu siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu tersebut memperoleh
pengetahuan untuk mengapresiasi karya sastra.” Dia merupakan seorang sangat
aktif membaca baik mengenai sastra lama maupun sastra modern. Kadang-kadang dia
juga membuat karangan cerita pendek.
Ibu Susi sebenarnya merupakan guru yang kompeten.
Dia memiliki gaya bicara yang meledak-ledak. Tubuhnya yang besar, segar, dan
tinggi membuat penampilannya mengesankan setiap orang yang melihat. Banyak
siswa yang takut padanya dan ketika anak-anak lama bertemu siswa baru mereka
sering memperingatkan dengan berkata “Kamu jangan macam-macam dengan Ibu Susi”.
Hampir semua siswa enggan mengatakan bahwa kelas yang diajar Ibu Susi memberi
manfaat. Ketika kerja keras dan tekanan yang diberikan Ibu berlalu, mereka
seperti terlepas dari belenggu seorang pembaca dan penulis yang baik.
Ibu Susi, kecuali menurut seorang teman akrabnya,
tidak disukai oleh guru-guru lain di SDN Pringgondani. Guru-guru itu sering
mengeluhkan sikapnya yang sombong dan elitis. Dia suka menunjukkan kesan bahwa
SD Pringgondani diuntungkan oleh keberadaannya di sekolah itu. Dia suka pamer
bahwa sebenarnya dia telah diterima sebagai seorang mahasiswa Program S3 pada
sebuah universitas yang ternama, tetapi dia lebih memilih menjadi guru-guru di
kawasan miskin. Dalam setiap rapat, sikap superioritasnya selalu muncul. Dia
selalu memiliki jawaban yang baik terhadap setiap persoalan yang timbul di
sekolah. Dia berpengetahuan luas, mampu melakukan analisis yang mendalam, dan
memiliki usul-usul yang baik untuk mengatasi berbagai masalah. Akan tetapi,
ketika saatnya harus bertindak, dia selalu tertinggal di belakang. Dia mudah
mengajukan berbagai saran mengenai berbagai hal yang dapat dikerjakan atau apa
yang seharusnya dikerjakan oleh guru lain agar SD Pringgondani menjadi lebih
baik, akan tetapi biasanya ia merupakan guru yang datang terakhir di sekolah
tetapi paling awal meninggalkan sekolah.
Kasus Dua
Pak Jojon telah mengajar di SD Amarta selama lima
tahun. Tidak tahu karena apa, IKIP di kota dia kuliah meloloskan dia sebagai
seorang sarjana pendidikan dan mendapatkan sertifikat sebagai guru. Dan tidak
diketahui juga mengapa sekolah sebelumnya memberi kesempatan kepada dia
sehingga memiliki pengalaman kerja sebagai guru. Kepala SD Amarta mengetahui
bahwa para siswa, orang tua, dan guru-guru lain memandang Pak Jojon sebagai
guru yang tidak layak. Sang kepala sekolah sependapat dengan penilaian itu. Pak
Jojon mengajar IPS dan IPA pada kelas empat, kelas lima, dan kelas enam, lima
jam tiap hari. Setiap kelas diajar dengan cara-cara yang sama. Dia menuliskan
dipapan tulis semua isi buku yang harus dibaca siswa dan semua tugas-tugas yang
harus dikerjakan oleh siswa. Para siswa memasuki kelas kemudian duduk. Pak
Jojon memberi perintah kepada siswa-siswanya “Semua bacaan dan tugas-tugas yang
harus kalian pelajari telah tertulis di papan. Kerjakan semua tugas dan tetap
tenang.” Dia berjalan-jalan keliling kelas dengan sedikit mengetuk-ngetukkan
sepatunya agar siswa tetap tenang. Kadang-kadang dia memberi ceramah; sangat
jarang mengajak siswa berdiskusi atau melakukan kegiatan-kegiatan lain agar
mereka lebih aktif. Dia tetap duduk dikursi guru dan dengan ogah-ogahan menjawab
pertanyaan ketika siswa mengajukan pertanyaan kepadanya. Ketika diajak bicara,
tampak bahwa ia sebenarnya tidak suka baik menjadi guru maupun kepada
siswa-siswanya. Namun, karena dia menganggur dan sulit mencari pekerjaan lain
terpaksa ia memilih menjadi guru.
Kasus Tiga
Ibu Arya baru memasuki tahun pertama sebagai
seorang guru kelas. Setelah beberapa minggu bertugas, tampak bahwa Ibu Arya
memiliki kepedulian yang mendalam terhadap siswa-siswanya. Dia sering tetap
berada di dalam kelas ketika jam istirahat, bahkan setelah jam sekolah usai,
untuk bekerja bersama-sama siswa yang memiliki kesulitan belajar. Dia melakukan
kunjungan ke rumah-rumah atau mengundang para siswa saat hari libur. Dia sering
berada di sekolah hingga hari menjelang sore, mengerjakan berbagai tugas baru
dan selalu meninggalkan sekolah dengan membawa setumpuk pekerjaan rumah. Pada
saat rapat-rapat guru, dia tidak keberatan menjadi sukarelawan pada berbagai
kepanitiaan dan selalu bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan tambahan, seperti
memantau kegiatan makan bersama di kafe sekolah atau menengok kelas-kelas yang
diajar guru lain. Dia ingin bekerja dengan baik dan penuh semangat.
Akan tetapi kelas yang ia ajar tidak berjalan
lancar dan efektif. Banyak barang-barang tercecer dan berserakan, siswa merasa
bingung terhadap tugas-tugas yang harus dikerjakan, dan Ibu Arya sering lupa
meletakkan perangkat mengajarnya dan juga tugas-tugas siswanya di tempat yang
tidak semestinya. Kelas yang ia ajar biasanya bermula dengan kebingungan, dan siswa
harus menunggu lama sehingga mereka gaduh, resah, bahkan saling mengganggu. Bu
Arya selalu berusaha agar suasana kelas terkendali dengan tetap mendorong siswa
membuat aturan sendiri dan memonitor jadwal yang mereka buat. Bu Arya menyadari
bahwa kelasnya tidak berjalan efektif dan, sebagai kompensasinya, dia bekerja
lebih keras dan meluangkan waktu lebih lama bagi siswa secara individual dan
menambahkan berbagai kegiatan yang kreatif. Kepala sekolah mencatat bahwa,
meskipun hampir semua siswa menyukai Bu Arya, sebagian besar waktunya terbuang
percuma.
Kasus Empat
Pak Sangui tinggal setahun lagi mengajar di SD
Dorowati. Dia akan segera pensiun. Dengan sengaja dia memilih tetap menjadi
guru meskipun beberapa kesempatan untuk menduduki jabatan struktural seperti
kepala sekolah, pengawas, atau pejabat Dinas Pendidikan di kotanya pernah ia
dapatkan. Sepanjang hidupnya dicurahkan untuk membantu generasi muda agar terus
belajar. Selama karirnya menjadi guru, dia sering dipandang sebagai orang tua
oleh para muridnya bahkan kakek oleh murid-muridnya saat ini. Hampir semua guru
saat ini dan sebelumnya, semua muridnya di masa lampau maupun sekarang, para
orang tua, dan orang-orang kebanyakan menghormati Pak Sangui sebagai orang yang
istimewa. Pada tahun terakhir menjelang pensiun ini ia masih aktif melibatkan
diri dalam berbagai urusan sekolah, mengupayakan berbagai keperluan
pembelajaran ke dalam kelas, menjadi pimpinan PGRI di kecamatannya, dan aktif
menghadiri lokakarya, seminar, berbagai pertemuan profesional, MGMP. Dia
merasakan bahwa masyarakat Desa Dorowati telah berubah secara signifikan, yang
semula merupakan masyarakat kelas menengah yang eksklusif menjadi masyarakat
yang plural yang terdiri dari berbagai tingkat sosial ekonomi, beragam suku,
dan adat kebiasaan. Dia merespon perubahan ini dengan mempelajari
perbedaan-perbedaan yang terjadi pada siswanya, mempelajari dialek-dialek dan
kebiasaan kelompok minoritas, dan memanfaatkan semua itu dalam pembelajaran di
dalam kelas untuk memberi pengalaman kepada siswa untuk hidup berdampingan
dalam perbedaan multi budaya. Guru-guru lain geleng kepala atas kekagumannya
keda Pak Sangui dan mereka sering meminta nasehat kepadanya.
--------------------
*) Handout
disampaikan pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Peningkatan
Kompetensi Pengawas Kementerian Agama, Tahun 2011. Kerjasama antara Universitas
PGRI Adi Buana Surabaya dengan Kementerian Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar