EDUKASI
DEMOKRASI DALAM PILKADA
Hari Karyono*)
Pemilu atau Pilkada merupakan syarat minimal penyelenggaraan
sistem demokrasi. Dalam Pemilu atau Pilkada para pembuat keputusan kolektif
tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui mekanisme yang jujur, adil, dan
berkala. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan negara-negara modern, Pemilu
atau Pilkada dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem demokrasi.
Mengaitkan Pilkada dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dalam hubungan dan
rumusan yang sederhana. Ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu
bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi.
Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat, maka cara untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan melalui Pilkada.
Keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan dilakukan oleh rakyat secara
langsung, bebas dan rahasia. Hasil Pilkada mencerminkan konfigurasi
aliran-aliran dan aspirasi politik yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep
dan pemahaman yang seperti itu pulalah yang mendasari penyelenggaraan Pilkada
saat ini.
Tahun 2018 akan
dilaksanakan Pilkada serentak. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada, terdiri
dari 17 propinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Pilkada serentak tahun ini, lebih
besar dari tahun sebelumnya. Pilkada tahun 2018 juga melibatkan pemilih yang
cukup besar. Kurang lebih ada 160 juta pemilih atau lebih 80% jumlah pemilih di
Indonesia.
Mengingat Pilkada rentan
akan terjadinya konflik, maka pelaksanaannya harus ekstra hati-hati. Terutama
di daerah-daerah yang rawan konflik. Pada Pilkada 2017, Papua merupakan salah
satu wilayah yang terjadi konflik.
Pilkada
yang Mengedukasi
Pilkada
serentak yang diselenggarakan tahun 2018, merupakan suatu moment yang strategis
bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat. Paling tidak pesta demokrasi ini
dapat membelajarkan masyarakat untuk menggunakan hak politik mereka. Kesadaran
menggunakan hak pilih ini akan meminimalkan adanya golput. Oleh karena, setiap
event Pilkada atau Pemilu pasti akan sebagian masyarakat yang secara sengaja
tidak menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan
pilkada serentak 2015 angka golput cukup tinggi sekitar 27,88 persen. Hal ini sebagai
indikasi bahwa masyarakat kurang peduli terhadap pelaksanaan pesta
demokrasi. Disisi lain, dikarenakan pandangan masyarakat yang kritis dan
bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling krusial diantaranya
mengatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari kendaraan
politik bagi sekelompok elite yang berkuasa.
Ada beberapa alasan,
mengapa sebagian masyarakat tidak atau enggan menggunakan hak pilihnya. Pertama, tidak tertarik pada figur
paslon (pasangan calon) kepala daerah, yang belum dikenal track-record-nya. Kedua,
tidak mempunyai afiliasi terhadap partai politik peserta Pilkada atau bahkan
skeptis terhadap partai politik peserta Pilkada. Ketiga, pesimis terhadap janji-janji calon kepala daerah pada saat
kampanye. Keempat, legalisasi
administrasi identitas yang berbelit-belit, misalnya yang belum punya E-KTP dan
menggunakan Suket (Surat Keterangan) E-KTP. Perlakuan panitia terhadap mereka
yang membawa Suket E-KTP kurang tegas.
Pilkada serentak
sebenarnya dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengedukasi masyarakat. Pilkada
sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi. dinamika
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan manifestasi dan perwujudan
hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan
ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemilihan
kepala daerah juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan
masyarakat terhadap seorang pemimpin. Dengan catatan, asalkan semua kalangan
baik kontestan, tim sukses, penyelenggara pemilu dan masyarakat tetap memegang
teguh asas pemilu LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta
Jujur, Adil).
Harapan
Pilkada serentak yang segera diselenggarakan kembali menguji
kemampuan publik memilih kepala daerah secara demokratis. Salah satunya
terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan
rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya.
Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas kepala daerah yang memang
harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan agama atau etnis tertentu.
Hal yang patut dicermati dari para calon kepala daerah adalah
publik berharap pelaksanaan pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu
menghadirkan calon pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah
terpilih nantinya terutama diharapkan juga dapat membenahi layanan publik
seperti kesehatan, pendidikan, mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani,
buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah, memperbaiki infrastruktur, visi
misi pasangan calon ditepati, dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi.
Keinginan dari publik mendapatkan kepala daerah yang melayani
masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah
mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional
primordial, atau memperteguh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya.
Semestinya, event Pilkada dapat memberikan pembelajaran dan
mengedukasi masyarakat. Tetapi kenyataannya, moment Pilkada belum sepenuhnya
mengedukasi masyarakat. Dalam setiap event Pilkada, masih ada jargon-jargon
kampanye yang didesain oleh tim sukses tidak menunjukkan program, tetapi kadang
masih memunculkan isu SARA. Isu hoax di medsos, money politics, black campaign, KTP-El ganda, politisasi
birokrasi, praktek kecurangan Pilkada serta serangan fajar yang
mewarnai pilkada harus diperangi oleh semua pihak. Demikian pula, berbagai
macam kecaman, hujatan dan ungkapan yang tidak layak dalam masa kampanye harus
diminimalisasi.
Oleh karena itu,
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan petugas penyelenggara di
lapangan, baik Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara
(PPS) maupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara sinergis
harus mensukseskan Pilkada. Menjelang tahun politik Presiden Joko Widodo,
menaruh harapan dan berulang-ulang
mengingatkan masyarakat di berbagai kesempatan agar tidak terpecah gara-gara
beda pilihan dalam Pilkada.
*) Dr. Hari
Karyono, M.Pd, adalah dosen Pascasarjana, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya,
anggota MSC (Malang Scripter Community)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar