Sabtu, 03 Maret 2018

EDUKASI DEMOKRASI DALAM PILKADA



EDUKASI DEMOKRASI DALAM PILKADA
Hari Karyono*)

Pemilu atau Pilkada merupakan syarat minimal penyelenggaraan sistem demokrasi. Dalam Pemilu atau Pilkada para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui mekanisme yang jujur, adil, dan berkala. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan negara-negara modern, Pemilu atau Pilkada dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem demokrasi. Mengaitkan Pilkada dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dalam hubungan dan rumusan yang sederhana. Ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi.
Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka cara untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan melalui Pilkada. Keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan dilakukan oleh rakyat secara langsung, bebas dan rahasia. Hasil Pilkada mencerminkan konfigurasi aliran-aliran dan aspirasi politik yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep dan pemahaman yang seperti itu pulalah yang mendasari penyelenggaraan Pilkada saat ini.
Tahun 2018 akan dilaksanakan Pilkada serentak. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada, terdiri dari 17 propinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Pilkada serentak tahun ini, lebih besar dari tahun sebelumnya. Pilkada tahun 2018 juga melibatkan pemilih yang cukup besar. Kurang lebih ada 160 juta pemilih atau lebih 80% jumlah pemilih di Indonesia.
Mengingat Pilkada rentan akan terjadinya konflik, maka pelaksanaannya harus ekstra hati-hati. Terutama di daerah-daerah yang rawan konflik. Pada Pilkada 2017, Papua merupakan salah satu wilayah yang terjadi konflik.

Pilkada yang Mengedukasi
            Pilkada serentak yang diselenggarakan tahun 2018, merupakan suatu moment yang strategis bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat. Paling tidak pesta demokrasi ini dapat membelajarkan masyarakat untuk menggunakan hak politik mereka. Kesadaran menggunakan hak pilih ini akan meminimalkan adanya golput. Oleh karena, setiap event Pilkada atau Pemilu pasti akan sebagian masyarakat yang secara sengaja tidak menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2015 angka golput cukup tinggi sekitar 27,88 persen. Hal ini sebagai indikasi bahwa masyarakat kurang peduli terhadap pelaksanaan pesta demokrasi. Disisi lain, dikarenakan pandangan masyarakat yang kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling krusial diantaranya mengatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa.
Ada beberapa alasan, mengapa sebagian masyarakat tidak atau enggan menggunakan hak pilihnya. Pertama, tidak tertarik pada figur paslon (pasangan calon) kepala daerah, yang belum dikenal track-record-nya. Kedua, tidak mempunyai afiliasi terhadap partai politik peserta Pilkada atau bahkan skeptis terhadap partai politik peserta Pilkada. Ketiga, pesimis terhadap janji-janji calon kepala daerah pada saat kampanye. Keempat, legalisasi administrasi identitas yang berbelit-belit, misalnya yang belum punya E-KTP dan menggunakan Suket (Surat Keterangan) E-KTP. Perlakuan panitia terhadap mereka yang membawa Suket E-KTP kurang tegas.
Pilkada serentak sebenarnya dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengedukasi masyarakat. Pilkada sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi. dinamika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan manifestasi dan perwujudan hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemilihan kepala daerah juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin. Dengan catatan, asalkan semua kalangan baik kontestan, tim sukses, penyelenggara pemilu dan masyarakat tetap memegang teguh asas pemilu LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta  Jujur, Adil).

Harapan
Pilkada serentak yang segera diselenggarakan kembali menguji kemampuan publik memilih kepala daerah secara demokratis. Salah satunya terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas kepala daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan agama atau etnis tertentu.
Hal yang patut dicermati dari para calon kepala daerah adalah publik berharap pelaksanaan pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan calon pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah terpilih nantinya terutama diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah, memperbaiki infrastruktur, visi misi pasangan calon ditepati, dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi.
Keinginan dari publik mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional primordial, atau memperteguh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya.
Semestinya, event Pilkada dapat memberikan pembelajaran dan mengedukasi masyarakat. Tetapi kenyataannya, moment Pilkada belum sepenuhnya mengedukasi masyarakat. Dalam setiap event Pilkada, masih ada jargon-jargon kampanye yang didesain oleh tim sukses tidak menunjukkan program, tetapi kadang masih memunculkan isu SARA. Isu hoax di medsos, money politics, black campaign, KTP-El ganda, politisasi birokrasi, praktek kecurangan Pilkada serta serangan fajar yang mewarnai pilkada harus diperangi oleh semua pihak. Demikian pula, berbagai macam kecaman, hujatan dan ungkapan yang tidak layak dalam masa kampanye harus diminimalisasi.
Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan petugas penyelenggara di lapangan, baik Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) maupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara sinergis harus mensukseskan Pilkada. Menjelang tahun politik Presiden Joko Widodo, menaruh harapan dan  berulang-ulang mengingatkan masyarakat di berbagai kesempatan agar tidak terpecah gara-gara beda pilihan dalam Pilkada. Himbauan dari Presiden Joko Widodo ini nampaknya perlu untuk direnungkan oleh semua pihak, khususnya penyelenggara Pilkada maupun masyarakat pada umumnya. Masyarakat pun berharap agar Pilkada serentak pada tahun 2018 dapat berlangsung secara Luber-Jurdil, sehingga event Pilkada benar-benar mengedukasi masyarakat.
*) Dr. Hari Karyono, M.Pd, adalah dosen Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, anggota MSC (Malang Scripter Community)























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFORMASI PENDIDIKAN: UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN: Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Hari Karyono*) Memperhatikan potret pendidikan nasional saat ini. Da...