REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER:
Tinjauan dari Perspektif
Teknologi Pembelajaran
Hari Karyono
Wiwin Andriani
Dosen Program Studi Teknologi Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Abstrak: institusi pendidikan mempunyai kontribusi dalam pendidikan karakter.
Pendidikan karakter harus diajarkan sejak dini, sejak Taman Kanak-Kanak
(TK). Kajian ini membahas tentang penanaman pendidikan karakter di TK.
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan karakter
harus ada kerjasama secara sinergis antara sekolah dan orang tua. Metode
yang diprediksi paling efektif adalah dengan pembiasaan dan keteladanan.
Pembiasaan perilaku yang baik dan santun diintegrasikan pada setiap
kegiatan di sekolah dan di rumah. Sedangkan keteladanan diterapkan dengan
guru atau orang tua yang berperan sebagai “model” yang perlu diteladani
dengan sifat-sifat yang baik melalui imitasi (peniruan). Diha-rapkan dengan
pembiasaan, keteladanan (model), imitasi (peniruan) dapat ditanamkan budi
pekerti yang baik bagi peserta didik di TK.
|
Abstract: educational institutions have contributed in character education. Character education should be taught from an early age, since kindergarten (TK). This study discusses the cultivation of character education in kindergarten. Based on the discussion, it can be concluded that the character education should be a synergistic cooperation between schools and parents. The most effective method is predicted to habituation and exemplary. Habituation good behavior and manners are integrated in every activity at school and at home. While the example is applied to a teacher or parents who acts as a "model" that needs to be followed with good properties through imitation. It is hoped that with habituation , exemplary (models), imitation instilled good manners for students in kindergarten.
|
A.Pendahuluan
Memperhatikan
fenomena yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, ada gejala yang cukup
memprihatikan, yaitu meningkatnya perilaku yang menyimpang di kalangan
masyarakat. Penyimpangan perilaku ini hampir dapat kita temuai hampir setiap
hari diekspos di berbagai media. Berita tentang kenakalan remaja sampai pada
peristiwa kriminal, seperti “begal”
yang dilakukan oleh pelaku yang masih berstatus pelajar adalah salah satu modus
dekadensi moral yang perlu untuk dikaji dan dicarikan solusi yang efektif.
Dalam konteks inilah, institusi pendidikan harus mengambil peran untuk
memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter yang baik bagi peserta
didiknya.
Manusia
seharusnya bersifat human (humanis).
Seorang manusia seharusnya bersifat manusiawi. Gejala yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari adalah terjadinya kecenderungan semakin terkikisnya
sifat-sifat kemanusiaan manusia, yakni proses dehumanisasi yang demikian pesat
dewasa ini. Menurut Akbar (2011) dalam pidato guru besarnya mengemukakan lima
macam dehumanisasi, antara lain: (1) banyak manusia yang semakin jauh dengan
Tuhannya, (2) banyak manusia yang merasa jauh dengan manusia lain, (3) banyak
manusia yang merasa jauh dengan lingkungan alam tempat hidupnya, (4) banyak
diantara manusia yang jauh dengan dirinya sendiri, dan (5) banyak di antara manusia
Indonesia yang perilakunya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Pengamatan
Megawangi (2011) menarik untuk dicermati bahwa walaupun sejak usia TK, peserta
didik memperoleh Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila, tetapi masih
banyak perilaku yang menyimpang, seperti gemar mencontek, kebiasaan bullying di sekolah, tawuran, termasuk
perilaku orang dewasa yang senang dengan konflik dan kekerasan. Sudah bukan hal
yang aneh apabila kita tonton di layar kaca, masyarakat rentan konflik, masalah
kecil atau sepele menjadi pemicu terjadinya adu fisik secara massal. Konflik
tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi juga di lingkungan
pendidikan. Mahasiswa yang bernaung dalam satu universitas atau fakultas saja,
yang berbeda jurusan atau program studi
bisa terjadi konflik.
Fenomena
dekadensi moral dan dehumanisasi di atas, menarik untuk dikaji wacana
pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di berbagai forum
akademisi dan sorotan yang kritis dari para pemerhati pendidikan. Oleh karena
itu, pendidikan karakter mutlak harus ditanamkan sejak usia dini.
Sebenarnya,
pendidikan karakter merupakan hal yang baru sekarang ini, walaupun bukan
sesuatu yang baru. Pada galibnya, penanaman nilai-nilai sebagai sebuah karakteristik
seseorang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Akan tetapi, seiring dengan perubahan
zaman, agaknya menuntut adanya penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam
sebuah wadah kegiatan pendidikan di setiap pengajaran.
Penanaman
nilai-nilai tersebut dimasukkan (embeded)
ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran dengan maksud agar dapat tercapai
sebuah karakter yang selama ini semakin memudar.
Setiap
mata pelajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamankan dalam
diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mata
pelajaran yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Dalam
tataran wacana, pendidikan karakter harus diterapkan sejak usia dini sampai
perguruan tinggi. Sedangkan dalam tataran operasional, pendidikan karakter
harus diterapkan sejak di Taman Kanak-Kanak (TK) dengan mengoptimal para guru
sebagai figur yang langsung berhadapan sengan peserta didik. Permasalahannya
bagaimanakah sebaiknya penanaman pendidikan karakter dapat efektif dilaksanakan pada jenjang
pendidikan di TK.
B.Konsep
Pendidikan Karakter
Istilah
karakter berasal dari bahasa Yunani charassein
dan ”kharax” yang maknanya tools for making atau to engrave yang artinya mengukir, kata
ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Perancis “caracter” pada abad ke 14 dan kemudian banyak digunakan kembali
dalam bahasa Inggris “character”
sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia menjadi “karakter” (Alfert, 2010). Membentuk karakter seperti kita mengukir di
atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Karakter adalah watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dai hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada
orang lain (Kemendiknas, 2010).
Terdapat 18 nilai-nilai pendidikan
karakter yang ditanamkan di Taman Kanak-Kanak, yaitu: (1) nilai religius, (2) nilai jujur,
(3) nilai toleransi, (4) nilai disiplin, (5) nilai Kerja Keras, (6) Nilai
Kreatif, (7) Nilai Mandiri, (8) Nilai Demokrasi, (9) Nilai Rasa Ingintahu, (10)
Nilai Semangat Kebangsaan, (11) Nilai Cinta Tanah Air, (12) Nilai Menghargai
Prestasi, (13) Nilai Bersahabat Komunikatif, (14) Nilai Cinta Damai, (15) Nilai
Gemar Membaca, (16) Nilai Peduli Lingkungan, (17) Nilai Peduli Sosial, dan (18) nilai tanggung jawab.
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Secara singkat,
Lickona (2013) mengemukakan bahwa karakter adalah kepemilikan “hal-hal yang
baik”. Sebagai orang tua dan pendidik, tugas kita adalah mengajar anak-anak dan
karakter adalah apa yang termuat di dalam pengajaran kita.
C.Pendidikan Karakter di TK
1.
Ciri Khusus Pendidikan di TK
Para
pakar pendidikan mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini memiliki sejumlah
ciri khusus yang membedakannya dari pendidikan yang akan dialami anak pada
tahap selanjutnya yaitu pendidikan dasar. Yang dimaksud ciri khusus tersebut
antara lain:
a.
Menumbuhkembangkan
seluruh segi kemanusiaan anak, dalam konteks kecerdasan ini berarti
mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ,
Intelligence Quotient), kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient), kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient), kecerdasan majemuk, dan bentuk-bentuk
kecerdasan lainnya.
b.
Mendahulukan
aktivitas yang mendorong partisipasi aktif anak agar merasakan berbagai
pengalaman yang melibatkan seluruh aspek kemanusiaannya, psikis dan fisik, jiwa
raga dan seluruh indranya.
c.
Menjadikan bermain
sebagai roh bagi proses pembelajaran karena bagi anak yang sedang tumbuh
bermain = belajar.
d.
Menjadikan seni dan
pendidikan fisik sebagai menu utama yang dilaksanakan dalam suasana penuh
kegembiraan, menyenangkan dan bebas (Putra & Dwilestari, 2012).
2.
Peran Guru dalam Penanaman Pendidikan Karakter di TK
Guru
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas. Secanggih apapun teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat,
peran guru di kelas sampai saat ini belum tergantikan. Oleh karena itu, dalam
proses pembelajaran, guru mempunyai peranan yang sangat penting. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sanjaya (2008) guru dalam proses pembelajaran mempunyai peran
yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan
tetap diperlukan. Teknologi yang konon bisa memudahkan manusia mencari dan
mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin dapat mengganti peran
guru.
Sementara
itu, dalam menerapkan pendidikan karakter di sekolah, guru dipandang sebagai
sosok atau profil yang paling dominan untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik.
Oleh karena itu, sosok profil guru haruslah identik dengan guru yang baik. Hart
(dalam Afifudin, dkk., 1988) yang melakukan riset terhadap sifat-sifat guru
yang mendorong minat belajar dan sekaligus membentuk pribadi anak yang baik,
antara lain dapat diidentifikasi sifat-sifat sebagai berikut: (1) suka membantu
tugas sekolah, (2) memberikan tugas dan pelajaran dengan jelas dan memberikan
contoh-contoh, (3) memiliki rasa humor, raing dan gembira, (4) dekat dengan
anak didik, (5) memahami keadaan murid di dalam dan di luar sekolah, (6)
membuat pelajaran itu merupakan sesuatu yang menyenangkan, (7) tegas, mampu
menjamin ketenangan kelas, (8) bijaksana, tidak mempunyai anak emas, (9) tidak
suka marah, tidak suka mencela, tidak kasar, dan (10) berkepribadian menarik.
Dalam
mengkaji peran guru dalam menanamkan pendidikan karakter, ada pernyataan
menarik dari seorang guru, Sri Rossyanti (dalam Munir, 2009) yang mengemukakan
bahwa “mengajarkan baca tulis itu mudah, yang paling sulit adalah mengajarkan
budi pekerti”.
Pendidikan
karakter penting untuk diajarkan kepada semua orang. Institusi yang dianggap
paling efektif untuk mengajarkan pendidikan karakter adalah sekolah. Sedangkan di sekolah guru mempunyai peranan
yang sangat strategis sebagai figur yang langsung berhadapan dengan peserta
didik.
3.
Perlunya Kerjasama antara Sekolah dan Orang Tua
Penanaman
pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama
dengan orang tua. Sebagaimana dikemukakan oleh Lickona (2008) bahwa meski
sekolah – dan bukti menunjukkan bahwa sekolah memang bisa – namun sangat
mungkin dampak yang mampu bertahan lama pada karakter anak akan lenyap apabila
nilai-nilai yang diajarkan sekolah tidak didukung dari rumah.
Samani
& Hariyanto (2011) mengemukakan bahwa pada tahap pelaksanaan (implementasi)
dkembangkan pengalaman belajar (learning
experinces) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter
dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan,
yakni di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di setiap pilar pendidikan ada dua
jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui intervensi dan habituasi. Dalam
intervensi dikembangkan suasana interaksi pembelajaran yang dirancang untuk
mencapai tujuan pembentukan karakter dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur
(structured learning experience). Dalam
habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence
life situation) yang memungkinkan para siswa di mana saja membiasakan diri
berperilaku sesuai nilai yang telah menjadi karakter dirinya, karena telah
diinternalisasi melalui proses intervensi.
Sebagaimana
kita ketahui waku belajar peserta didik di sekolah sangat terbatas. Terutama
peserta didik di TK. Dalam rentang waktu 24 jam aktivitas peserta didik, waktu
belajar di sekolah hanya sekitar 4 jam (jika siswa masuk ke sekolah jam 07.00
s.d 10.00). Dengan demikian logis apabila waktu yang terbanyak aktivitas siswa
adalah di rumah. Oleh karena itu, agar ada kesinambungan terhadap penanaman
pendidikan karakter di sekolah yang telah diterima siswa dengan penanaman
pendidikan karakter di rumah, maka perlu ada jalinan kerjasama. Bentuk
kerjasama antara sekolah dan di rumah dalam penanaman pendidikan karakter,
adalah sebuah keniscayaan. Tentang peran keluarga, Lipton (2010) menegaskan
orang tua memang berperan dalam tumbuh kembang anak. Berperan sangat besar.
Sementara itu, Putra & Dwilestari (2012) memberikan alasan yang rasional
dalam konteks peran keluarga, dikemukakannya bahwa sudah barang tentu stimulasi
dan intervensi yang pertama didapatkan dan dirasakan serta dihayati anak-anak
berasal dari lingkungan terdekatnya yaitu keluarga, terutama orang tua.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa interaksi yang intens, mendalam dan bermakna
dengan orang tua dan orang dewasa lain yang memiliki hubungan khusus dengan
kanak-kanak sungguh memberikan pengaruh yang positif yang sangat signifikan
bagi tumbuh kembang anak dalam segala dimensinya.
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi
anak, mereka berada dalam keluarga sejak dalam kandungan sampai menjelang
pernikahan. Oleh karena itu, peranan keluarga sangat penting dalam perjalanan
seorang anak.Pendekatan pendidikan holistik berbasis parenting pada anak usia
dini di TK dalam upaya pembentukan manusia holistik yang berkarakter unggul,
harus didukung dengan perencanaan program jelas dan berkualitas yang meliputi
visi, misi, tujuan, strategi, kegiatan yang utuh dan terintegrasi, guru yang
berkualitas, sarana prasarana yang memadai, jadwal kegiatan dan dokumen
perencanaan pembelajaran yang lengkap. Pelaksanaan pendekatan pendidikan
holistik berbasis parenting pada anak
usia dini di TK dapat meningkatkan kemampuan anak dalam seluruh aspek
perkembangan dan karakternya melalui praktik pendidikan yang dapat
mengintegrasikan pendidikan agama, pendidikan karakter pada pendidikan yang
mengoptimalkan seluruh potensi peserta didik secara holistik.
Lickona
(2008) mengemukakan beberapa tip atau kiat-kiat yang dapat dilakukan oleh para
guru guna memperoleh akses pelibatan orang tua dalam penanaman pendidikan
karakter di rumah. Kiat-kiat pelibatan orang tua dalam penanaman pendidikan
karakter, antara lain dengan cara: (1) mengirim salinan rencana disiplin kelas
kepada orang tua, (2) membangun hubungan positif dengan orang tua dengan
memberi kabar baik di awal tahun ajaran, (3) memberitahukan persoalan
kedisiplinan pada orang tua jika guru merasa benar-benar membutuhkan bantuan
dan akan lebih baik jika dilakukan dengan cara yang positif ketimbang punitif
(menghukum), (4) bertemu langsung dengan orang tua, bukan hanya menelpon, jika
Anda menilai akan berbahaya jika orang tua bereaksi keras terhadap pemberitaan
lewat telepon, dan (5) jika dipandang perlu, terapkan rencana kerjasama
sekolah-rumah untuk memperbaiki perilaku anak.
Dalam
konsep pembinaan keluarga, pendidikan pertama bermula dari orangtua di
lingkungan keluarga. Menurut Muhammad (2011) apabila pendidikan anak di
lingkungan keluarga berhasil, pendidikan anak di sekolah diharapkan juga akan
berhasil. Pendidikan anak di sekolah, sesungguhnya adalah perluasan dan
peningkatan dari pendidikan anak di lingkungan keluarga. Bahkan dapat
dikatakan, bahwa pendidikan orang tua kepada anak di lingkungan keluarga
merupakan titik awal dari pendidikan guru terhadap murid di sekolah. Dengan
kata lain, guru di sekolah adalah perpanjangan dari orang tua di lingkungan
keluarga. Oleh karena itu, orang tua dengan guru di sekolah harus bersinergi
untuk memberikan pendidikan karakter dengan tetap mengacu pada peran
masing-masing secara proporsional.
Yang
perlu ditekakan disini adalah bahwa pendidikan karakter bukanlah materi yang
hanya bisa dicatat dandihafalkan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka
waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran
yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik di sekolah, lingkungan masyarakat dan di lingkungan di rumah melalui
proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh
karena itu, tentu tidak adaalat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat
menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter (Ainiyah, 2013).
D.Beberapa Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter di
TK
1.
Perluanya “Pembiaran” dalam Penanaman Pendidikan Karakter
Dalam
menanamkan pendidikan karakter di TK ada beberapa faktor yang unik. Terutama
fenomena yang ditunjukkan perilaku peserta didik usia TK. Dalam konteks ini,
maka sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh para tenaga pendidik (guru) di TK
dengan menerapkan “pembiaran”. Schaefer (2003) memberikan rambu-rambu di antara
tingkah laku yang mesti dibiarkan oleh para guru (tenaga pendidik) di TK,
seperti: (1) masuk ke dalam air, dan bermain-main di sana; (2) menjerit dan
berteriak-teriak, di waktu sedang aktif bermain; (3) lantai yang kotor dan
tidak karuan, di kala anak-anak sedang bermain; (4) kegiatan-kegiatan jasmani
yang berkepanjangan dalam masa umur sekolah; (5) pakaian yang kotor, dan
kadang-kadang koyak, sesudah bermain; dan (6) tidak hati-hati, pelupa,
menghilangkan barang, dan tidak bijaksana.
2.
Contoh Teladan (Modeling)
Para pakar psikologi dan
sosiologi berpendapat bahwa pembelajaran yang potensial untuk memuat anak
tersebut menjadi makhluk sosial, ialah dengan belajarnya anak-anak itu dengan
mengamati apa yang diperbuat orang lain, terutama orang tua. Teladan atau modeling adalah berhubungan dengan
contoh teladan dari orang tua untuk anak-anak, dengan perbuatan dan
tindakan-tindakannya sehari-hari. Anak-anak adalah peniru yang terbesar di
dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang
mereka dengar. Contoh keteladanan dapat lebih efektif dari bahasa sendiri,
karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat nonverbal yang berarti, yang
menyediakan suatu contoh yang jelas untuk ditiru (Schaefer, 2003).
3.
Kemandirian
Salah
satu pembentukan sikap yang perlu dilatih dan menjadi kebiasaan (habituasi)
bagi peserta didik usia TK adalah kemandirian. Kemandirian adalah sikap dan
perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
Peserta
didik usia TK, terutama TK A, yaitu anak yang baru masuk sekolah untuk pertama
kali, tingkat ketergantungan terhadap
orang dewasa sangat dominan. Ketergantungan tersebut baik terhadap orang tuanya
sendiri maupun gurunya di sekolah. Perhatikan ketika anak TK baru masuk
sekolah, pengalaman pertama mereka ketika masuk sekolah masih nampak didampingi
oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Pendampingan kepada anak di sekolah ini
akan berlanjut sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Mereka (peserta didik) masih asing dengan lingkungannya. Lingkungan sekolah
yang baru maupun lingkungan teman-temannya sebaya yang baru dikenal pula. Oleh
karena itu, mereka (peserta didik) masih banyak dibantu, diberikan
contoh-contoh mengenai sikap dan perilaku mereka untuk secara bertahap bisa
mandiri dalam melakukan kegiatan-kegiatan sederhana sehari-hari, baik di
sekolah maupun di rumah.
Sebagaimana
lazimnya kegiatan belajar mengajar di TK, maka kegiatannya banyak yang identik
dengan bermain. Oleh karena di TK, proses belajar mengajarnya adalah bermain
sambil belajar atau belajar sambil bermain. Demikian pula pengenalan Sementara
itu, Lewis (2004) menekankan perlunya
membangun karakter anak melalui aktivitas nyata dan permainan.
Melalui
bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain, anak dibimbing untuk bisa
memahami berbagai
macam hal dan melakukan kegiatan sehari – hari secara mandiri. Karakter yang
baik juga akan bisa terbangun pada program ini. Dengan semua proses belajar
mengajar yang dilaksanakan, anak akan bisa memiliki karakter yang baik dan
percaya diri.
4.
Evaluasi
Pendidikan karakter bukanlah berupa materi yang hanya
bisa dicatat dan dihafal-kan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu
yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran yang
teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik di sekolah, lingkungan masyarakat
dan di lingkungan di rumah melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan
dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan
karakter ini menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan
orangtua.
Evaluasi dari keberhasilan pendidikan karakter ini
tentunya tidak dapat dinilai dengan tes formatif atau sumatif yang dinyatakan
dalam skor. Tetapi tolok ukur dari keberhasilan pendidikan karakter adalah
terbentuknya peserta didik yang berkarakter, berakhlak, berbudaya, santun, religius,
kreatif, inovatif yang teraplikasi dalam kehidupan disepanjang hayatnya. Oleh
karena itu, tentu tidak ada alat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat
menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter (Ainiyah, 2013).
E.Simpulan
dan Saran
1.Simpulan
Berdasarkan
uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)
pendidikan karakter perlu ditanamkan sejak dini atau sejak usia TK (2) metode
yang paling efektif bagi peserta didik di TK adalah pembiasaan dan keteladanan,
(3) pembiasaan perilaku yang baik dan santun diimplementasikan pada setiap
kegiatan di sekolah dan di rumah, (4) keteladanan diterapkan dengan guru atau
orang tua yang berperan sebagai “model” yang perlu diteladani dengan
sifat-sifat yang baik melalui imitasi (peniruan), dan (5) sekolah dan orang tua
bekerjasama secara sinergis untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi
penanaman pendidikan karakter bagi peserta peserta didik di TK.
2.Saran
Berdasarkan
simpulan di atas, maka dapat dikemukakan agar penanaman pendidikan karakter di
TK efekif dan memperoleh hasil yang optimal, disarankan kepada sekolah dan
guru, sebagai berikut: (1) sekolah harus menjadi komunitas yang peduli, oleh
karena itu perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi guru untuk
menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik di TK, (2) perlu ada
kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam menanamkan pendidikan karakter
kepada peserta didik di TK, (3) untuk menanamkan pendidikan karakter kepada
peserta didik disarankan kepada para guru dengan menggunakan metode pembiasaan,
keteladanan (model), imitasi (peniruan) dalam ditanamkan budi pekerti yang baik
bagi peserta didik di TK.
DAFTAR RUJUKAN
Afifudin, SK. & Mawardi, S. 1988. Psikologi Pendidikan Anak Usia Sekolah
Dasar. Solo: Harapan Massa.
Ainiyah, N. 2013. Pembentukan Karakter melalui Pendidikan
Agama Islam. Jurnal Al-Ulum, 13 Juni
2013.
Akbar, S. 2011. Revitalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan dalam Bidang Ilmu
Pendidikan/Pendidikan Dasar, disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas
Negeri Malang, Tanggal 8 Juni 2011. Malang: Universitas Negeri Malang (UM).
Albert, J. 2010. Membangun
Karakter Tangguh, Mempersiapkan Generasi Anti Kecurangan. Surabaya: Portico
Publishing.
Budiyono, K. 2007. Nilai
Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Koesoemo A, D. 2007. Pendidikan
Karakter. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lewis, B.A. 2004. Character
Building untuk Anak-anak (Being Your Best). Batam: Karisma Publishing.
Lickona, T. 2008. Pendidikan
Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Alih
Bahasa oleh Lita S. Bandung: Nusa Media.
Lickona, T. 2012. Character
Matters (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian
yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Alih Bahasa oleh Juma
Abdu Wamaungo & Jean Antunes Rudolf Zien. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Lipton, B. H. 2010. Rahasia
Pikiran Tanpa Batas. Jakarta: Bhuana Imu Populer.
Megawangi, R.
2005. Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis
Karakter. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Moeslichatoen R. 1999. Metode Pengajaran di Taman
Kanak-Kanak. Jakarta: diterbitkan Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan
Penerbit Rineka Cipta.
Muhammad, A. 2011. Ilmu
Sosial Budaya Dasar. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Munir, A. 2009. Spiritual
Teaching: Agar Guru Senantiasa
Menintai Pekerjaan dan Anak Didiknya.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Putra, N. & Dwilestari, N. 2012. Penelitian Kualitatif PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Samani, M. & Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Schaefer, C. 2003. Bagaimana
Mendidik dan Mendisiplinkan Anak. Jakarta: CV Restu Agung.
Samani, M. & Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Sanjaya, W. 2008. Strategi
Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Soesilowindradini. 2011. Psikologi Perkembangan Masa Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar