Minggu, 07 Januari 2018

REVITALISASI PENDIDIKAN



REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER:
Tinjauan dari Perspektif Teknologi Pembelajaran

Hari Karyono
Wiwin Andriani

Dosen Program Studi Teknologi Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Abstrak: institusi pendidikan mempunyai kontribusi dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter harus diajarkan sejak dini, sejak Taman Kanak-Kanak (TK). Kajian ini membahas tentang penanaman pendidikan karakter di TK. Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan karakter harus ada kerjasama secara sinergis antara sekolah dan orang tua. Metode yang diprediksi paling efektif adalah dengan pembiasaan dan keteladanan. Pembiasaan perilaku yang baik dan santun diintegrasikan pada setiap kegiatan di sekolah dan di rumah. Sedangkan keteladanan diterapkan dengan guru atau orang tua yang berperan sebagai “model” yang perlu diteladani dengan sifat-sifat yang baik melalui imitasi (peniruan). Diha-rapkan dengan pembiasaan, keteladanan (model), imitasi (peniruan) dapat ditanamkan budi pekerti yang baik bagi peserta didik di TK. 
Abstract: educational institutions have contributed in character education. Character education should be taught from an early age, since kindergarten (TK). This study discusses the cultivation of character education in kindergarten.  Based on the discussion, it can be concluded that the character education should be a synergistic cooperation between schools and parents.  The most effective method is predicted to habituation and exemplary. Habituation good behavior and manners are integrated in every activity at school and at home. While the example is applied to a teacher or parents who acts as a "model" that needs to be followed with good properties through imitation. It is hoped that with habituation , exemplary (models), imitation instilled good manners for students in kindergarten.
 
 Kata-kata kunci: penanaman, pendidikan karakter, taman kanak-kanak.

A.Pendahuluan
Memperhatikan fenomena yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, ada gejala yang cukup memprihatikan, yaitu meningkatnya perilaku yang menyimpang di kalangan masyarakat. Penyimpangan perilaku ini hampir dapat kita temuai hampir setiap hari diekspos di berbagai media. Berita tentang kenakalan remaja sampai pada peristiwa kriminal, seperti “begal” yang dilakukan oleh pelaku yang masih berstatus pelajar adalah salah satu modus dekadensi moral yang perlu untuk dikaji dan dicarikan solusi yang efektif. Dalam konteks inilah, institusi pendidikan harus mengambil peran untuk memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter yang baik bagi peserta didiknya.
Manusia seharusnya bersifat human (humanis). Seorang manusia seharusnya bersifat manusiawi. Gejala yang tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah terjadinya kecenderungan semakin terkikisnya sifat-sifat kemanusiaan manusia, yakni proses dehumanisasi yang demikian pesat dewasa ini. Menurut Akbar (2011) dalam pidato guru besarnya mengemukakan lima macam dehumanisasi, antara lain: (1) banyak manusia yang semakin jauh dengan Tuhannya, (2) banyak manusia yang merasa jauh dengan manusia lain, (3) banyak manusia yang merasa jauh dengan lingkungan alam tempat hidupnya, (4) banyak diantara manusia yang jauh dengan dirinya sendiri, dan (5) banyak di antara manusia Indonesia yang perilakunya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Pengamatan Megawangi (2011) menarik untuk dicermati bahwa walaupun sejak usia TK, peserta didik memperoleh Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila, tetapi masih banyak perilaku yang menyimpang, seperti gemar mencontek, kebiasaan bullying di sekolah, tawuran, termasuk perilaku orang dewasa yang senang dengan konflik dan kekerasan. Sudah bukan hal yang aneh apabila kita tonton di layar kaca, masyarakat rentan konflik, masalah kecil atau sepele menjadi pemicu terjadinya adu fisik secara massal. Konflik tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi juga di lingkungan pendidikan. Mahasiswa yang bernaung dalam satu universitas atau fakultas saja, yang berbeda jurusan atau program studi  bisa terjadi konflik.
Fenomena dekadensi moral dan dehumanisasi di atas, menarik untuk dikaji wacana pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di berbagai forum akademisi dan sorotan yang kritis dari para pemerhati pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan karakter mutlak harus ditanamkan sejak usia dini.
Sebenarnya, pendidikan karakter merupakan hal yang baru sekarang ini, walaupun bukan sesuatu yang baru. Pada galibnya, penanaman nilai-nilai sebagai sebuah karakteristik seseorang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman, agaknya menuntut adanya penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam sebuah wadah kegiatan pendidikan di setiap pengajaran.
Penanaman nilai-nilai tersebut dimasukkan (embeded) ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran dengan maksud agar dapat tercapai sebuah karakter yang selama ini semakin memudar.
Setiap mata pelajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamankan dalam diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mata pelajaran yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.  
Dalam tataran wacana, pendidikan karakter harus diterapkan sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Sedangkan dalam tataran operasional, pendidikan karakter harus diterapkan sejak di Taman Kanak-Kanak (TK) dengan mengoptimal para guru sebagai figur yang langsung berhadapan sengan peserta didik. Permasalahannya bagaimanakah sebaiknya penanaman pendidikan karakter  dapat efektif dilaksanakan pada jenjang pendidikan di TK.

B.Konsep Pendidikan Karakter
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassein dan ”kharax” yang maknanya tools for making atau to engrave yang artinya mengukir, kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Perancis “caracter” pada abad ke 14 dan kemudian banyak digunakan kembali dalam bahasa Inggris “character” sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia menjadi “karakter” (Alfert, 2010).  Membentuk karakter seperti kita mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dai hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Kemendiknas, 2010).
            Terdapat 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang ditanamkan di Taman Kanak-Kanak, yaitu: (1) nilai religius, (2) nilai jujur, (3) nilai toleransi, (4) nilai disiplin, (5) nilai Kerja Keras, (6) Nilai Kreatif, (7) Nilai Mandiri, (8) Nilai Demokrasi, (9) Nilai Rasa Ingintahu, (10) Nilai Semangat Kebangsaan, (11) Nilai Cinta Tanah Air, (12) Nilai Menghargai Prestasi, (13) Nilai Bersahabat Komunikatif, (14) Nilai Cinta Damai, (15) Nilai Gemar Membaca, (16) Nilai Peduli Lingkungan, (17) Nilai Peduli  Sosial, dan (18) nilai tanggung jawab.
            Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Secara singkat, Lickona (2013) mengemukakan bahwa karakter adalah kepemilikan “hal-hal yang baik”. Sebagai orang tua dan pendidik, tugas kita adalah mengajar anak-anak dan karakter adalah apa yang termuat di dalam pengajaran kita.

C.Pendidikan Karakter di TK
1.    Ciri Khusus Pendidikan di TK
Para pakar pendidikan mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini memiliki sejumlah ciri khusus yang membedakannya dari pendidikan yang akan dialami anak pada tahap selanjutnya yaitu pendidikan dasar. Yang dimaksud ciri khusus tersebut antara lain:
a.    Menumbuhkembangkan seluruh segi kemanusiaan anak, dalam konteks kecerdasan ini berarti mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ, Intelligence Quotient), kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient), kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient), kecerdasan majemuk, dan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya.
b.    Mendahulukan aktivitas yang mendorong partisipasi aktif anak agar merasakan berbagai pengalaman yang melibatkan seluruh aspek kemanusiaannya, psikis dan fisik, jiwa raga dan seluruh indranya.
c.    Menjadikan bermain sebagai roh bagi proses pembelajaran karena bagi anak yang sedang tumbuh bermain = belajar.
d.    Menjadikan seni dan pendidikan fisik sebagai menu utama yang dilaksanakan dalam suasana penuh kegembiraan, menyenangkan dan bebas (Putra & Dwilestari, 2012).  

2.    Peran Guru dalam Penanaman Pendidikan Karakter di TK
Guru mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Secanggih apapun teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat, peran guru di kelas sampai saat ini belum tergantikan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru mempunyai peranan yang sangat penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Sanjaya (2008) guru dalam proses pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon bisa memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin dapat mengganti peran guru.
Sementara itu, dalam menerapkan pendidikan karakter di sekolah, guru dipandang sebagai sosok atau profil yang paling dominan untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik. Oleh karena itu, sosok profil guru haruslah identik dengan guru yang baik. Hart (dalam Afifudin, dkk., 1988) yang melakukan riset terhadap sifat-sifat guru yang mendorong minat belajar dan sekaligus membentuk pribadi anak yang baik, antara lain dapat diidentifikasi sifat-sifat sebagai berikut: (1) suka membantu tugas sekolah, (2) memberikan tugas dan pelajaran dengan jelas dan memberikan contoh-contoh, (3) memiliki rasa humor, raing dan gembira, (4) dekat dengan anak didik, (5) memahami keadaan murid di dalam dan di luar sekolah, (6) membuat pelajaran itu merupakan sesuatu yang menyenangkan, (7) tegas, mampu menjamin ketenangan kelas, (8) bijaksana, tidak mempunyai anak emas, (9) tidak suka marah, tidak suka mencela, tidak kasar, dan (10) berkepribadian menarik.
Dalam mengkaji peran guru dalam menanamkan pendidikan karakter, ada pernyataan menarik dari seorang guru, Sri Rossyanti (dalam Munir, 2009) yang mengemukakan bahwa “mengajarkan baca tulis itu mudah, yang paling sulit adalah mengajarkan budi pekerti”.
Pendidikan karakter penting untuk diajarkan kepada semua orang. Institusi yang dianggap paling efektif untuk mengajarkan pendidikan karakter adalah sekolah.  Sedangkan di sekolah guru mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai figur yang langsung berhadapan dengan peserta didik.

3.    Perlunya Kerjasama antara Sekolah dan Orang Tua
Penanaman pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama dengan orang tua. Sebagaimana dikemukakan oleh Lickona (2008) bahwa meski sekolah – dan bukti menunjukkan bahwa sekolah memang bisa – namun sangat mungkin dampak yang mampu bertahan lama pada karakter anak akan lenyap apabila nilai-nilai yang diajarkan sekolah tidak didukung dari rumah.
Samani & Hariyanto (2011) mengemukakan bahwa pada tahap pelaksanaan (implementasi) dkembangkan pengalaman belajar (learning experinces) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yakni di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di setiap pilar pendidikan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur (structured learning experience). Dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan para siswa di mana saja membiasakan diri berperilaku sesuai nilai yang telah menjadi karakter dirinya, karena telah diinternalisasi melalui proses intervensi.      
Sebagaimana kita ketahui waku belajar peserta didik di sekolah sangat terbatas. Terutama peserta didik di TK. Dalam rentang waktu 24 jam aktivitas peserta didik, waktu belajar di sekolah hanya sekitar 4 jam (jika siswa masuk ke sekolah jam 07.00 s.d 10.00). Dengan demikian logis apabila waktu yang terbanyak aktivitas siswa adalah di rumah. Oleh karena itu, agar ada kesinambungan terhadap penanaman pendidikan karakter di sekolah yang telah diterima siswa dengan penanaman pendidikan karakter di rumah, maka perlu ada jalinan kerjasama. Bentuk kerjasama antara sekolah dan di rumah dalam penanaman pendidikan karakter, adalah sebuah keniscayaan. Tentang peran keluarga, Lipton (2010) menegaskan orang tua memang berperan dalam tumbuh kembang anak. Berperan sangat besar. Sementara itu, Putra & Dwilestari (2012) memberikan alasan yang rasional dalam konteks peran keluarga, dikemukakannya bahwa sudah barang tentu stimulasi dan intervensi yang pertama didapatkan dan dirasakan serta dihayati anak-anak berasal dari lingkungan terdekatnya yaitu keluarga, terutama orang tua. Dikemukakan lebih lanjut bahwa interaksi yang intens, mendalam dan bermakna dengan orang tua dan orang dewasa lain yang memiliki hubungan khusus dengan kanak-kanak sungguh memberikan pengaruh yang positif yang sangat signifikan bagi tumbuh kembang anak dalam segala dimensinya.
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak, mereka berada dalam keluarga sejak dalam kandungan sampai menjelang pernikahan. Oleh karena itu, peranan keluarga sangat penting dalam perjalanan seorang anak.Pendekatan pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia dini di TK dalam upaya pembentukan manusia holistik yang berkarakter unggul, harus didukung dengan perencanaan program jelas dan berkualitas yang meliputi visi, misi, tujuan, strategi, kegiatan yang utuh dan terintegrasi, guru yang berkualitas, sarana prasarana yang memadai, jadwal kegiatan dan dokumen perencanaan pembelajaran yang lengkap. Pelaksanaan pendekatan pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia dini di TK dapat meningkatkan kemampuan anak dalam seluruh aspek perkembangan dan karakternya melalui praktik pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan agama, pendidikan karakter pada pendidikan yang mengoptimalkan seluruh potensi peserta didik secara holistik.
Lickona (2008) mengemukakan beberapa tip atau kiat-kiat yang dapat dilakukan oleh para guru guna memperoleh akses pelibatan orang tua dalam penanaman pendidikan karakter di rumah. Kiat-kiat pelibatan orang tua dalam penanaman pendidikan karakter, antara lain dengan cara: (1) mengirim salinan rencana disiplin kelas kepada orang tua, (2) membangun hubungan positif dengan orang tua dengan memberi kabar baik di awal tahun ajaran, (3) memberitahukan persoalan kedisiplinan pada orang tua jika guru merasa benar-benar membutuhkan bantuan dan akan lebih baik jika dilakukan dengan cara yang positif ketimbang punitif (menghukum), (4) bertemu langsung dengan orang tua, bukan hanya menelpon, jika Anda menilai akan berbahaya jika orang tua bereaksi keras terhadap pemberitaan lewat telepon, dan (5) jika dipandang perlu, terapkan rencana kerjasama sekolah-rumah untuk memperbaiki perilaku anak.    
Dalam konsep pembinaan keluarga, pendidikan pertama bermula dari orangtua di lingkungan keluarga. Menurut Muhammad (2011) apabila pendidikan anak di lingkungan keluarga berhasil, pendidikan anak di sekolah diharapkan juga akan berhasil. Pendidikan anak di sekolah, sesungguhnya adalah perluasan dan peningkatan dari pendidikan anak di lingkungan keluarga. Bahkan dapat dikatakan, bahwa pendidikan orang tua kepada anak di lingkungan keluarga merupakan titik awal dari pendidikan guru terhadap murid di sekolah. Dengan kata lain, guru di sekolah adalah perpanjangan dari orang tua di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, orang tua dengan guru di sekolah harus bersinergi untuk memberikan pendidikan karakter dengan tetap mengacu pada peran masing-masing secara proporsional.
Yang perlu ditekakan disini adalah bahwa pendidikan karakter bukanlah materi yang hanya bisa dicatat dandihafalkan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik di sekolah, lingkungan  masyarakat dan di lingkungan di rumah melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, tentu tidak adaalat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter (Ainiyah, 2013).  

D.Beberapa Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter di TK
1.    Perluanya “Pembiaran” dalam Penanaman Pendidikan Karakter
Dalam menanamkan pendidikan karakter di TK ada beberapa faktor yang unik. Terutama fenomena yang ditunjukkan perilaku peserta didik usia TK. Dalam konteks ini, maka sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh para tenaga pendidik (guru) di TK dengan menerapkan “pembiaran”. Schaefer (2003) memberikan rambu-rambu di antara tingkah laku yang mesti dibiarkan oleh para guru (tenaga pendidik) di TK, seperti: (1) masuk ke dalam air, dan bermain-main di sana; (2) menjerit dan berteriak-teriak, di waktu sedang aktif bermain; (3) lantai yang kotor dan tidak karuan, di kala anak-anak sedang bermain; (4) kegiatan-kegiatan jasmani yang berkepanjangan dalam masa umur sekolah; (5) pakaian yang kotor, dan kadang-kadang koyak, sesudah bermain; dan (6) tidak hati-hati, pelupa, menghilangkan barang, dan tidak bijaksana.

2.    Contoh Teladan (Modeling)
Para pakar psikologi dan sosiologi berpendapat bahwa pembelajaran yang potensial untuk memuat anak tersebut menjadi makhluk sosial, ialah dengan belajarnya anak-anak itu dengan mengamati apa yang diperbuat orang lain, terutama orang tua. Teladan atau modeling adalah berhubungan dengan contoh teladan dari orang tua untuk anak-anak, dengan perbuatan dan tindakan-tindakannya sehari-hari. Anak-anak adalah peniru yang terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh keteladanan dapat lebih efektif dari bahasa sendiri, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat nonverbal yang berarti, yang menyediakan suatu contoh yang jelas untuk ditiru (Schaefer, 2003).

3.    Kemandirian
Salah satu pembentukan sikap yang perlu dilatih dan menjadi kebiasaan (habituasi) bagi peserta didik usia TK adalah kemandirian. Kemandirian adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Peserta didik usia TK, terutama TK A, yaitu anak yang baru masuk sekolah untuk pertama kali, tingkat  ketergantungan terhadap orang dewasa sangat dominan. Ketergantungan tersebut baik terhadap orang tuanya sendiri maupun gurunya di sekolah. Perhatikan ketika anak TK baru masuk sekolah, pengalaman pertama mereka ketika masuk sekolah masih nampak didampingi oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Pendampingan kepada anak di sekolah ini akan berlanjut sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Mereka (peserta didik) masih asing dengan lingkungannya. Lingkungan sekolah yang baru maupun lingkungan teman-temannya sebaya yang baru dikenal pula. Oleh karena itu, mereka (peserta didik) masih banyak dibantu, diberikan contoh-contoh mengenai sikap dan perilaku mereka untuk secara bertahap bisa mandiri dalam melakukan kegiatan-kegiatan sederhana sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah.
Sebagaimana lazimnya kegiatan belajar mengajar di TK, maka kegiatannya banyak yang identik dengan bermain. Oleh karena di TK, proses belajar mengajarnya adalah bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Demikian pula pengenalan Sementara itu, Lewis (2004)  menekankan perlunya membangun karakter anak melalui aktivitas nyata dan permainan.
Melalui bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain, anak dibimbing untuk bisa memahami berbagai macam hal dan melakukan kegiatan sehari – hari secara mandiri. Karakter yang baik juga akan bisa terbangun pada program ini. Dengan semua proses belajar mengajar yang dilaksanakan, anak akan bisa memiliki karakter yang baik dan percaya diri.

4.    Evaluasi
Pendidikan karakter bukanlah berupa materi yang hanya bisa dicatat dan dihafal-kan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik di sekolah, lingkungan masyarakat dan di lingkungan di rumah melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan orangtua.
Evaluasi dari keberhasilan pendidikan karakter ini tentunya tidak dapat dinilai dengan tes formatif atau sumatif yang dinyatakan dalam skor. Tetapi tolok ukur dari keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya peserta didik yang berkarakter, berakhlak, berbudaya, santun, religius, kreatif, inovatif yang teraplikasi dalam kehidupan disepanjang hayatnya. Oleh karena itu, tentu tidak ada alat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter (Ainiyah, 2013). 

E.Simpulan dan Saran
1.Simpulan                  
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) pendidikan karakter perlu ditanamkan sejak dini atau sejak usia TK (2) metode yang paling efektif bagi peserta didik di TK adalah pembiasaan dan keteladanan, (3) pembiasaan perilaku yang baik dan santun diimplementasikan pada setiap kegiatan di sekolah dan di rumah, (4) keteladanan diterapkan dengan guru atau orang tua yang berperan sebagai “model” yang perlu diteladani dengan sifat-sifat yang baik melalui imitasi (peniruan), dan (5) sekolah dan orang tua bekerjasama secara sinergis untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi penanaman pendidikan karakter bagi peserta peserta didik di TK.

2.Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat dikemukakan agar penanaman pendidikan karakter di TK efekif dan memperoleh hasil yang optimal, disarankan kepada sekolah dan guru, sebagai berikut: (1) sekolah harus menjadi komunitas yang peduli, oleh karena itu perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi guru untuk menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik di TK, (2) perlu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik di TK, (3) untuk menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik disarankan kepada para guru dengan menggunakan metode pembiasaan, keteladanan (model), imitasi (peniruan) dalam ditanamkan budi pekerti yang baik bagi peserta didik di TK. 
DAFTAR RUJUKAN

Afifudin, SK. & Mawardi, S. 1988. Psikologi Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar. Solo: Harapan Massa.

Ainiyah, N. 2013. Pembentukan Karakter melalui Pendidikan Agama Islam. Jurnal Al-Ulum, 13 Juni 2013.

Akbar, S. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan dalam Bidang Ilmu Pendidikan/Pendidikan Dasar, disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang, Tanggal 8 Juni 2011. Malang: Universitas Negeri Malang (UM).

Albert, J. 2010. Membangun Karakter Tangguh, Mempersiapkan Generasi Anti Kecurangan. Surabaya: Portico Publishing.

Budiyono, K. 2007. Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Koesoemo A, D. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lewis, B.A. 2004. Character Building untuk Anak-anak (Being Your Best). Batam: Karisma Publishing.

Lickona, T. 2008. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Alih Bahasa oleh Lita S. Bandung: Nusa Media.

Lickona, T. 2012. Character Matters (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Alih Bahasa oleh Juma Abdu Wamaungo & Jean Antunes Rudolf Zien.  Jakarta: PT Bumi Aksara.

Lipton, B. H. 2010. Rahasia Pikiran Tanpa Batas. Jakarta: Bhuana Imu Populer.

Megawangi, R. 2005. Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.

Moeslichatoen R. 1999. Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: diterbitkan Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan Penerbit Rineka Cipta.

Muhammad, A. 2011. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Munir, A. 2009. Spiritual Teaching: Agar Guru Senantiasa Menintai Pekerjaan dan Anak Didiknya.  Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Putra, N. & Dwilestari, N. 2012. Penelitian Kualitatif PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Samani, M. & Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Schaefer, C. 2003. Bagaimana Mendidik dan Mendisiplinkan Anak. Jakarta: CV Restu Agung.

Samani, M. & Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Soesilowindradini. 2011. Psikologi Perkembangan Masa Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...